Opini

Urgensi Pembaharuan Islam

NU Online  ·  Ahad, 21 September 2003 | 09:02 WIB

Ulinnuha MH[1].*

Élan kehidupan berjalan bagai air sungai yang memancar dari muara dan terus mengalir hingga sampai ke hulu. Pada awal perjalanannya, air tampak jernih, bersih dan terbebas dari kotoran, tak ada lumut, rumput atau sampah yang menutupi permukaannya, dasar sungai pun tampak jelas dan sempurna. Ketika itu semua makhluk berduyun-duyun untuk bertempat tinggal di sekitar sungai karena di sana ada tanda-tanda kehidupan.

<>

Namun dalam perjalanan selanjutnya, tampak disekitar hilir sungai lumut dan rumput tumbuh dan sedikit demi sedikit mulai menutupi permukaannya, sehingga ia tampak keruh, kurang jelas dan terkesan tidak menyejukkan untuk dipandang, ditambah dengan ulah penduduk sekitar sungai yang tiap hari membuang sampah dan kotoran sembarangan, akhirnya air pun tidak layak untuk diminum, maka terjadilah polusi sungai. Akhirnya makhluk yang berdomisili di sekitar sungai pun berbondong-bondong untuk mencari tempat baru yang lebih layak dan relevan demi kelangsungan populasinya.
 
Ilustrasi di atas mengantarkan kita untuk memahami fenomena agama dan cara keberagamaan. Memang islam ketika awal mula hadir ke permukaan ia tampak bersih, jernih dan terbebas dari intervensi makhluk yang sarat dengan noda dan nista, sehingga umat islam ketika itu mampu mendikotomikan antara pemahaman terhadap agama sebagai pesan-pesan Tuhan yang sarat nilai-nilai dan etika dengan pemahaman terhadap pemikiran agama (baca : agama sejarah). 
 
Pada dekade berikutnya, ketika agama sudah terlumuri dengan ulah manusia, maka pemahaman antara esensi agama yang holistik dengan agama sebagai produk sejarah mulai kabur. Terjadi campur-aduk antara dua komponen yang serupa namun tak sama ini dalam satu konstruksi pemikiran. Maka tak pelak umat islam dengan pemahaman inkomprehensif semacam ini, tanpa disadari mereka telah menciptakan 'stagnansi dan jumudisasi'  terhadap agama.
 
Konsep Pembaharuan Islam
 
Dalam perjalanan sejarah islam telah terjadi tarik-menarik antara ulama salaf dengan ulama khalaf (baca: para cendekiawan muslim) tentang konsep pembaharuan (al-Tajdid) islam. Ulama salaf memahami pembaharuan sebagai proses menghidupkan kembali praktek-praktek keberagamaan lama yang telah sirna ditelan zaman. Dalam pemahaman ini, para pembaharu (Mujaddid) hanya bertugas mengembalikan praktek keberagamaan umat terdahulu (tradisionalis) dan menghidupkannya di zaman sekarang (modernitas) dengan tetap mempertahankan metode-metode klasik yang  tentunya harus dipertimbangkan relevansinya.

Ketika pembaharuan dipahami semacam ini, pertanyaan selanjutnya, apakah pembaharuan islam hanya sebatas penghidupan kembali praktek-praktek keberagamaan klasik? Apakah itu sesuai dengan perkembangan dan fleksibilitas zaman yang selalu berubah dan mengemuka? Bukankah itu langkah mundur, padahal yang dibutuhkan adalah gerak maju untuk menyongsong masa depan? Maka para cendekiawan muda islam mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan memberikan konsep baru terhadap pembaharuan. Al-Tajdid, menurut konsep kedua, merupakan sebuah gerakan rekonstruksi pemahaman islam dan gerakan inovasi terhadap cara keberagamaan. Versi kedua ini lebih bersifat progresif dan prospektif.[2]

Di samping perdebatan di atas, Penulis juga ingin mengetengahkan Ahmad Wahib (tokoh modernis islam, lahir 1942) dalam teori Abdul Karim Souroush yang mengatakan bahwa hubungan antara agama dan ilmu agama adalah hubungan kembang kempis, yaitu fleksibilitas agama dalam menampung dan mengeksekusi apa yang bukan menjadi ide utamanya. Pada Ahmad Wahib pandangan ini mewujud dalam sikap pemikirannya yang berdiri antara dua paham ekstrim terhadap agama. Pertama, mereka yang melibatkan agama secara total dalam setiap segi kehidupan, sampai pada hukum logis mendetail (perspektif fikih secara holistik) secara konsumtif. Kedua, mereka yang mengeksklusi agama untuk berperan dalam perubahan sosial.

Dalam pemikiran pembaharuan Ahmad Wahib, dua hal di atas jatuh pada kekeliruan yang sama. Yang pertama keliru memahami bahwa wahyu turun berdasarkan historical setting-nya. Artinya, faksi ini salah membaca elan vital wahyu sesungguhnya, sebab hanya menerima wahyu secara mentah-mentah tanpa interpretasi lebih lanjut. Sedang yang kedua jatuh pada menafikan peran agama, padahal agama pada mulanya bertujuan untuk menjelaskan realitas dan mengarahkan, setidaknya menjadi perwakilan moral[3].

Sebab itu, pembaharuan nampaknya hanya mungkin dilakukan terhadap manusianya, bu