Puisi

Puisi-puisi HB. Arafat

Ahad, 11 Maret 2018 | 12:12 WIB

Puisi-puisi HB. Arafat

ilustrasi: Bintang.com

Dari Pawon

 

tiap dzikir asap

yang kepul dari dalam

lubang napas ilahi

tanda aku ada

 

Kariadi, Dzulqo’dah 1435

 

Malam di Muria

 

di kota, manik-manik

lampion berjajar rapi,

menari mencari sepi. di sini,

jangkrik berkrik berteman sunyi

do’a-do’a. di daun dan dingin

aku menyapa diri.

 

Rifa Map, Jumadil Akhir 1439

 

Demak, Aku Rindu

aku pandangi segala kenangan yang engkau jadikan petir di pintu rumahmu. menyambar segala lamun dan diam mulutku.

aku tatap tajam setiap langkah rindu yang masih melekat di alun-alun kasih sayangmu. tiap meter galau memancar 99 namamu.

aku merekam apa yang pernah engkau katakan di atap masjid cintamu. begitu tingginya cinta yang mencahayai bumi kangenku.


Demak, aku rindu

tetes air seasin keringat perjuanganmu

 

Demak, aku rindu

sambaran petir yang menggetarkan

atap-atap jiwaku

 

Demak, aku rindu

 

Alun-alun Demak, Rajab 1438

 

Burung-Burung Pecinta

: Abah Budi Hardjono

 

selepas embun yang bersahaja bertamu di daun kelor depan rumahmu. burung-burung yang menyandarkan lelahnya di sekeliling kamarmu, mulai mengepakkan rindunya dengan sayap hasrat dan angin candu di pagi itu. kemudian, nyanyian mulai terdengar dari lingkaran cinta rumahmu menjadi partitur ayat yang tinggi rendahnya rindu tergantung sabda pada setiap hisapan kretek yang merupa asap rasa.

burung-burung menyanyi sembari mencari sebiji padi pada segenap cinta yang engkau tebar di halaman rumah. satu burung berjalan perlahan sebagaimana model diatas catwalk dan para fotografer girang kepalang sayang memendarkan cahaya kenangan. setia biji yang dipilihnya adalah nafkah kebudayaan yang diberikannya pada anak-anaknya di sangkar pojok atas timur: kalkulator, komputer dan aplikasi modern tak akan mampu menghitungnya. sebab kasih sayang dilahirkan bukan dari mekanisme mesin yang tidak paham nuansa. anak-anak burung setia menanti cinta yang diambilkan orang tuanya dari tangan kemesraanmu.

burung lainnya memilih mencengkramai telur-telurnya dengan bulu kasih sayang. sementara hari ini kasih sayang di bulu induk burung-burung mulai dijelmakan menjadi shuttlecock yang ditangkis, dilemparkan kemudian dihancurkan oleh kepentingan negeri bintang emas lima yang di belakangnya merah nyala. tapi di rumahmu, abah, burung-burung itu engkau asuh sebagaimana kami yang tiap hari engkau kunjungi dan kami mengunjungimu dengan genggaman cinta. bulu kasih sayangnya engkau rawat. bahkan jika adayang rontok engkau simpan dan letakkan di antara halaman kitab suci.

burung-burung pecinta yang saban pagi menyanyikan nama-nama rindu. engkau sapa dengan nyanyian cintamu. suluk kecapi kang ujang, dawaian gitar gus saiq dan ribuan lantunan ayat yang mendesir. kemudian bergetarlah seluruh molekul rumah cintamu. burung-burung itu seperti mengerti betul bahwa hidup hanyalah pengabdian pada cinta. burung-burung itu menari mengitari rumahmu, mengitari jiwamu, mengitarimu. sebagaimana engkau menari mengelilingi lingkaran nusantara dengan hangatnya bulu rindu.

 

Rumah Cinta, Semarang-Jl. Palagan Tentara Pelajar, Sleman, Rajab 1438

 

Balkon Zaman

 

balkon runtuh digoyang gempa

gempa luntur dimakan zaman

zamannya mencipta semen dan bata

batanya disusun berundak-undak

semennya menempel di undakan gedung

gedungnya bingung, balkonnya gendheng

 

Gambang Syafaat, Jumadil Awwal 1439

 

Sangkan Paraning Dumadi

:M

 

lahirmu merupa rindu

kami kembali kepada rindu

yang belum tentu

 

lahirmu pastilah rindu

kami tak pasti menjadi rindu

kecuali mati saat rindu

datang

 

Jagalan 62, 12 Rabiul Awwal 1438

 

Lahirlah

 

yang dilahirkan dari semen

akan hidup kering kerontang

yang dilahirkan dari uang

akan tanda tangan kepentingan

yang lahir dari kebiadaban

akan dilindas ababil kebenaran

 

maka lahirlah sebagai air

yang menyejukkan. lahirlah

sebagai tanah yang memendam

segala kesia-siaan. lahirlah

engkau bagai api yang hangat

di gigilnya kemanusiaan. lahirlah

menjadi udara, agar jiwa tidak sesak

 

lahirlah sebagai dirimu sendiri

 

Jl. Palagan Tentara Pelajar, Rabi’ul Akhir 1438

 

Khusyu’

 

ketika engkau sholat,

Tuhan

tidak mengetahui

 

Gubuk Jetak, Rabi’ul Awwal 1437/ 31 Desember 2015

 

H 2433 FJ

kepada Tuhan yang tak pernah tidur menurunkan kasih sayangNya

 

ada yang berputar saat jantung berdebar dan getar

damar-damar berpijar sambut tuan

 

pada perlintasan petang, seteguk gusar

memecah jalan. siapakah dia Tuhan?

pemecah keheningan. tepat ketika mata melayang

mencari trotoar di persimpangan

 

duh, lail yang mana ini

datang di siang yang terik pecah

membakar risau yang buta, tentang kabar

burung bangau. lupa pada alamat pulangnya

 

siapakah dia Tuhan? datang tepat saat cahaya

redup di siang bolong. siapakah dia Tuhan?

silau di tubuhku, saat hati terkatup oleh teriakan

mesin-mesin, sepanjang jalan kenangan

 

jangan-jangan itu Kau, yang datang

sebagai gelap, lalu terang

benderang lalu senyap

senyap lalu cahya

 

Tuhan, kenapa huruf dan angka itu, datang

lalu pergi, tanpa basa-basi lenyap

meninggalkan alamat tak genap

untuk disemai sebagai riwayat

 

Demak-Semarang, 1434-1435

 

Penulis adalah CEO Rifa Map. Penulis puisi, cerpen dan esai. Seorang nahdliyin grassroot, pernah aktif di IPNU PK. TBS Kudus. Beralamatkan di Jetak, Wedung, Demak.

Terkait

Puisi Lainnya

Lihat Semua