Pustaka

3 Buku Antologi Gus Dur dalam Kacamata Tokoh: Pandangan Lurus dan Miring

Sab, 31 Desember 2022 | 09:00 WIB

3 Buku Antologi Gus Dur dalam Kacamata Tokoh: Pandangan Lurus dan Miring

Sosok Gus Dur yang multidimensi ini juga membuat pandangan orang terhadapnya menjadi beragam pula. (Foto: Dok. Pribadi)

Gus Dur merupakan tokoh bangsa yang multidimensi. Ia adalah seorang kiai yang mengenyam pendidikan pesantren secara matang. Ia pun dikenal sebagai budayawan yang piawai dalam bicara mengenai kebudayaan, sastra, film, hingga musik. Sosoknya juga melahirkan banyak tulisan bernas berisi kritik sosial keagamaan di berbagai media, seperti Prisma, Kompas, Tempo, dan lainnya sehingga membuatnya dikenal sebagai cendekiawan.


Belum lagi aktivitas sosialnya dalam berbagai hal, seperti menegakkan demokrasi, memperjuangkan hak-hak kaum minoritas, hingga berbagai upaya dan bantuannya sebagai bentuk kemanusiaan.


Bahkan, ia juga memiliki segudang humor segar yang dikeluarkan dalam berbagai kesempatan sehingga membuat suasana demikian cair. Dalam orasi, ceramah, hingga diplomasi, humor-humor itu biasanya dilontarkan. Bukan saja mampu mengkreasi cerita lucu yang dapat membuat pendengar atau pembacanya sakit perut, Gus Dur juga menguraikan humor dengan sangat apik dalam sebuah kata pengantar buku humor Mati Ketawa Cara Rusia.


Sosoknya yang multidimensi ini juga membuat pandangan orang terhadapnya menjadi beragam pula. Masing-masing orang memiliki sudut pandang yang unik tentang Gus Dur. Hal itu tentu saja dilatari oleh perbedaan mereka, baik dari segi pendidikan hingga soal pertemuannya dengan Gus Dur.


Paling tidak, NU Online menghadirkan tiga buku antologi tulisan yang memuat pandangan tokoh tentang sosok Gus Dur, yaitu (1) Gus Dur Santri Par Excellence: Teladan Sang Guru Bangsa, (2) Gus Dur Menggoyang Presiden Abdurrahman Wahid, dan (3) Sejuta Gelar untuk Gus Dur.


1. Gus Dur Santri Par Excellence: Teladan Sang Guru Bangsa

Buku ini diterbitkan oleh Kompas yang memuat pandangan tokoh-tokoh tentang sosok Gus Dur. Tidak hanya artikel yang ditulis oleh tokoh-tokoh tersebut secara langsung, melainkan juga liputan-liputan yang memuat komentar singkat dari mereka yang dihimpun oleh jurnalis Kompas.


Buku yang disunting Zuhairi Misrawi ini terbagi ke dalam empat bab, yakni (1) Teladan Guru Bangsa; (2) Santri “Par Excellence”; (3) Begitu Saja Kok Repot; dan (4) NU, PKB, dan Gus Dur.


Di bagian pertama itu, pembaca akan menemukan berbagai macam pandangan keteladanan Gus Dur, mulai dari sisi intelektualitasnya, politiknya, hingga aktivitas sosialnya yang peduli terhadap siapa saja tanpa pandang bulu.


Soal intelektualitasnya, Muslim Abdurrahman mengawali tulisannya dengan nada terkejut. Pasalnya, Gus Dur yang baru pulang dari Timur Tengah sudah lantang dan fasih berbicara mengenai demokrasi dan hak asasi manusia.

 

Isu-isu tersebut biasanya hanya disampaikan oleh kaum cendekiawan yang studi di Amerika. Hal tersebut menunjukkan kelas pemikiran Gus Dur yang sudah di atas rata-rata. Karenanya, Kompas sendiri memuat artikel warta berjudul Pemikiran Gus Dur Harus Dilanjutkan.


Gus Dur juga menaruh keteladanan dalam bidang politik dan aktivitas sosialnya. Misalnya, kebijakan humanismenya dalam mengentaskan persoalan di Papua yang sayangnya, dalam tulisan B Josie Susilo Hardianto berjudul Gus Dur dan Damai untuk Papua, tidak dilanjutkan.

 

Pun sikapnya dalam mengayomi masyarakat tanpa pandang bulu, terlebih mereka yang temarjinalkan dan minoritas, Gus Dur hadir sebagai garda terdepan yang membela mereka. Tak pelak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam sambutan prosesi pemakaman sebagaimana ditulis Misrawi dalam prolog, menyebut Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme.


Pada bagian kedua, pembaca akan menemukan sisi keulamaan Gus Dur. Pandangannya atas berbagai realitas yang kontekstual menunjukkan kepiawaiannya dalam memadukan teks dan konteks. Ia sendiri tidak melepaskan diri dari teks, tetapi juga tidak sepenuhnya mengacu pada realitas yang ada. Tak pelak karena pemikirannya yang demikian brilian, Dawam Rahardjo menyebut pemikiran Gus Dur sebagai sebuah pembaruan.

 

Bahkan, Hamdan Farchan menulis bahwa Gus Dur sudah lebih dari sekadar teolog profesional, melainkan sudah praktisi. Gus Dur sudah mengaplikasikan atau menerapkan teologi pemikirannya ke ranah praktis. Senada dengan itu, Sukidi menyebutnya dengan istilah melampaui moderat mengingat ada lompatan intelektual yang dilakukan Gus Dur.


Sisi humor dan misteri soal Gus Dur dibahas di bagian ketiga. Namun, di sini jangan berharap menemukan kelucuan. Sebab, kelucuannya justru ‘dipreteli’ dengan bahasa yang serius sehingga terkesan tidak lucu lagi.

 

Misalnya soal kalimatnya yang begitu terkenal, “Gitu saja kok repot!”, diulas secara panjang oleh Effendi Gazali. Pun berbagai aktivitas humornya diulas Herry Gendut Janarto. Sementara perihal tindak-tanduk Gus Dur yang kerap menimbulkan tanda tanya di atas kepala ditulis Sjamsoe’oed Sadjad, Masykuri Abdillah, dan Julius Pour.

 

Namun, sebagaimana soal humor yang tak memuat kelucuan, di tulisan tersebut juga tidak perlu diharapkan menemukan jawaban atas misteri Gus Dur. Justru, pembaca akan menambah daftar tanda tanya lagi karena semakin dipelajari, sosok ini akan semakin membuat penasaran.


Bagian terakhir mengulas hubungan Gus Dur dengan dua hal yang pernah dipimpinnya, yaitu NU dan PKB. Di sini, Gus Dur dipandang sebagai sosok yang meletakkan kebaruan di dalam tubuh NU dengan berbagai kebijakan dan gerakannya, seperti mengembalikan NU pada Khittah 1926.

 

Di sisi yang lain, Fachry Ali memandang sisi politik Gus Dur yang tidak mengakomodasi Abu Hasan dalam kepengurusan PBNU usai Muktamar ke-29 NU di Pondok Pesanttren Cipasung, Tasikmalaya tahun 1994. Terkait dengan PKB, Gus Dur dipandang sebagai sosok yang menjadi faktor penting keberhasilan partai tersebut.


Sayangnya, di buku ini, kita tidak menemukan putra sulung KH Wahid Hasyim itu dari sisi kebudayaannya. Padahal, buku ini mengulas cukup komprehensif mengenai Gus Dur. Namun memang, Gus Dur tidak akan pernah selesai untuk dikaji dan dipelajari.


2. Gus Dur Menggoyang Presiden Abdurrahman Wahid

Buku ini diterbitkan pada tahun 2000. Artinya, saat itu, Gus Dur masih menjabat sebagai presiden. Buku yang diterbitkan Yayasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini memuat tulisan-tulisan yang bernada negatif dan sumir terhadap kepemimpinan Gus Dur atas Indonesia.


Tulisan pertama yang disajikan berjudul Presiden Gus Dur sebagai Sumber Konflik. Azyumardi Azra menulis ini dengan mendasarinya pada fakta pemecatan para pembantu presiden. Ia juga menganggap Gus Dur lupa akan pemerintahannya yang terbentuk atas koalisi partai politik dan menganggap kebijakannya tanpa kerangka dan konsep. Tulisan ini memang perlu ditelusuri ulang apakah memang betul adanya karena di buku tidak dijelaskan sumbernya.


Selain berisi tulisan dari tokoh, buku ini juga memuat sejumlah wawancara dengan tokoh mengenai sosok Gus Dur yang dimuat di sejumlah media, seperti Forum Keadilan dan Tempo. Adi Sasono, Menteri Koperasi era Presiden Habibie, misalnya, yang diwawancara Forum Keadilan mengkritik Gus Dur dengan tanpa basis data yang kuat dan jelas. Hal senada juga disampaikan Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah yang sama dan majalah Tempo. Amien bahkan menganalogikan presiden sebagai murid dalam wawancaranya tersebut.


Berbagai tuduhan atas tuduhan Gus Dur juga dituliskan dalam buku yang berisikan kumpulan wawancara dan tulisan yang menyudutkan Presiden Keempat Indonesia itu. Tindakan Gus Dur sebagai presiden dipandang sebagai sebuah langkah yang salah tanpa ada benarnya.


3. Sejuta Gelar untuk Gus Dur

Berbeda dengan buku kedua, buku ini justru memuat sisi-sisi positif Gus Dur. Ada 75 tulisan yang disajikan, belum mencakup iftitah (prolog) dan ikhtitam (epilog). Tulisan-tulisan itu menjelaskan Gus Dur dari berbagai sisi, mulai dari intelektualismenya, ke-NU-annya, pluralismenya, hingga komunikasinya.


Bedanya dengan buku pertama, seluruh tulisan yang disajikan pada buku yang diterbitkan pada Maret 2010 ini dimuat di berbagai media pascawafatnya Gus Dur.


Gus Dur wafat melahirkan pertanyaan-pertanyaan soal masa depan NU dan Indonesia. Hal ini juga yang dibahas oleh para intelektual dalam buku ini. Sebut saja Kacung Marijan dan Luthfi Assyaukani yang menulis mengenai hal tersebut.

 

Nama kedua mencatat adanya stagnasi dalam NU terkait apa yang telah ditorehkan Gus Dur dalam kepemimpinannya di organisasi yang didirikan pada 31 Januari 1926 itu, yaitu berkaitan dengan bangunan ruang kebebasan. Sementara Marijan melihaat bahwa pemikiran Gus Dur tidak akan sirna karena keberadaan pesantren yang tetap tumbuh mengingat sumber pemikirannya berasal dari tradisi pesantren.


Banyak hal lain yang dibicarakan dalam buku ini. Sayangnya, penyunting tidak membagi 75 tulisan itu ke dalam bab-bab khusus. Karenanya, pembaca akan kesulitan untuk menemukan tulisan yang hendak ia baca. Meskipun hal tersebut tidak penting, tetapi menjadi baik jika diterapkan guna memudahkan pembaca.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad