Pustaka

Einstein versus Taurat dan Injil

Sen, 5 Januari 2009 | 23:00 WIB

Judul Buku: Einstein Membantah Taurat dan Injil
Penulis: Wisnu Arya Wardhana
Penerbit: Putaka Pelajar
Cetakan: I, November 2008
Tebal: xxxiv + 258
Peresensi: Sulistiyo Eko

Agama adalah suatu kepasrahan dan penyerahan diri manusia kepada kekuatan yang Maha Tinggi yang dipercayai mengatur dan mengendalikan kehidupan umat manusia dan ala semesta ini. (J.G. Frazer)<>

Einstein adalah sosok ilmuwan yang terkenal cerdas, sehingga teori dan penemuannya tidak diragukan lagi, walaupun teorinya sempat disangkal para fisikawan papan atas. Dia juga selalau mengedepankan rasionya untuk menanggapi berbagai hal, tidak terkecuali dengan agama, khususnya agama Yahudi dan Katolik. Lahir dari kecerdasan otaknya itulah, akhirnya muncul pembantahan-pembantahan Einstein terhadap Kitab Talmud (Taurat) dan sekaligus Kitab Kanonik (Injil). Berawal dari pembantahan itu, banyak orang yang geram terhadap Einstein, termasuk Vatikan, bahkan sebagian orang menganggap bahwa Eintein adalah seorang ateis, walaupun dia mempercayai adanya Tuhan.

Dalam buku Einstein membantah Taurat dan Injil; Einstein Mati Matanya Dijugil, yang merupakan kelanjutan dari buku Einstein Mencari Tuhan, karya Prof Wisnu Arya Wardhana, telah dijelaskan dengan gamblang sosok Einstein dalam pengembaraannya mencari Tuhan, sejak masih kecil hingga ajal menjemputnya. Untuk menyekat terjadinya kekelanturan, baik dari pihak penulis maupun pembaca, dalam buku ini juga dijejali dengan beberapa ayat Al Quran. Selain itu, juga untuk mempertegas apa yang disampaikan penulis dalam menganalisis.

Dalam buku yang telah dijelaskan di atas, Einstein awalnya adalah anak yang diangap oleh mayoritas orang mengalami gangguan jiwa. Hal ini dikarenakan sulitnya mulut Einstein untuk mengungkapkan sesuatu, atau lebih tepatnya bisu. Di samping itu, dia juga sering menyendiri dari teman-teman sebayanya. Tetapi, jika dilihat dari sorot matanya yang tajam, ada sebagian dokter yang mengatakan bahwa Einstein sedang berpikir keras dalam kesendiriannya.

Setelah ulang tahunnya yang keempat, dugaan dokter itu tidak dapat dimungkiri lagi. Sebab, setelah dia mendapat hadiah ulang tahun dari ayahnya, yakni kompas, otaknya mengalami gejolak sangat hebat yang selalu mendorongnya untuk berpikir dan mempertanyakan mengapa jarum kompas selalu mengarah ke utara. Pertanyaan tersebut mendorong Einstein untuk bicara dan mempertanyakanya, dan akhirnya lambat laun dia dapat juga bicara, layaknya teman sebayanya.

Berangkat dari kompas itulah yang mengantarkan Einstein dapat menjadi seorang ilmuwan terkemuka, pemikir terhebat sepanjang abad 20. Julukan Einstein sebagai pemikir terhebat sepanjang abad 20 itu memang tidak dapat disangkal lagi, ini dapat diempiriskan dengan teori-teori dan penemuan-penemuanya. Di antara teori dan penemuan tersebut adalah efek foto listrik dan relativitasnya, yang baru dapat dipahami setelah berpuluh-puluh tahun kemudian, walau fisikawan papan atas sekalipun.

Mungkin keanehan juga sempat dialami Einstein pada masa kecilnya, yakni hidup dengan dua agama (Yahudi dan Katolik). Di mana ajaran Yahudi merupakan tuntutan dari kedua orangtuanya yang masih masih terpaku pada paham zionisme (pengabdian seorang Yahudi untuk mengajarkan agamanya), sedangkan Katolik merupakan tuntutan dari pihak sekolah. Tetapi, bagi Einstein hidup dngan dua agama merupukan kebiasaan. Bahkan, di usianya yang masih tergolong remaja, Einstein sangat antusias untuk mempelajari kedua agama tersebut.

Tetapi, selang beberapa tahun, ajaran-ajaran agama yang diterimanya tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja oleh otaknya, karena ada beberapa bagian dari Talmud dan Kanonik yang tidak masuk akal. Selain itu, di dalam kitab tersebut juga dianggap   Einstein tidak orosinil lagi, jika mengingat adanya perbedaan antara kitab yang satu dngan kitab lainya dalam beberpa Kitab Injil. Memang, semula Einstein tidak berani mengeritik, atau lebih tepatnya menggugat kitab tersbut, karena dia merasa belum masih anak-anak. Tetapi, gugatan akhirnya terealisasi saat Einstein merasa sudah punya nama di kalangan internasional, yakni pada saat mendapat nobel tentang teori efek foto listrik dan relativitasnya.

Mulai dari situlah melejit sanggahan-sanggahan Einstein terhaap Taurat dan Injil, karena beberapa lafaz dari Injil yang berbunyi "Tuhan berjalan-jalan di taman dan juga berjala-jalan di atas samudera jauh sebelum alam semesta ini diciptakan." Lebih ironisnya lagi, ada yang mengatakan bahwa jagat raya ini diciptakan pada 11 Oktober dua ribu tahun sebelum masehi. Kata-kata itu seolah malah semakin menguatkannya untuk mengingkari Injil, dan sekaligus menggelitiknya, karena dianggap tidak masuk akal dan lucu.

Sanggahan tersebut sempat menjadikan seorang Vatikan gerah dan dia juga menganggap Einstein sebagai seorang ateis, karena dianggap tidak mempercayai adanya Tuhan. Tetapi, banyak juga yang sepakat dengan pendapat Einstein, mengenai adanya Tuhan. Sosok Tuhan menurut Einstein adalah Tuhan yang impersonal, bukan Tuhan yang personal. Artinya, Tuhan adalah sosok yang tidak sama dengan manusia, tidak sama dalam hal segalanya, baik berupa fisik maupun sifat.

Karena jika Tuhan sama dengan manusia, berarti Tuhan itu lemah, padahal, menurutnya, Tuhan adalah sosok yang kuat. "Bagaimana Tuhan dapat menciptakan alam seisinya jika Tuhan itu sendiri lemah?", mungkin itulah yang ada dalam otak Einstein.

Dalam buku tersebut tersebut, berbagai gugatan yang dilontarkan Einsten telah dijelaskan dengan gamblang, apalagi disertai dalil dari Al Quran yang semakin menguatkan penulis dalam menganalisis juga sebagai penyekat adanya kekelanturan untuk memahaminya. Tetapi sayangnya, yang membuat tidak enak dibaca, isi dari buku tersebut dijejali promosi-promosi buku lain oleh penulis yang sama, sehingga ada perasaan yang kurang enak dalam menelaah buku ini. Namun, walaupun demikian, buku ini sangat layak untuk dibaca, mengingat banyaknya orang-orang Barat yang ingin kembali menemukan agama sejati.

Peresensi adalah adalah Peneliti pada The Institute Cabean Center, Yogyakarta