Opini

Tradisi Bermazhab di Masa Sahabat

Ahad, 12 Maret 2017 | 12:30 WIB

Oleh Ahmad Nur Kholis

Dalam bidang pengambilan hukum agama, Nahdlatul Ulama sejak awal, bahkan sejak sebelum berdirinya telah memilih model pendekatan bermazhab. Di mana pemahaman terhadap agama Islam dilakukan dengan cara mengikuti apa yang telah dirumuskan para ulama terdahulu yang diyakini memiliki kemampuan untuk menggali sendiri hukum dari Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini adalah dalam rangka menjaga pemahaman Islam relatif sama dengan apa yang dipahami para ulama salaf.

Selain itu, pendekatan pemahaman semacam ini didasarkan pula pada realitas masyarakat Islam di masa para sahabat dan bahkan di masa Rasulullah sendiri.

KH M Tholchah Hasan mengutip dari Al-Amidi memaparkan bahwa sejak zaman sahabat dan tabiin, orang-orang awam selalu bertanya masalah hukum agama (Islam) kepada ulama mujtahid waktu itu. Dan para ulama mujtahid tersebut memberikan jawaban (fatwa) kepada orang awam yang bertanya tanpa menyebutkan dalil-dalilnya yang dipakai dasar fatwanya. Ulama-ulama pada waktu itu tidak menentang cara yang demikian. Kenyataan ini dapat dipandang sebagai ijma’ (kesepakatan) mereka, bahwa orang awam boleh mengikuti fatwa ulama meskipun tidak mengetahui dalil-dalil yang dipakainya sebagai dasar fatwa tersebut.

Realitas kehidupan keagamaan umat Islam di Hijaz pada zaman sahabat juga menunjukkan adanya mazhab yang berbeda-beda. Cukup lama masyarakat Islam Hijaz mengikuti fatwa atau mazhab Ibnu’ Umar radliyallahu ‘anh, sebagaimana halnya masyarakat Islam Irak cukup lama mengikuti mazhab Ibnu Mas’ud.

Demikianlah, alasan mengapa Ahlussunnah wal Jamaah memilih cara bermazhab sebagai pendekatan dalam memahami agama Islam. Pada saat ini, ada 4 (empat) Imam Mujtahid yang mazhabnya diikuti oleh mayoritas umat Islam (Sunni). Keempatnya adalah Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit (Kufah, 80 H - Baghdad 150 H); Imam Malik bin Anas bin Malik (Madinah, 93 H – 179 H); Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i (Ghazah, 150 H -Kairo, 204 H); dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (Baghdad, 163 H – 241 H).

Keempat mazhab tersebut dianggap yang lebih populer dan lebih mudah karena pendapat-pendapatnya terkodifikasikan dengan baik.

Di sisi lain, KH Achmad Shiddiq memaparkan bahwa dengan bermazhab bukan berarti telah mempertentangkan antara sistem ijtihad dan sistem taqlid melainkan lebih merupakan upaya memadukan keduanya dalam proporsi yang serasi. Masing-masing keduanya adalah sistem yang baik untuk digunakan oleh seorang Muslim dalam beragama. Hanya saja keduanya harus digunakan oleh orang yang tepat. Di satu sisi ijtihad terhadap Al-Qur’an dan Hadits sebagai sebuah upaya memahami Kalam Ilahi dan Sabda Nabi tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Di sisi lain seseorang tidak bisa malakukan taqlid kecuali mengacu pada pendapat seorang mujtahid.

KH Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman beragama seorang Muslim adalah sebuah keniscayaan. Namun memahami kedua sumber hukum Islam tersebut tanpa meninjau pendapat ulama terdahulu adalah sebuah kelalaian. Hadratussyekh kemudian menyatakan memilih taqlid kepada salah satu Imam Mazhab yang empat (madzahib arba’ah) karena ia mengakui hanya menguasi sekitar 19 (sembilan belas) macam ilmu dari 22 (dua puluh dua) ilmu yang harus dikuasai seorang mujtahid.

Dengan menganalisis pemberian restu Rasulullah terhadap Sahabat Mu’adz bin Jabal untuk berijtihad, maka dapat diambil kesimpulan:

Pertama, bahwa yang berijtihad adalah seorang yang kemampuannya seperti Sahabat Mu’adz bin Jabal. Tidak semua orang seperti beliau. Kedua, perkara yang diijtihadi adalah hal-hal yang tidak ada nash-nya secara sharih dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketiga, hasil ijtihad sahabat Mu’adz ditujukan untuk diikuti masyarakat Yaman. Karena dirinya diutus untuk mengajarkan Islam di sana. Dan bukannya untuk menjadikan masyarakat Yaman sebagai mujtahid semua apalagi dalam waktu singkat.

Dari ketiga hal diatas maka dapat dipastikan bahwa setidaknya untuk beberapa waktu lamanya, sahabat Mu’adz ada di Yaman, beliau menjadi mujtahid sedangkan masyarakatnya menjadi muallid.

Wallahu a’lam


Disarikan dari buku:
Ahlussunnah wal Jamaah dalam Tradisi dan Persepsi NU karya KH Muhammad Tolchah Hasan
Risalah Ahlussunnah wal Jamaah karya KH Muhammad Hasyim Asy’ari
Khittah Nahdliyah karya KH Achmad Shiddiq
NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru karya Martin van Bruinnessen


Penulis adalah warga NU, tinggal di Karangploso, Malang, Jawa Timur.