Pendidikan Islam

Pesantren Al-Ittifaq, Pengamal Tarekat “Sayuriyah”

Jum, 6 November 2015 | 14:00 WIB

Indonesia dianugerahi dengan alam yang subur dan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi kedamaian. Semua potensi tersebut tinggal dimanfaatkan dengan kerja keras dan inovasi untuk menghasilkan nilai tambah yang bermanfaat bagi masyarakat. Sayangnya, tak banyak yang mampu memanfaatkan anugerah alam ini. Diantara sedikit tokoh yang mampu melakukan perubahan adalah Kiai Fuad Affandi dari pesantren Al-Ittifaq Bandung yang mampu mengembangkan tarekat “sayuriyah” <>atau mengajarkan agama kepada para santri tetapi juga menanamkan jiwa kewirausahaan berbasis agroindustri sayur mayur sesuai dengan potensi yang ada di dekat pesantren yang berlokasi di dataran tinggi Bandung selatan ini.

Pesantren yang berlokasi di Ciwidey ini sebenarnya sudah berusia cukup panjang, tepatnya didirikan pada 16 Syawal 1302 H/ 1 Februari 1934 M oleh KH Mansyur, ulama setempat yang juga kakek KH Fuad Affandi. Kiai Mansur merupakan tokoh yang sangat anti penjajah sehingga berprinsip apa yang dilakukan oleh Belanda tidak boleh ditiru. Kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan oleh H Rifai. Dua tokoh agama tersebut masih mengelola pesantren dengan cara tradisional sehingga hanya ada 10-30 santri yang belajar di pesantren tersebut. 

Pengelolaan pesantren mulai berubah ketika Kiai Fuad Affandi menjadi pengasuh pesantren pada tahun 1970. Jiwa mudanya pada usia 22 tahun penuh dengan semangat, ingin melakukan perubahan untuk kondisi yang lebih baik. Diantara inovasinya adalah menampung santri tidak mampu dan merintis kegiatan ekonomi berbasis pertanian guna membiayai operasional pesantren. Mang Haji, sapaan akrab Kiai Fuad, berkeyakinan dengan mengajarkan pertanian ia berharap santrinya memiliki kemampuan wirausaha yang nantinya ilmu tersebut bisa dimanfaatkan setelah pulang dari pesantren. Jadi pulang dari pesantren tidak hanya bisa mengajar ngaji saja kepada masyarakat.

Perubahan yang dilakukan terbukti berhasil, kini jumlah santrinya lebih dari 300 yang dibagi menjadi dua, santri yang berbayar dan santri yang gratis. Para santri yang tidak berbayar inilah yang ikut bekerja di sektor pertanian yang dikelola pesantren, yang selanjutnya hasilnya untuk membiayai kegiatan belajarnya. Pesantren mengolah lahan seluas 14 hektar yang ditanami 25 macam sayur mayur. Disamping memproduksi dari lahannya sendiri, Kiai Fuad juga melibatkan para petani di desanya untuk memproduksi sayur mayur yang semua produknya dipasarkan oleh pesantren. Produksi hasil pertanian sebanyak 3-4 ton secara rutin dikirimkan ke berbagai supermarket dan pasar modern di Bandung dan Jakarta setiap harinya.

Para santri setiap hari memilih sayuran tersebut berdasarkan kualitasnya. Grade 1 yang merupakan kualitas terbaik diperuntukkan bagi supermarket dan pasar modern, grade 2 dengan kualitas sedang dijual di pasar tradisional sedangkan grade 3 dikonsumsi sendiri. Yang tidak bisa dimakan, untuk konsumsi ternak. Tak ada yang terbuang sia-sia.

Tentu saja, untuk mampu menembus supermarket dan pasar modern serta dipercaya menjadi pemasok secara terus-menerus dalam jangka panjang bukanlah perkara mudah.  Untuk itu para santri diajari menjaga pasokan dengan menerapkan prinsip 3-K, yaitu kualitas, kuantitas, dan kontinyuitas. Kualitas harus dijaga standarnya secara terus menerus, kuantitasnya harus mampu memenuhi permintaan pasar, dan kapan saja ada permintaan, harus mampu dipenuhi. Hal ini memerlukan pengelolaan yang tidak mudah karena produk sayur mayur sangat tergantung dengan kondisi alam. Kadang alam sangat bersahabat sehingga hasilnya baik, tetapi tak jarang, hama atau cuaca tak mendukung sehingga panen kurang maksimal. Tetapi sejak 1993 pesantren Al Ittifaq terbukti mampu menjaga reputasinya dalam ikatan kerjasama pemasok berjangka panjang.

Dalam sebuah bisnis yang kompetitif, persaingan merupakan hal yang wajar. Setiap pemasok menawarkan nilai tambahnya kepada pembeli dengan produk terbaik dan harga bersaing. Mau tidak mau, produk sayur pesantren juga harus mampu berkompetisi di pasar. Agar bisa bersaing, kiai Affandi menerapkan strategi efisiensi biaya. Motonya adalah jangan sampai ada sejengkal tanah yang tidur, jangan sampai ada sedikit waktu yang nganggur, dan jangan ada sampah yang ngawur. Meskipun tidak lulus SD, Kiai Affandi paham betul unit cost per produk yang dihasilkannya dan pada harga berapa ia bisa menjual dengan menguntungkan.

Para santri binaan, yaitu santri yang dibiayai pesantren mulai bekerja dari pagi sampai sekitar jam 11.00 sedangkan waktu lainnya digunakan untuk belajar. Para sore harinya, para petani melanjutkan pekerjaan sampai pukul 17.00. Keterlibatan masyarakat ini telah menjadikan pesantren Al Ittifaq pusat dari kegiatan ekonomi masyarakat. Pesantren bukan bagian yang asing, tetapi pusat dari aktifitas.

Bukan hanya pertanian, pesantren juga mengembangkan UKM sektor ternak sapi, ayam, domba, ikan dan industri garmen. Namun, sektor ini belum berkembang seperti sektor pertanian yang masih menjadi inti bisnis pesantren. 

Para santri bekerja dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 10-20 orang untuk menangani produk pertanian sedangkan yang mengelola peternakan, dalam satu kelompok hanya 4-5 orang. Secara rutin, mereka dirotasi agar memiliki ketrampilan mengelola berbagai produk. Untuk santri perempuan, mereka khusus menangani, pengemasan, garmen dan kerajinan.

Para santri yang terjun dalam bidang agribisnis setelah keluar dari pondok pesantren disarankan untuk dapat membentuk kelompok tani, selanjutnya hasil dari pertaniannya dikirim ke pondok pesantren Al Ittifaq. Banyak pihak kini belajar ke pesantren ini dan kiai Affandi tak segan-segan menularkan ilmu yang dimiliki. Ia juga telah menerbitkan sebuah buku yang berisi kisah perjalanan hidupnya membangun pesantren Al Ittifah dan usaha yang dijalaninya dengan judul Entrepreneur Organik: Meraih Kesuksesan Agribisnis di Era Globalisasi.

Terkait

Pendidikan Islam Lainnya

Lihat Semua