Opini

Traktat Peradaban Islam Gus Dur

Sel, 30 Desember 2014 | 07:00 WIB

Oleh M.H. Nurul Huda

--Perkenankan untuk mengingatkan kembali kepada suatu rumusan yang dapat kita sebut bersama sebagai “Traktat Peradaban Islam”. Secara sederhana traktat dapat diartikan: risalah, acuan, atau metode penanganan masalah. Peradaban Islam dapat diartikan: kemajuan kualitas hidup masyarakat yang dinamis baik secara lahir maupun batin, material maupun non-material.<>

Prinsip-prinsip dari “Traktat” ini telah dikemukakan oleh KH. Abdurrahman Wahid pada tahun 1970an. “Traktat” dapat ditelusuri kembali pada dua dokumen penting yang berjudul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam” dan “Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?” yang sekarang dapat dibaca dalam buku Islam Kosmopolitan (2007).

“Traktat” disusun kembali dalam bentuk aforisma-aforisma yang disarikan dari dua dokumen tersebut. Pengertian aforisma adalah sebuah pernyataan yang padat dan ringkas.

Pertama: Peradaban Islam yang baru berdiri diatas pijakan kuat universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Islam. Peradaban ini akan membentang dari Asia Tenggara hingga ke Marokko, yang berdampingan dengan peradaban Sinetik dan Peradaban Indik.

Kedua: Universalisme Islam adalah perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam bidang hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid) dan etika (akhlaq) yang merupakan fondasi kepedulian atas kemanusiaan (al-insaniyyah).

Ketiga: Ajaran hukum fiqh memberi jaminan dasar kepada masyarakat, yang meliputi: (a) hifdzun nafs, yakni perlindungan keselamatan fisik semua masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hokum; (b) hifzud din, yakni perlindungan keyakinan agama masing-masing; (c) hifdzun nasl, yakni perlindungan keluarga dan keturunan; (d) hifdzul mal, yakni perlindungan keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau pernggusuran di luar prosedur hokum; (e) hifdzul ‘aql, yakni perlindungan keselamatan hak milik dan profesi. Pemerintah yang adil harus menjamin keselamatan atas dasar jaminan-jaminan tersebut.

Keempat: Ajaran tauhid menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan. Kenyataan adanya perbedaan adalah peluang uji coba untuk menajamkan kebenaran agama masing-masing keyakinan dan dengan demikian merupakan proses untuk membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Walhasil, pencapaian kebenaran keyakinan dapat berlangsung melalui proses dialektis.

Kelima: Ajaran etika mengharuskan kepedulian atas kemanusiaan yang diimbangi dengan keterbukaan yang arif terhadap wawasan kultural dan keilmuan dari masyarakat dan peradaban yang lain. Saling menerima dan memberi serta saling pengaruh-mempengaruhi adalah kenyataan yang wajar dalam kehidupan.

Keenam: Watak kosmopolitanisme Islam tampak sejak awal pemunculannya ketika Nabi Muhammad SAW melakukan pengorganisasi sosial di Madinah hingga pada abad ke-3 hijriyah yang ditandai oleh saling serap antarperadaban-peradaban yang ada. Kosmopolitanisme Islam muncul dalam bentuk: hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas politik, adanya dialog yang bebas, dan kehidupan beragama yang eklektik.

Ketujuh: Kosmopolitanisme Islam terwujud nyata bila semua masyarakat bersikap kreatif, inovatif dan berinisitif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Tasawuf, filsafat, ilmu pengetahuan, fiqh dan teknologi merupakan aktivitas kreatif yang mendukung terwujudnya kosmopolitanisme.

Kedelapan: Kosmopolitanisme Islam tercapai secara optimal bila tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslim dan kebebasan berpikir semua masyarakat, termasuk mereka yang non-muslim. Menjadi tugas para pemikir, budayawan dan negarawan untuk mengusahakan optimalisasi tersebut dengan menjamin persamaan hak dan mewujudkan keadilan.

Kesembilan: Agenda baru dibutuhkan untuk menampilkan universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam, agar kaum muslim mampu ambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia di masa pasca-industri.

Kesepuluh: Agenda baru universalisasi ajaran Islam diarahkan untuk kegunaan umat manusia secara keseluruhan, mencakup kebutuhan akan toleransi, keterbukaan sikap, dan kepedulian yang penuh kearifan terhadap keterbelakangan, belenggu kebodohan dan kemiskinan yang menyelimuti kehidupan mayoritas muslim dewasa ini.

Kesebelas: Kebutuhan akan kosmopolitanisme baru dengan sendirinya akan muncul melalui proses universalisasi Islam. Kosmopolitanisme baru ini membentuk sikap kerjasama semesta untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur social-ekonomi dan kebiadaban rejim-rejim yang dzalim.

Keduabelas: Hanya dengan menampilkan universalisme baru dan kosmopolitanisme baru, kaum muslim akan mampu menciptakan solidaritas sosial dan jiwa transformatif untuk memperbaiki nasib sendiri dan warga masyarakat yang lain. Dengan demikian suatu peradaban Islam yang baru dapat dirintis.

Ketigabelas: Suatu peradaban ditandai oleh kemajuan material maupun non-material yang mencakup kesejahteraan sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi,  karya-karya kesusasteraan, kedokteran, arsitektur dan lainnya, serta yang tak kalah penting adalah keluhuran hidup spiritual. Kebangunan baru peradaban Islam akan terwujud bila dilandasi oleh suatu jenis wawasan kemanusiaan yang lebih relevan dengan kebutuhan universal dari kehidupan umat manusia di kemudian hari.

Keempatbelas: Peradaban Islam akan terwujud lewat kemampuan meramu keluhuran hidup yang dinamis dan berkeseimbangan dari peradaban-peradaban yang ada sekarang. Kemampuan ini menuntut: (a) menerapkan dan menafsirkan kembali secara kreatif penemuan-penemuan sesuai dengan kebutuhan hakiki umat manusia; (b) merumuskan kembali arti Islam bagi kehidupan yang berubah cepat dan beraneka tantangan dan kemungkinan.

M.H. Nurul Huda, jamaah Gusdurian tinggal di Depok