Opini SERIAL ILMU NAHWU

Yunus Ad-Dabbi dan Al-Akhfash Al-Kabir

Sen, 9 Juni 2014 | 12:00 WIB

Oleh Syafiq Hasyim
Titik penting dalam perkembangan ilmu Nahwu berikutnya adalah masa kodifikasi (tadwin) dan pengarangan (tasnif). Tonggak masa ini adalah Imam Sibawayhi. Sebagian tokoh dalam masa ini sudah dijelaskan di bagian-bagian pertama dari tulisan ini, termasuk mengenai Imam Sibawayhi dan Isa b. Umar.

Dalam kesempatan ini, tokoh yang mau saya ulas adalah Yunus b. Habib Ad-Dabbi. Kalangan sejarahwan sepakat bahwa Yunus b. Habib Ad-Dabbi (183 H?) adalah salah seorang ahli Nahwu terbesar. Dia yang berbahasa Arab dan juga Persia belajar ilmu ini dari Hammad. Salmah, kemudian belajar ke Ibn Abi Isḥaq Al-Ḥadrami, Isa b. Amar dan Al-Akhfash yang Agung (Al-Kabir).

Yunus juga belajar bahasa Arab dari Abi Amr Al-ʿAla dan belajar tentang ilmu periwayatan dari Ru’bah b. Al-ʿAjaj. Sebagaimana dinyatakan oleh Az-Zabidi dalam Ṭabaqa An-Naḥwiyyin, proses belajar yang demikian bervariasi ini menyebabkan tradisi keilmun yang dibangun oleh Yunus b. Habib sangat kuat dan berakar. Riwayat-riwayat Yunus dikenal sangat bisa dipercaya dan hafalannya juga kuat. Perlu diketahui bahwa tradisi keilmuan Islam awal memang sangat bergantung pada tradisi hafalan dan sejarah periwayatan yang bisa dipercaya karenanya kredibilitas intelektual seseorang terletak pada tingkat kekuatan hafalan dan social reliance.

Pada Yunus tidak hanya sebatas itu, ia percaya juga pada empirisisme indera sebagaimana Az-Zabidi memberikan kesaksian atasnya: ma ‘indahu minal-‘ilmi illa ma ra’ahu bi ‘aynihi, tidak ada yang dipandang sebagai ilmu menurutnya kecuali apa yang dilihat oleh kedua matanya. Satu teori Nahwu yang dibangun Yunus dari Abi Isḥaq misalnya adalah “sesungguhnya pokok kalimat itu strukturnya terdiri dari kata kerja (fiʿil), kemudian kalimat-kalimat yang lain (anak kalimat) itu terdiri dari pekerjaan yang diakibatkan oleh fiʿil yang terdiri dari bentuk feminin (mu’annath), maskulin (mudhakkar), tunggal (mufrad), double (ithnayn), dan plural (jama’) seperti fʿ’altu (saya telah mengerjakan, tunggal), fʿ’luna (pekerjaan kita), faʿalū (mereka telah mengerjakan, jama’ mudzakkar), fʿ’lana (mereka telah mengerjakan, jama’ mu’annath).

Inilah sebenarnya teori awal tentang asal usul kalimat, cara-cara zai’dahnya (penambahan, seperti faʿala menjadi afʿala, istafʿala dlsb). Dari sinilah kemudian asal usul apa yang kita kenal dalam peristilahan pesantren di Jawa dengan istilah tasrifan (Abū ‘Ubayda, Majaz Al-Qur’an, vol. I, h., 376). Sebagaimana sedikit disinggung tentang pengaruh Ruʿba b Al-ʿAjaj pada Yunus misalnya bisa dilihat pada cara Yunus mengiʿrab ayat Al-Baqarah 25: “innallaha la yastaḥyi ay-yaḍriba ma baʿūḍatin fama fawqaha.” Apa yang beda dengan mushaf kita yaitu bacaan rafaʿ bid-damma pada kata baʿū’datun. Juga dinisbahkn padanya bacaan nasab pada “walḥamdu lillahi rabbil ‘alamin."

Aktivitas Yunus dalam menyebarkan ilmu Nahwu sangat istimewa dan beda sekali. Forum-forum dia menjadi terkenal bagi mereka yang ingin belajar ilmu ini. Abū Zayd al-Anṣari menyatakan, “tidak ada seorangpun yang leluasa dalam memberikan ilmunya kecuali dia (Yunus).” Forum Yunus ini dihadiri oleh banyak kalangan dari ulama-ulama terkemuka dalam bidang Nahwu, antara lain adalah Abi Isa –belajar selama 40 tahun—Al-Akhmar—2 tahun—Abū Zayd al-Anṣari (10 tahun), dan Sibawayhi mengadopsi 200 persoalan dari forum ini untuk dijadikan bahan di dalam Al-Kitab.

Tentang masalah ini, Yunus berkata bahwa semua yang diucapkan benar berasal dari saya (Lihat misalnya penjelasan Ash-Shirafi dalam Akhbar An-Naḥwiyyin, h. 64). Pengakuan akan kelebihan Yunus ini tidak hanya datang dari lingkungan aliran Basrah, tapi juga dari aliran Kufah sebagaimana Al-Kisa’i dan juga Al-Farra’. Tokoh berikutnya adalah Al-Akhfash Al-Kabir atau Abū Al-Khattab, seorang tokoh yang pemikirannya mengubungkan tiga figur penting dalam Nahwu, Abū Amru, Abi Isḥaq dan Sibawayhi. Di dalam Al-Kitab, nampak bahwa Sibawayhi banyak merujuk pada tokoh ini.

Memang banyak sejarahwan Nahwu yang mengakui bahwa ulasan tokoh yang satu ini kurang banyak, namun demikian, peranan yang dimainkan oleh Al-Akhfash Al-Kabir tidak bisa lihat kecil dalam masa kodifikasi ilmu ini terbukti banyak ulama besar yang merujuknya. Salah satu contoh bacaan Al-Qur’an yang dinisbahkan padanya adalah Al-An’am 109: “wa ma yush’irukum annaha idha jaa’at laa yu’minuun.” Al-Akhfash memberi tanda waqaf setelah “wa ma yush’irukum”, dan kemudian membaca kasrah (jer) pada “annaha” karena sebagai permulaan (ibtida’) setelah tanda waqaf di atas.

 

Bahasan serial ilmu nahwu ini merupakan bagian keenam. Silakan diikuti pembahasan selanjutnya yang dikupas Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Syafiq Hasyim. Belum lama ini ia meraih gelar Dr. Phil dari BGSMCS, FU, Berlin, Jerman.