Opini

Tiga Macam Umat

Sab, 8 April 2017 | 03:02 WIB

Oleh Fuad Al-Athor
 
Menurut Guru kami Hazrat Syaikh Muhammad Irfa’i Nahrawi an-Naqsyabandi Qs, umat itu bisa diklasifikasikan dalam tiga macam; pertama, ummatum mutaba’ah (umat islam yang dilihat dari caranya mengikuti sikap dan perilaku Nabi SAW), yaitu sekelompok umat yang praktek keberislamannya sepenuhnya mengikuti Rasulullah SAW secara totalitas (kaffah), yang dalam upaya mereka mengikuti Rasulullah SAW menjalankan sunahnya secara keseluruhan, baik dalam aqwal-nya (perkataannya), af’al-nya (perbuatannya) maupun ahwal-nya (kondisi batinnya). Sebagaimana disampaikan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “asy-syari’atu aqwaly, Ath-thoriqotu af’aly, wa al-ma’rifatu ahwaly”.

Kelompok kedua, ummatul ijabah (umat islam yang dilihat dari penerimaannya pada dakwah Nabi SAW) adalah umat yang telah menerima Islam dengan berbagai variasi dan tingkat penerimaannya. Jadi, siapa pun ia yang telah memeluk islam termasuk ke dalam kategori ini. Apa pun aliran dan bagaimana pun corak praktek amaliyahnya ia termasuk umat islam. Setiap kelompok yang ada dalam kategori ini menjalankan Islam sesuai interpretasi dan ijtihadnya masing-masing.

Ketiga, menurut beliau, sebagaimana disampaikan oleh Hazrat Syaikh Ahmad Faruk Imam Sirhindi an-Naqsyabandi Qs, adalah ummatud dakwah, adalah semua umat manusia di bumi raya ini yang telah mendengar atau mengetahui keberadaan Rasulullah SAW dan Islam yang dibawanya. Dalam kondisi teknologi informasi yang serba canggih ini, diyakini semua manusia, sedikit banyak, telah mendengar dan tahu tentang adanya Islam.

Dengan pemahaman kategorial di atas, maka sudah seharusnya seorang ulama mampu memilah dan memilih metode penyampaian dan kadar ajaran yang bisa disampaikan kepada sasaran dakwahnya. Sebagaimana dianjurkan dalam hadits untuk “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) berpikir mereka”, (HR. Muslim) dengan tiga cara memandang umat di atas kiranya bisa dijadikan kerangka paradigmatik untuk mengelaborasi metode dan materi dakwah yang sejuk, efektif dan tidak terjebak pada keadaan “taktik memakan strategi” atau syariat dakwah memakan hakikat dakwah itu sendiri. Hakikat (tujuan) dakwah yang untuk menciptakan tatanan yang “rahmatan lil ‘alamin” justru menjadi bumerang yang merusak tatanan yang sudah damai tenteram akibat kesembronoan cara dan materi berdakwahnya.

Dari sini pula para ulama menerapkan konsep (wilayat) kewalian dalam arti yang profan, yaitu lingkar (wilayah) pengaruh (circle of influence). Betapa tingginya kearifan para ulama yang telah melihat hikmah seperti ini dan dijalankan sebagai kerangka berdakwahnya. Sehingga ia hadir tidak sebagai penghardik yang menakutkan, tapi muncul sebagai pusat mahabbah yang menarik perhatian para calon pengikutnya. Sering kita dengar istilah, “Janganlah kau mengalungkan intan permata pada kambing, tak akan ada gunanya”. ini merujuk pada bagaimana seorang ahli hikmah mampu menempatkan khazanah ilmu ma’rifatnya hanya pada lubuk hati yang tepat, bahkan di antara murid-muridnya sendiri. Ini juga yang menjadi petunjuk bagi kita mengapa ajaran-ajaran yang mendalam dari pada ulama-ulama tersebut justru jarang hadir dalam gempita keagamaan populer.

Bagaimanapun, popularisme tidak pernah menawarkan kedalaman. Ia hanya menyuguhkan sensasi kegempitaan, pemuasan pada logika dan wawasan serta histeria sesaat. Sebagaimana kehebohan yang dipertontonkan dari kehadiran seorang pendakwah internasional terkini ia hanya mengisi ruang kosong diskursif publik yang memang sepi dari wacana-wacana berbobot selama ini. Tarian retorika hanya mampu menyentuh ruang-ruang pemahaman dan wawasan, ia tak akan mampu mengubah sikap (memperlembut jiwa) misalnya, apalagi sanggup menyingkap rahasia-rahasia hikmah melalui pembersihan hati seorang muslim. Artinya, secara spiritual tak akan ada transformasi signifikan. Mana mungkin transformasi rohaniah bisa terjadi hanya bermodalkan asupan penafsiran tekstual, sementara hati memerlukan nutrisi yang sifatnya spiritual. Dengan kata lain, penghadiran wacana keagamaan seharusnya tidak bisa dilepaskan dari misi tadzkiroh nya, sebagai pengingat, (me-refresh), jiwa agar selalu berjuang untuk memperpendek jarak dari keilahian, tidak semata wacana yang polos dan memenuhi file-file ingatan. Lebih-lebih jika hal tersebut dipentaskan di lingkungan umat yang justru kedalaman keagamaannya sudah berjalan beratus-ratus tahun lamanya.

Bagaimana Islam tidak disuguhkan semata hanya sebagai konsep-konsep di podium-podium perdebatan, meskipun itu boleh-boleh saja asal dengan adab yang mulia (Q.S. an-Nahl:125), mesti ditelusuri sampai pada kesadaran elementer yang menjadi nafas dari gejala-gejala interaksi sosial yang terjadi pada kelompok islam yang pertama, Ummatum Muttaba’ah! Di sinilah kiranya, kedalaman praktek keberislaman menemukan tarikannya pada sumber aslinya.

Kelompok umat yang pertama ini sekuat tenaga menyamakan keadaan-keadaan rohaninya dan kondisi hubungan horizontalnya dengan apa yang pernah terjadi pada penggal sejarah di mana Rasulullah SAW menjalani kehidupan dan menciptakan pola hubungan sosial dengan para sahabatnya, dengan komunitas yang belum memeluk islam dan dengan alam semesta. Kelompok ini mencoba mereplikasi model kehidupan spiritual yang pernah dipraktekkan di jaman para sahabat dan Rasul-Nya.

Kelompok inilah yang representasikan oleh mereka yang kemudian disebut dengan sufi, di mana hari ini teridentifikasi dalam organisasi-organisasi tarekat. Bagaimana pola kehidupan pada jaman paling mulia tersebut direplikasi dalam kehidupan kelompok ini, kemudian dikenal konsep suhbah (sahabat), persahabatan atau kebersamaan. Brian Silverstein mendefinisikan suhbah sebagai aktivitas atau keadaan ”memelihara persahabatan (kebersamaan secara lahiriah maupun secara batiniah) dengan syaikh dan murid-muridnya sesuai dengan norma perilaku yang tepat”, dengan “keyakinan teguh sang murid terhadap keefektifan eksklusif dari pergaulan dengan sang guru” yang dalam bentuk luarnya sama dengan pengajaran (Brian Silverstein: Urban Sufism. 93)

Meskipun, hari ini suhbah atau sering kita dengar dalam bahasa Turki sohbet lebih sering diperkenalkan dalam arti yang lebih sempit, yakni sebagai aktivitas pembelajaran/wejangan/nasihat yang diberikan oleh seorang syaikh pada para salik yang dibimbingnya. Sesungguhnya ia memiliki arti yang lebih luas sebagaimana yang coba dideskripsikan oleh peneliti Brian Silverstein, di atas. Lebih lanjut, konsep ini sebenarnya setali dua uang dengan konsep cinta sebagaimana makolah yang sering kita temukan dalam komunitas Naqsyabandiyah, “Thoriqotuna thoriqotus suhbah, wa thoriqotuna mabniyun alal mahabbah” (tarekat kita adalah tarekat (yang dijalankan dalam) persahabatan, dan tarekat kita berdiri (tegak) di atas cinta). Dengan kata lain, para sufi melihat substansi hubungan sosial antara Rasulullah dan para sahabatnya adalah cinta. Substansi inilah yang kemudian direplikasi dalam pola hubungan yang diciptakan dalam komunitas sufi dengan Syaikh sebagai center-nya. Jadi, sama sekali bukan soal yang tampak.

Lebih lanjut, dua konsep ini kemudian melahirkan apa yang sebut khidmat (derma atau bakti) dalam berbagai bentuk pelayanan pada syaikhnya. Konsep ini merujuk pada sebuah metode pembimbingan yang diadopsi dari bagaimana semangat yang mendasari praktek persahabatan para sahabat pada Nabi Muhammad SAW yang tiada lain adalah segala bentuk pelayanan pada kepentingan kenabian dan kerasulan beliau SAW. Kita melihat bagaimana Sayyidina Abu Bakar ra. misalnya, mendermakan tak hanya harta bendanya demi kelancaran dakwah Rasulullah SAW, tapi juga jiwa raganya. Tak jauh beda dengan khidmah-khidmah para sahabat lainnya. Bahkan semua bentuk praktek kehidupannya dari mulai ia akan menikahi siapa sampai ia akan berangkat ke medan perang, semuanya dilandasi semangat berkhidmah pada Rasulullah SAW, yang tentu saja didasari oleh mahabbah yang begitu tinggi pada Nabi SAW.

Inilah bentuk pendidikan Rasulullah SAW pada para sahabatnya yang kemudian direplikasi dalam kehidupan para salik dalam organisasi tarekatnya. Dalam Naqsyabandiyah, sebagaimana guru kami memberikan pencerahan pada kami dalam suhbah-suhbahnya, menerangkan bahwa pendidikan rohani ditempuh dengan dua cara sekaligus, yaitu dengan praktek zikir-zikir yang diberikan oleh syaikh dan secara lahiriah dilakukan dengan melakukan pelayanan atau derma pada syaikh (khidmat al-syaikh). Khidmah adalah sarana agar bagi murid Naqsyabandiyah dalam pembentukan jiwa pengabdiannya.

Menurut Rachida Chih yang melakukan studi pada Tarekat Khalwatiyah di Mesir, khidmah (khidmat al-syaikh) adalah salah satu konsep utama pembeda antara seorang sufi dan yang bukan sufi. Mengapa berbeda? Sebab praktek ini menampilkan bagaimana seorang salik tidak hanya mempraktekkan kode etik (adab/akhlak) yang solid dan konsisten namun juga cenderung mengarah pada kepatuhan total pada sang pembimbingnya. Inilah yang tidak akan ditemui dalam metode pendidikan modern yang didominasi oleh praktek transfer pengetahuan saja. Yang mana metode ini tidak dituntut untuk mempraktekkan cara-cara yang lebih abstrak mengenai transformasi rohaniah yang prosesnya terjadi dalam kondisi keintiman (kedekatan dan keserupaan) antara spiritual murid dan spiritual Gurunya.

Jadi, apa yang mereka tuduhkan sebagai bentuk pengkultusan kiai/guru, misalnya, sesungguhnya hanyalah gejala belaka, masih phenomenon, sementara akar utamanya (noumena)-nya justru lebih dahsyat dari itu, yang tak lain adalah proses penyangkalan diri (self annihilation) melalui metode fana’ fil mursyid. Orang-orang artifisialis ini berhenti pada kepuasan retorika dan tentu, takkan berusaha menyelam untuk menjangkau kedalaman di mana nilai-nilai berasal. Boleh jadi mereka terapung pada permukaan yang serupa namun selalu memiliki konteks yang berbeda. Artinya, respons-respons mereka terhadap tren jaman tidak dideterminasi oleh sifat jaman tersebut, akan tetapi oleh nilai-nilai yang diwariskan oleh misi kenabian sebab mereka selalu bertaut dengan jangkar nilai-nilai tersebut di relung kedalaman penghayatannya.

Dus, gambaran tentang beberapa konsep ini merupakan secuil dari bahan-bahan dasar yang mengonstruksi cara pandang sosial kaum santri yang kemudian terlembagakan dalam bentuk tradisi yang berabad-abad dijalankan oleh para penganut Ahli Sunnah wal Jamaah. Dalam gradasi lebih lanjut bisa diidentifikasi pada sistem pendidikan pesantren dan kerangka prilaku kaum santri sendiri.

Ada waktunya untuk mengatakan agar ribut membadai di permukaan samudera tak membuat lupa harta karun di dasarnya. 


Penulis adlaah Katib Khomis JATMAN DKI, santri Pondok Pesantren Q.A. Kasepuhan Atas Angin, Ciamis