Parlemen

Komisi X DPR Kritik Diktum Multitafsir dalam SKB Seragam Sekolah

Sen, 15 Februari 2021 | 09:15 WIB

Komisi X DPR Kritik Diktum Multitafsir dalam SKB Seragam Sekolah

Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Syaiful Huda. (Foto: dpr.go.id)

Jakarta, NU Online

Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Penggunaan Seragam di Sekolah menjadi sorotan banyak pihak. Salah satunya adalah Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Syaiful Huda.


Ia menilai, SKB yang ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tetap harus memberikan ruang bagi sekolah untuk mengarahkan siswa memakai seragam sesuai agama dan keyakinan masing-masing.


“Arahan ini bisa dalam bentuk pewajiban, persyaratan, atau sekadar imbauan disesuaikan dengan kondisi dan konteks wilayah masing-masing-masing,” ujar politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) ini melalui keterangan tertulisnya, Senin (15/2).


Tujuan SKB 3 Menteri tersebut, kata Huda, memang baik untuk memastikan tidak ada pemaksaan bagi siswa mengenakan seragam dengan atribut agama tertentu. Dengan diterbitkannya SKB ini, lanjutnya, maka kewajiban memakai jilbab bagi siswa non-muslim di SMK Negeri 2 Padang atau kewajiban berpakaian adat yang membuka aurat bagi siswa muslim tidak terjadi lagi.


Namun, Huda menilai bahwa SKB 3 Menteri berpotensi menjadi multitafsir. Terutama pada diktum ketiga yang bisa saja dimaknai sebagai tidak diperbolehkannya guru agama mengarahkan peserta didik untuk berseragam sesuai agama masing-masing.


“Jadi, diktum ketiga SKB 3 Menteri ini bisa mengundang tafsir yang berbeda-beda. Tapi jika yang dimaksud dalam SKB itu sekolah tidak boleh mengarahkan siswa untuk memakai seragam sesuai dengan agama masing-masing itu bisa berbahaya,” tegasnya.


Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sekolah merupakan sarana paling efektif untuk membentuk cara pikir, sikap, dan karakter peserta didik. Salah satunya soal cara berpakaian sopan menurut ajaran agama masing-masing.


Karena itu, ia meminta agar penyelenggara sekolah tetap diberikan hak untuk mengarahkan warga sekolah berseragam sesuai keyakinannya masing-masing. Sebab, Huda berpandangan bahwa peserta didik di Indonesia pada umumnya masih dalam masa pertumbuhan dan mencari jati diri.


“Sekolah, selain keluarga dan masyarakat, mempunyai peran besar dalam membentuk cara pikir, sikap, dan karakter termasuk salah satunya cara berpakaian mereka,” terangnya.


Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan tausiyah pernyataan sikap bahwa SKB 3 Menteri perlu direvisi. Tujuannya, supaya tidak memicu polemik, kegaduhan, dan ketidakpastian hukum. Tausiyah tersebut ditandatangani langsung oleh Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar dan Sekjen Amirsyah Tambunan, pada Kamis lalu.


Meski demikian, MUI memberikan apresiasi karena SKB 3 Menteri itu yang berbunyi ‘pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan dengan seragam kekhasan tertentu’, karena dinilai memberikan perlindungan pelaksanaan agama dan keyakinan masing-masing peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.


Hal lain yang disoroti adalah soal kalimat ‘pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu’.


Menurut MUI, aturan ini harus dibatasi pada pihak (peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan) yang berbeda agama, sehingga tidak terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain.


Selanjutnya, MUI menilai apabila pewajiban, perintah, persyaratan, atau imbauan tersebut diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak perlu melarang. Sebab, menurut MUI, sekolah dapat saja memandang hal itu bagian dari proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik.


MUI mendorong agar aturan seperti itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak dan mengimbau atau tidak. Dengan tegas, pemerintah diminta untuk tidak perlu campur tangan pada aspek ini.


Di samping itu, MUI berpandangan bahwa pemerintah hendaknya membuat kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah negeri di daerah. Kelonggaran itu untuk membuat pengaturan positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan, dan mendidik peserta didik untuk taat beragama sesuai keyakinan, termasuk dalam berseragam kekhasan agama.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad