Opini

Tradisi Mudik dan Lebaran sebagai Ekspresi Islam Nusantara

Sel, 27 Juni 2017 | 05:33 WIB

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Mudik dan lebaran merupakan peristiwa fenomenal yang melibatkan seluruh kapisan masyarakat dari berbagai lapisan sosial, latar belakang budaya dan keyakinan agama yang berbeda. Meskipun peristiwa ini sarat dengan nuansa dan simbol Islam.

Berjuta juta umat melakukan perjalanan menempuh jarak ratusan bahkan ada yang ribuan kilometer untuk kembali ke kampung halaman. Bertemu dengan sanak kerabat untuk bersilaturrahim sambil melepas rindu pada kampung halaman. Meski kadang kampung halamannya sdh berubah dan tinggal jejak-jejak masa lalu.

Memang ada berjuta motif di balik peristiwa ini, tapi aneka motif dan kepentingan itu lebur dalam satu rasa bahagia yang tercermin dalam berbagai bentuk tradisi lebaran yang dilaksanakan bersama masyarakat setelah para memudik sampai di kampung halaman.

Beberapa tradisi untuk memeriahkan Idul Fitri adalah takbir keliling. Tradisi ini tidak saja menjadi sarana mengunmandangkan takbir untuk mensyiarkan Islam, lebih dari itu telah menjadi ajang penggalian kreatifitas seni budaya yang bisa menumbuhkan spirit religiusitas umat Islam.

Selain itu, melalui event ini tercipta ruang sosial yang luas dan lepas tanpa sekat sehingga bisa menjadi ajang silaturrahim antar umat yang beragam latar belakang sosial, budaya dan keyakinan. Mereka bisa bertemu, berinteraksi untuk berbahagia bersama menikmati semarak takbir keliling.

Kemeriahan Idul Fitri di Nusantara juga ditandai dengan tradisi ziarah ke makam keluarga, anjangsana ke para sahabat dan kerabat serta even halal bihalal yang dilaksanakan oleh berbagai komunitas yang ada di masyarakat. Melalui berbagai tradisi ini suasana Idul Fitri di kampung menjadi meriah.

Semua bentuk kemeriahan dalam Idul Fitri yang disebut dengan Lebaran ini merupakan tradisi yang khas Nusantara karena hanya terjadi dan dilakukan oleh masyarakan Nusantara. Tradisi ini terbentuk sebagai ekspresi pelaksanaan ajaran Islam melalui tradisi baik yang berkembang di masyarakat. Dapat dikatakan bahwa mudik dan lebaran merupakan ekspresi Islam Nusantara.

Berkaca dari tradisi mudik dan lebaran kita dapat melihat karakteristik Islam Nusantara (IN). Pertama IN memasukkan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam konstruk tradisi dan budaya lokal tanpa merusak subatansi dan mengurangi sakralitas ajaran itu sendiri. Dengan cara ini ajaran Islam bisa diterima semua pihak.

Kedua meski sarat dengan simbol dan nuansa Islam namun hampir tidak ada yang merasa terancam dan khawatir apalagi ketakutan dengan bangkitnya Islam seperti terlihat dalam tradisi mudik dan lebaran. Sebaliknya seluruh umat juatru ikut berbahagia dalam kemeriahan mudik dan lebaran tanpa harus mengorbankan keyakinan masing-masing.

Ketiga, hampir semua pihak, mulai aparat negara sampai komunitas berpartisipasi dan terlibat dalam peristiwa mudik dan lebaran secara sukarela dan sukacita. Ini artinya IN itu tidak memecah belah dan menimbulkan ketakutan pihak lain, sebaliknya IN justru bisa merajut perbedaan dan menjaga keberagaman dengan cara menebar kebahagiaan pada pihak lain.

IN tidak menang-menangan dan atau menuntut untuk diperlakukan lebih dengan cara memaksa atau intimidasi pihak lain karena merasa mayoritas. Sebaliknya IN menawarkan tradisi dan kultur yang membahagiakan semua pihak untuk menarik perhatian pihak lain agar bersedia berpartisi dan mengormati Islam secara sukarela dan bahagia. Pendeknya IN menggunakan strategi kultural dan akhlakul karimah untuk menunjukkan kehebatan Islam.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragam, strategi IN ini merupakan cara yang tepat untuk mengajarkan dan memprjuangkan tegaknya Islam di Indonesia. Karena cara yang ditempuh okeh IN ini tidak saja bisa menjaga kebhinnekaan tetapi juga mudah diterima oleh semua pihak karena bisa menebar damai dan kebahagiaan pada siapa saja seperti tercermin dalam tradisi mudik lebaran.

Dengan karakteristik dan strategi kukturalnya inilah IN bisa menerima Pancasila, bahkan menganggap Pancasila sebagai sublimasi dari ajaran Islam baik secara fiqih, aqidah dan tasawuf.

Seperti halnya tradisi-tradisi lainnya, dalam mudik dan lebaran juga ada sisi negatifnya. Namun hal itu bukan menjadi alasan untuk memberangus dan menghancurkannya. Tugas kita semua, terutama ummat Islam, adalah mengeliminir sisi dan dampak negatif dari tradisi mudik dan Lebaran.

Menghancurkan tradisi hanya karena ada sisi negatif yang dianggap mengotori agama sama saja dengan membakar rumah karena dianggap ada tikusnya. Atau merusak dan merobek-robek baju karena dianggap ada kotorannya.

Mudik dan lebaran adalah tradisi tahunan yang sarat dengan nilai dan nuansa religius. Contoh kreativitas umat Islam Nusantara dalam memadukan tradisi dengan spirit religiusitas. Semoga tradisi ini tidak dianggap bid'ah yang bisa menyebabkan pelakunya dianggap kafir dan musyrik hanya karena tradisi ini tidak ada pada zaman Nabi atau tidak bisa menemukan dalil tekstualnya.

Penulis adalah Pegiat Budaya dan Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.