Pustaka

Benarkah Gus Dur Waliyullah?

Ahad, 2 Februari 2014 | 23:13 WIB

Sebagai sebuah teks, Gus Dur telah selesai ditulis bersama takdirnya, tapi ia belum selesai dibaca. Ia adalah korpus terbuka yang bisa ditafsirkan dengan beragam sudut pandang. Pula, ia dicela dan semakin dicinta dengan banyak cara. Demikianlah, Gus Dur selalu membuat pelbagai kemungkinan untuk “di” karena sejak sosok ini hidup ia adalah subyek sekaligus obyek.
<>
Dari sini, bisa dipahami bahwa Gus Dur merupakan unfinished text yang belum tamat, dan belum rampung untuk dimaknai. Sebagai unfinished text, Gus Dur akan selalu menjadi “obyek” yang pernak-perniknya (pribadi dan gagasannya) selalu dielaborasi, dikritisi, dan direkonstruksi oleh para penulis yang bertindak sebagai “subyek”.

Sebagai sebuah teks. Gus Dur memang terbuka untuk ditafsirkan. Meminjam teori independensi teks-nya Karl Popper, setiap pengetahuan yang sudah diumumkan dengan sendirinya terlepas dari monopoli pengarang dan penggagasnya, lalu masuk ke dalam pengetahuan obyektif. Dalam hal ini, seorang penafsir (interpreter) memiliki kebebasan dan otonomi penuh dalam menafsirkan sebuah teks. Namun, yang menjadi masalah bukanlah benar tidaknya tafsiran yang diberikan, tetapi argumentasi yang dijadikan landasan dalam memberikan penafsiran serta kedekatannnya dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan teks tersebut. 

Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin, misalnya, melakukan penafsiran atas perilaku Gus Dur, mengumpulkan kesaksian-kesaksian unik dari para sahabat dan keluarga Gus Dur, serta dari ragam fenomena yang mengiringi sosok ini, baik saat hidup maupun setelah berpulang. “Bukti-Bukti Gus Dur itu Wali: 99 Kesaksian Tak Terbantahkan dari Sahabat, Orang Dekat, Kolega dan Keluarga” merupakan upaya merekonstruksi apa yang telah dipahami oleh kedua penulis ini mengenai apa yang disebut oleh kedua penulis ini sebagai “kewalian Gus Dur”.

Dalam kaidah jurnalistik, penulisan buku ini bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Mengenai kisah-kisah yang menjadi bukti kualitas pribadi Gus Dur dan keistimewaan-keistimewaan sosok ini, kedua penulis memungutnya dari beragam narasumber yang memang dekat dengan Gus Dur (keluarga, sahabat, pengamat, pengamal tasawuf, dan para ulama yang kredibel), sekaligus memverifikasi kisah yang disampaikan, disertai dengan pembacaan kritis. Untuk itulah, kedua penulis buku ini, dalam “Pengantar Penulis”, memberikan rambu bahwa keduanya menyeleksi kisah-kisah yang diterima.

KH Said Aqil Siroj, misalnya, memberikan kesaksian mengenai ‘terbongkarnya’ jatidiri seorang wali mastur (yang sengaja menyembunyikan identitas kewaliannya) oleh Gus Dur; kesaksian dr Umar Wahid bersama pilot pesawat kepresidenan dalam situasi genting di mana awan gelap yang hampir menjadi badai tiba-tiba membelah dan seolah mempersilahkan pesawat mendarat dengan aman (hlm. 58); hingga ritus ziarah ke makam para Wali dan dipercaya berdialog dengannya (Bagian II: Komunikasi dengan Para Wali); serta berbagai karamah-karamah yang dimiliki oleh Gus Dur. 

Demikianlah, tradisi dan kepercayaan mengenai keramat para waliyullah sangat mengakar di kalangan masyarakat Muslim tradisionalis. Meskipun ada ungkapan la ya’riful waliy illal waliy (hanya wali yang mengetahui wali), namun masyarakat juga memiliki kecenderungan untuk membedakan manakan perilaku yang termasuk bagian dari karamah, dan manakah yang merupakan istidraj; serta manakah karamah yang merupakan anugerah Allah, dengan bagian dari ilmu hikmah—yang bisa dipelajari.

Dalam kategori derajat kewalian, terdapat dua aspek penting: waliyullah dan wali huquqillah. Waliyullah adalah derajat wali yang pencapaian kewaliannya tidak melalui prosedur normatif lewat cara riyadlah atau tirakatan dengan mengasah kemampuan ruhaniah batiniah dengan meningkatkan kualitas ibadah dan keimanan. Derajat ini didapat secara langsung dari Allah, tanpa usaha atau kasbul ibadah, namun ada kejadian istimewa sebelum seseorang menjadi waliyullah. Sedangkan Wali Huquqillah merupakan derajat kewalian yang dicapai dengan cara normatif atau berproses melalui jalur sufistik. Secara teoritis seserang harus melalui tahapan-tahapan berat sebelum akhirnya menjadi seorang waliyullah. Pertama, taubat, kemudian wara’, zuhud, sabar, tawakkal, lalu ridho syukur tahalli, tajalli, hingga pada puncaknya mencapai ma’rifat. 

Sedangkan Gus Dur, dari sisi pengalaman, telah menjalani berbagai corak kehidupan yang memungkinkannya menempa diri dalam derajat kesufian tertentu. Sebagaimana penuturan KH. Said Aqil Siroj, Gus Dur setiap hari secara istiqamah membaca Surat al-Fatihah ribuan kali (hlm. xxii). Pula, berbagai kesaksian orang terdekat Gus Dur bahwa dalam berbagai kesempatan Gus Dur banyak bertemu dengan tamu misterius yang memiliki derajat istimewa. 

Dari berbagai bab buku ini, selain menyuguhkan berbagai sisi yang (bagi sebagian orang) irasional, ada banyak kisah yang sesungguhnya rasional, logis, dan manusiawi. Sepak terjang Gus Dur dalam memperjuangkan aspek esoterisme Islam sehingga banyak disalahpahami, proses membumikan Islam Rahmatan lil Alamin, keteguhannya membela pihak yang tertindas, serta kehidupannya yang asketis, yang juga dikisahkan dalam buku ini.  

Terlepas dari kebenaran hakiki apakah Gus Dur itu wali atau bukan, hanya Allah yang Mahatahu. Berbagai kisah yang dimuat dalam buku ini bisa dijadikan salah satu standar penilaian kualitas pribadi Gus Dur dan segala pernak-pernik kehidupannya. Juga, kisah-kisah manusiawi yang juga banyak dimuat dalam buku ini seolah menjadi penawar sinisme pihak-pihak yang anti-Gus Dur untuk melihat lebih jernih dan komprehensif mengenai sosok ini. Waliyullah atau bukan, itu hak prerogratif Allah dalam menentukannya. Yang pasti, Gus Dur adalah sosok istimewa yang pernah dilahirkan di bumi Indonesia.  

Judul: “Bukti-Bukti Gus Dur itu Wali: 99 Kesaksian Tak Terbantahkan dari Sahabat, Orang Dekat, Kolega dan Keluarga”
Penulis: Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin
Penerbit: Renebook, 2014
Halaman: xxviii + 224
Peresensi: Rijal Mumazziq Z, direktur sebuah penerbitan buku di Surabaya