Muhammad Syakir NF
Kolomnis
Tilawah Al-Qur'an bukanlah sekadar penampilan pembacaan Al-Qur'an. Ia bukanlah sebuah tontonan, melainkan tuntunan yang dapat diresapi dan dihayati ayat-ayatnya melalui lagu dan nada tertentu.
Pimpinan Pusat Jamiyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (PP JQHNU) akan menggelar Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat nasional Ke-9 dan internasional Ke-3. Kegiatan ini digelar di Kota Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan mulai Selasa (5/9/2023) hari ini.
MTQ kali pertama digelar sebagai rangkaian agenda dalam Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) tahun 1964. Kesuksesan penyelenggaraan MTQ saat itu mengantarkan tiga qari terbaik JQHNU terbang ke berbagai belahan dunia untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Mereka adalah KH Aziz Muslim dari Tegal, Jawa Tengah; KH Fuad Zen dari Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat; dan KH Bashori Alwi dari Singosari, Malang, Jawa Timur menggantikan Ustadz Chaulid Dauly yang sakit.
Lantunan ayat-ayat suci dari para qari ini menarik pendengar untuk meresapi ayat-ayatnya, menghayati maknanya. Paling tidak, suaranya yang indah dengan lagu dan nada yang tepat dapat mendorong pendengar untuk mengingat Allah swt, Sang Pencipta, dengan takbir maupun tasbih yang lirih.
Tilawah sebagai seni
Abdullah Saeed menulis dalam The Qur'an: An Introduction (2008), bahwa tilawah Al-Qur'an merupakan sebuah kesenian agama yang berkembang dengan baik. Sebagai sebuah seni, tilawah Al-Qur'an ini serius, terukur, dan meditafif karena kemampuannya untuk membangkitkan emosi itu sangat erat hubungannya dengan keindahan dan keagungan Al-Qur'an.
Demikian ini sejalan dengan pernyataan Imam Ghazali, sebagaimana dikutip Navid Kermeni dalam God is Beautiful: The Aesthetic Experience of The Quran (2015), bahwa tilawah Al-Qur’an mengingatkan keagungan Allah swt dan memberikan kesadaran akan ayat-ayat yang dibaca bukanlah kata-kata manusia.
Senada, Ibnu Arabi, dikutip Kermeni (2015), menyatakan bahwa setiap tilawah Al-Qur'an merupakan pembaharuan wahyu di hati orang yang membacanya. Setiap kali dibaca, wahyu dari Tuhan, selalu diperbarui. Dia yang membaca Al-Qur'an harus menyadari, lbn 'Arabi menetapkan, bahwa Al-Qur'an 'baru setiap kali dibaca', dan bahwa pada saat pembacaan, Tuhan ada di hati qari itu, sehingga ia menerima wahyu.
Tilawah Al-Qur'an ini tidak termasuk sebagai bagian dari musik sehingga pembacanya tidaklah disebut sebagai penyanyi. Ini menjadi satu jenis seni agama yang berbeda. Navid Kermeni dalam God is Beautiful: The Aesthetic Experience of The Quran (2015), menegaskan bahwa memang tilawah Al-Qur’an berbeda dengan perhelatan musik.
Karena tilawah Al-Qur'an ini bukan sebuah perhelatan musik, maka tidak sepantasnya sang qari dilempari teriakan, meskipun berupa takbir. Teriakan takbir untuk menyahuti lantunan ayat suci Al-Qur'an tidak tepat. Jika pun kita kagum atas lantunan Al-Qur'an pada qari itu, kita cukup bertakbir, bertasbih, atau bershalawat dalam hati. Kalaupun dilafalkan, cukuplah dengan suara lirih. Berzikir dengan lirih atas lantunan ayat suci itu bagian dari penghormatan kita terhadap Al-Qur'an.
Sebagaimana maklum, tilawah Al-Qur’an menjelma menjadi salah satu agenda tambahan dalam setiap ritual atau acara keagamaan. Peringatan kematian hingga hari-hari besar Islam hampir selalu menampilkan qari untuk membacakan sekadar satu dua ayat dengan dilagu. Bahkan, ada perlombaan MTQ dan haflah secara khusus yang menampilkan para qari untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan lagu dan nada tertentu.
Anna M Gade menulis dalam artikelnya Recitation dalam The Wiley Companion to the Qur’an (2017), bahwa lagu-lagu (maqam) dalam tilawah Al-Qur’an sudah ada sejak masa silam, di era Dinasti Abbasiah. Kemudian, lagu-lagu ini justru dikembangkan ke dalam music modern sehingga memengaruhi para diva Arab, misalnya, seperti Fairuz, Warda, hingga Ummi Kultsum.
Mengutip Kristina Nelson dalam The Art Reciting the Qur’an (1985), Gade menulis bahwa rekaman para qari dari Mesir inilah yang membawa lagu-lagu tersebut kemudian berpengaruh terhadap lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an merambah ke berbagai negeri, baik mayoritas maupun minoritas Muslim. Bahkan tilawah Al-Qur’an pun mengambil tempat dalam pergerakan revitalisasi Islam di Indonesia pada abad 20. Dakwah Islam pun memposisikan tilawah Al-Qur’an sebagai bagian utama.
Kemerduan suara, keindahan lagu, dan ketepatan nada membuat pendengar terbawa suasana. Namun, tak jarang para pendengar hanya fokus pada ketiga hal tersebut tanpa meresapi ayat-ayat Al-Qur’an yang justru menjadi intinya. Semakin merdu suara, semakin panjang nafasnya, semakin melengking nadanya, maka semakin riuh pula respons pendengarnya.
Memang, membaca Al-Qur’an dianjurkan untuk dilakukan dengan suara yang baik. Hal ini sebagaimana ditulis Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Makki dalam Haula Khashais Al-Qur’an (1401 H), mengutip Imam Nawawi. Menurutnya, para ulama berijmak atas kesunnahan membaca Al-Qur’an dengan suara yang baik. Suara yang baik ini dapat membuat Al-Qur’an jatuh ke hati, lebih dapat membekas, lebih nikmat bagi pendengarnya, lebih menarik untuk didengar. Sudah barang tentu dilakukan dengan tanpa meninggalkan kaidah-kaidah tajwid.
Hal tersebut didasarkan atas hadis Nabi Muhammad saw, “Perindahlah Al-Qur’an dengan suaramu.” Sayyid Muhammad bin Alawi al-Makki dalam kitab yang sama, menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan kesunnahan membaca Al-Qur’an dengan suara terbaik dengan syarat tetap sesuai kaidah tajwid.
Sayyid Muhammad juga menjelaskan dalam kitab yang sama, bahwa Rasulullah saw membaca Al-Qur’an dan mendengarnya dari orang lain dengan penuh kekhusyukan. Terkadang, kedua matanya banjir karena penghormatan kepada Tuhannya, kagum atas keagungan-Nya, memuliakan kuasa-Nya, dan sayang terhadap umatnya.
Keterangan Sayyid Muhammad menunjukkan bahwa inti dari tilawah Al-Qur’an dengan suara yang baik bukan pada suaranya an sich. Pendengar juga perlu meresapi ayat-ayat tersebut dengan saksama. Ini pun sejalan dengan penjelasan dalam Al-Mursyid al-Amin Ila Ma’idhat al-Mu’minin min Ihya Ulumiddin li al-Imam Abi Hamid Muhammad al-Ghazali, bahwa seyogyanya dalam pembacaan Al-Qur’an itu adalah menghormati dan mentadabburinya.
Lagi pula, paham ataupun tidak paham atas makna dari ayat-ayat tersebut, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, dapat mendekatkan manusia kepada-Nya. Hal ini sebagaimana diceritakan Al-Yafi’i, dikutip Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Syarh Irsyad al-Ibad ila Sabil al-Rasyad.
Dalam Al-Qur'an surat Al-Anfal ayat 2, dijelaskan bahwa orang yang bertambah keimanannya karena mendengar Al-Qur'an adalah mu'min yang sesungguhnya.
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetar hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal."
Kalau menyimak lantunan ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi iman tidak bertambah dan hati tidak bergetar, maka bagaimana kondisi keimanan dan hati kita sesungguhnya? Silakan tanyakan pada diri sendiri.
Syakir NF, pengajar di Pondok Buntet Pesantren
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
4
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
Lantik 4 Rektor Perguruan Tinggi NU, Waketum PBNU: Tingkatkan Kualitas Pelayanan Akademik
Terkini
Lihat Semua