Opini

Urgensi Teologi Toleransi untuk Kerukunan Umat Beragama

Sab, 2 Juli 2016 | 13:00 WIB

Oleh H Zulfikar Damam Ikhwanto

Sampai sekarang, pembicaraan tentang kerukunan umat beragama masih menjadi isu strategis untuk menunjang ketahanan nasional dan juga menyamakan persepsi serta memperkuat pemahaman tentang wawasan kebangsaan. Kerukunan umat beragama menjadi begitu penting untuk mencapai kesejahteraan hidup di negeri Nusantara ini, yang jamak diketahui beragam adat istiadat dan budaya begitu juga dengan agama. Perbedaan ini sangatlah berisiko pada kecenderungan konflik, terutama bagi pihak yang mencita-citakan terciptanya kekacauan di masyarakat. Untuk meminimalisasi bentrokan kepentingan antarumat beragama, maka kebijakan Pemerintah harus menyentuh pada pokok masalah antara lain pendirian tempat ibadah, penyiaran agama, bantuan keagamaan dari luar negeri dan tenaga asing bidang keagamaan. Meski pada tataran pelaksanaannya masih menyisakan masalah baru, sehingga harus terus ada evaluasi dan koreksi secara berkelanjutan.

Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Adapun Jargon yang dikampayekan oleh Pemerintah dikenal dengan sebutan Tri Kerukunan, meliputi kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, serta kerukunan antara umat beragama dan Pemerintah. Konsep ini diharapkan menjadi inspirasi untuk mewujudkan kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Jangan sampai terjadi pengekangan atau pengurangan hak manusia dalam menjalankan kewajiban dan ajaran agama yang diyakininya.

Tragedi Ambon, Halmahera, Poso, Palu, Sampit, Palangkaraya dan beberapa daerah lain merupakan bentuk disharmoni beberapa waktu yang lalu terjadi, tetapi juga sangat mungkin terjadi di masa mendatang. Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi belaka ketika sesama anak bangsa sulit menciptakan kerukunan. Disadari atau tidak, konflik paling laten di negeri Nusantara ini selalu bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), utamanya konflik dikarenakan suku dan agama. Problemnya, konflik antarsuku mungkin bisa diatasi dengan kerangka resep nasionalisme, akan tetapi konflik antaragama sulit disembuhkan dengan hanya mengandalkan jargon kebangsaan. Pasalnya, agama selalu dipandang sebagai entitas supranasional.

Kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia juga ditandai oleh berbagai faktor sosial dan budaya, seperti perbedaan tingkat pendidikan para pemeluk agama, perbedaan tingkat sosial ekonomi para pemeluk agama, perbedaan latar belakang budaya, serta perbedaan suku dan daerah asal. Kerukunan umat beragama akan terbangun dan terpelihara dengan baik apabila jurang pemisah dalam bidang sosial dan budaya dapat dipersempit. Sebaliknya, kerukunan umat beragama akan rentan dan terganggu apabila jurang pemisah antarkelompok agama dalam aspek-aspek sosial dan budaya ini semakin lebar, termasuk jurang-jurang pemisah sosial baru yang akan muncul akibat krisis moneter global saat ini.

Konflik-konflik yang pernah terjadi bermula dari murni konflik tentang kesenjangan ekonomi atau politik, kemudian bergeser dengan cepat menjadi konflik antara pemeluk agama. Oleh karena itu, pemeliharaan kerukunan umat beragama bukan hanya menjadi tanggungjawab para pejabat pemerintah dan pemuka agama, melainkan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Setiap negara di dunia memiliki keunikan tersendiri dalam membina dan memelihara kerukunan umat beragama, tak terkecuali Indonesia. Keunikan tersebut terjadi karena bermacam-macam faktor seperti sejarah, politik, sosial, budaya/etnis, geografi, demografi, pendidikan, ekonomi, serta faktor keragaman agama itu sendiri. Di Indonesia, sejak zaman pra sejarah sudah berkembang berbagai agama dan kepercayaan, baik agama asli seperti animisme, dinamisme, maupun agama impor yang dibawa oleh pendatang dari Barat maupun Timur. Agama-agama ini dibawa melalui jalur perdagangan, politik imperialisme, dan misi agama. Semenjak itulah agama-agama yang ada di Indonesia terus berkembang dan diikuti oleh semakin bertambahnya jumlah para pemeluk, hingga saat ini tak kurang ada enam agama resmi yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu, ditambah dengan bermacam-macam aliran/sekte lainnya.

Dalam konsep masyarakat multikultural ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan membanggakan kemajemukan dalam masyarakat itu. Dengan demikian setidaknya ada tiga syarat bagi adanya suatu masyarakat multikultural, yaitu adanya pluralisme masyarakat; adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama; adanya kebanggaan terhadap pluralisme itu. Karena itu ada empat pilar pokok yang sudah disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai nilai-nilai perekat bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat nilai tersebut merupakan kristalisasi nilai-nilai yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia. Kerukunan dan keharmonisan hidup seluruh masyarakat akan senantiasa terpelihara dan terjamin selama nilai-nilai tersebut dipegang teguh secara konsekwen oleh masing-masing warga negara.

Selain dengan eksistensi nasionalisme itu, penerimaan pluralisme ini tidak bisa hanya didasarkan atas kesadaran bahwa kita ini adalah bangsa yang majemuk dari semua sisi ke-SARA-nya saja. Sebab jika ini yang menjadi pijakan, maka sesungguhnya kita berangkat dari fakta sosial yang terpecah-pecah. Oleh karenanya dibutuhkan pemahaman pluralisme sebagai cara untuk menghindari kefanatikan. Yakni, secara teologis, seringkali diajarkan pada kita untuk memperkuat keimanan dengan segala pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan atau pemahaman agama menjadi sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan atau pemahaman agama ini mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik atau pengikut yang lebih inklusif-pluralis,multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual, substantif dan aktif sosial.

Sehingga, bila ini tidak diikhtiarkan secara benar dan optimal, akan sangat berpotensi menimbulkan pemahaman yang eksklusif dan tindakan sewenang-wenang yang dekat dengan kekerasan, sebut saja kekerasan yang dilakukan untuk melawan hegemoni Barat oleh Usamah bin Laden, Imam Samudra, Amrozi, Abu Dujana dan lainnya dengan tegas mengatasnamakan Islam dalam meledakkan simbol-simbol kekafiran. Dalam skala nasional, kekerasan yang dialami oleh jama'ah Ahmadiyah, peristiwa bom Bali, Hotel JW Mariot, serta berbagai bentuk kekerasan ormas Islam seperti di setiap tahun, khususnya menjelang bulan Ramadhan. Penolakan masyarakat atas ibadah Gereja di Jawa Barat hingga penikaman terhadap seorang Pendeta ketika akan melaksanakan ibadah, pembakaran Pesantren Syi'ah di Madura, pembubaran atas seminar dan bedah buku Irshad Manji di Yogyakarta hingga pengrusakan pada kantor LKiS, adalah contoh segelintir kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu atas nama agama.

Akhirnya dalam spirit kesatuan, kita menghargai keberbedaan. Perbedaan agama-agama ini harus dikenal dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara potensial bernilai dan penting bagi setiap orang beragama dalam pemerkayaan imannya. Pluralisme dan kemanusiaan tetap harus menjadi komitmen dan sikap yang dibangun oleh setiap individu dalam beragama, karena baik pluralisme dan kemanusiaan adalah cita-cita yang dibangun oleh al-Qur'an melalui asas rahmatan li al-'alamin (kasih sayang bagi semesta alam).  

Penulis adalah Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Jombang