Nasional BULAN GUS DUR

Gus Dur Ingin Agama Tetap Sakral, Tak Diseret untuk Kepentingan Politik

Rab, 23 Desember 2020 | 09:00 WIB

Gus Dur Ingin Agama Tetap Sakral, Tak Diseret untuk Kepentingan Politik

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

KH Abdurrahman Wahid berjuang agar agama tetap sakral dan menjadi kekuatan spiritual, tidak diseret para elit yang berkuasa dalam ruang-ruang politik.


“Ini saya kira nafas utama yang diperjuangkan Gus Dur,” jelas Noorhaidi Hasan, Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saat Refleksi Bulan Gus Dur yang digelar Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia pada Rabu (22/12).


Biarlah, jelasnya, agama tetap sebagai sesuatu yang sakral sebagai kekuatan spiritual yang menerangi hidup. Tetapi, agama itu jangan terlalu dibawa ke dalam ruang permainan sangat profan yang penuh dengan intrik.


Hal yang mendasar ini, menurutnya, gagal disentuh reformasi di Indonesia. Meningkatnya aksi radikalisme menjadi kegagalan reformasi. Tak sedikit orang yang kurang berani berbicara soal keberagaman agama ini. Sebab, negara memiliki kepentingan mempertahankan legitimasi politiknya dan dukungan masyarakat.


“Masyarakat tentu sudah terbiasa dengan simbol-simbol agama memisahkan masyarakat dari simbol agama sama dengan melawan dukungan populer dari masyarakat,” jelasnya dalam diskusi dengan tema Rethinking the Legacy of Gus Dur and Reformasi Era for Today's Problems itu.


Jadi, lanjut Noorhaidi, karena kepentingan-kepentingan politik yang pragmatis semacam itu banyak elit-elit politik tidak berani juga menyentuh urusan ini. Akhirnya, reformasi itu biarkan proposisi problematika agama peradaban dengan problematika agama tidak tersentuh.


“Kita tahu sejak menjelang kemerdekaan itu sudah ada masalah di soal ini Bagaimana posisi agama berada pada pandangan negara. Lalu kita ketemu dengan formula Indonesia bukan Negara Islam Indonesia juga bukan negara sekuler,” kata akademisi asal Amuntai, Kalimantan Selatan itu.


Noorhaidi menjelaskan bahwa sekularisme yang dijalankan Eropa bukan penyingkiran agama dari ruang publik, melainkan bagaimana mereka berupaya menutup ruang manipulasi simbol-simbol agama oleh elit-elit yang berkuasa atau aktor-aktor politik siapapun juga demi kepentingan mereka sendiri.


Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa jika agama diberikan ruang yang terlalu luas untuk tampil di ruang publik dapat membuat berbahaya. Aktor-aktor politik yang membenturkan kepentingan politik, imbuhnya, bisa saja menggunakan simbol-simbol itu untuk memperjuangkan kepentingan mereka atas nama kebenaran sakralitas, atas nama Tuhan.


“Akhirnya orang mungkin berani mati demi memperjuangkan sesuatu yang sebenarnya sangat profan tetapi ketika dibingkai dengan simbol-simbol agama itu menjadi sakral,” pungkasnya dalam diskusi yang dipandu Zacky Khairul Umam, Wakil Ketua AWCPH UI itu.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad