Pustaka

Kenangan Kiai Hasyim Muzadi Sebagai Pembelajaran Umat

Sab, 16 Februari 2019 | 23:32 WIB

Kiai yang satu ini lahir di Desa Bangilan, Tuban, Jawa timur, 8 Agustus 1944, setahun sebelum Indonesia merdeka. Namanya Ahmad Hasyim Muzadi. Lebih populer dengan nama Hasyim Muzadi saja. Ia berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya pedagang tembakau, sedangkan ibunya berjualan roti dan kue kering di kampungnya. Anak ketujuh dari delapan bersaudara ini, sejak kecil, mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya. Ayah dan ibunya memang bercita-cita: kelak, semua anaknya, tumbuh menjadi orang yang berilmu dan bermanfaat bagi umat. 

Hasyim disekolahkan di madrasah, tapi ia tidak belajar sungguh-sungguh karena pelajarannya terlalu mudah baginya. Maklum pelajaran agama makanan sehari-harinya. Ia pun meminta dipindahkan ke sekolah (SR) Bangilan. Semua siswa SR dinyatakan tidak ada yang lulus, kecuali Kiai Hasyim. Keluarganya kaget bercampur gembira. Sang ayah pun merancang masa depan Hasyim dengan lanjut sekolah di SMP 1 Tuban. 

Hasyim belajar hanya 1,5 tahun di SMP 1 Tuban. Ia lantas melanjutkannya ke Pesantren Gontor, mengikuti keputusan ayahnya. Di pesantren itu ia masuk pada umur 12 tahun. Ia  dikenal cerdas dan meremehkan pelajaran dan doyan tidur. Meski demikian, ia santri yang berprestasi dan selalu naik kelas. Bahkan juara di kelasnya. 

Selain menimba ilmu di Gontor, sempat mengenyam pendidikan pesantren Senori, di Tuban, dan pesantren Lasem, di jawa tengah. Kiai Hasyim berkelana ke Malang. Di Malang, selain kuliah, ia juga aktif di pergerakan Mahasiswa Islam indonesia (PMII) organisasi mahasiswa yang rata-rata berlatar belakang NU.

Saat menjadi mahasiswa, ia dikenal memiliki banyak penggemar, terutama dari kalangan aktivis perempuan. Namun yang bisa menaklukan hatinya hanya Mutammiah, gadis 21 tahun yang juga saudara sepupunya sendiri. Kemudian mereka menikah dengan proses yang sangat cepat. Di dalam berkeluarga ia selalu mengantar kemana pun istrinya pergi, termasuk ke pasar.

Menjadi Ketua Umum PBNU
Kiai Achmad Hasyim Muzadi, memimpin NU. Umumnya yang memimpin NU lahir dari keluarga kiai yang punya nama besar. Namun tidak begitu dengan aktivis NU Jawa Timur yang akrab disapa Kiai Hasyim “cak”. Banyak pihak kaget ketika Muktamar ke-30 NU Lirboyo, kediri, tahun 2000, memutuskan memilih beliau sebagai ketua Umum Pengurus Besar NU. Ia menggantikan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang memimpin NU selama tiga periode: 1984-1989, 1989-1994, dan 1994-1999. 

Momentum bersejarah naiknya tokoh kampung menjadi pemipin tertingi NU. Namun setelah lima tahun berlalu. Gus Dur dan kiai Hasyim berada di posisi yang dihadapkan pada Muktamar ke-31 NU di Donohudan, Boyolali, Jawa tengah, tahun 2004. Pada Muktamar ke-32 NU di Makassar, kiai Hasyim resmi meninggalkan jabatan ketua Umum Pengurus Besar NU.

Jauh sebelum Muktamar NU digelar, keluarga besar Kiai Hasyim Muzadi menggelar rapat besar di pondok Pesantren Al-Hikam Depok jawa barat, yang dipimpin oleh Mbah Muchit. Purna tugas sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU, Kiai Hasyim berkonsentrasi pada pembangunan pesantren Al-Hikam, di Depok, Jawa Barat, adalah pesantren pengembangan dari pesantren pertama, yang juga nama Al-Hikma, yang dirintis di Malang, Jawa Timur.

Kiai Hasyim, menjadi sekjen di Internatinonal Conference for Islamic Scholar (ICIS), Organisasi para ulama sedunia diprakasainya pada tahun 2004, organisasi itu memiliki anggota yang tersebar di 67 negara. ICIS didirikan di Jakarta 24 Februari 2004 atas prakaraisanya kiai Hasyim bersama Hasan Wirajuda, Menteri Luar Negri Republik Indonesia kala itu. ICIS ditandatangani presiden Megawati Soekarno Putri. ICIS adalah organisasi swadaya masyarakat, non politik , non etnik, yang bekerja untuk membangun dialog dan kerja antar ulama dan cendekiawan muslim seluruh dunia menuju tatanan masyarakat yang damai, Entitas Islam sebagai Rahmatan lil’alamin mengakui eksistensi pluralitas, karena islam memadang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu pungsi pengujian Allah kepada manusia, faktor sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat maunusia.

Kiai Hasyim mendamaikan NU dan Muhamamdiyah, NU Dengan Muhammadiyah sempat memanas setelah persiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan pada tahun 2001. Tokoh Muhamadiyyah, Amien Rais, oleh orang NU dianggap sebai salah satu biang penggulingan Gus Dur. Saat itu, Amien Rais menjabat sebagai ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat ( MPR) dan ia pula yung memimpin Sidang Istimewa MPR. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum. Ketika itu Kiai Hasyim menjadi ketua PBNU, Melalui peroses yang panjang Kiai Hasyim bersama swadaya masyarakat partnership (Kemenitraan), NU dan Muhamadiyah pada tahun 2002, menadatangani nota kesepahaman untuk bersama memerangi korupsi di Indonesia. Kerja sama itu terjadi karena kegelisahan bersama bahwa korupsi dan pemberaatasannya di indonesia masih ruwet. Lilitannya tidak hanya di pemerintahan pusat tetapi juga menjalar ke daerah-daerah. NU dan Muhamaddiyah, 1,5 tahun sebelum pembentukan (KPK) dibentuk, sudah sudah membentuk gerakan moral korupsi,

CELAKET 10 IBARAT prasasi bagi sejarah hidup Kiai Hasyim. Celaket dahulu markas utama Kiai Hasyim dan kawan-kawan pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dikota Malang. Celeket terletak dijalan Celaket Nomor 10, Kota Malang, Jawa Timur. Jalan itu sekarang berganti nama menjadi jalan Agung Suprapto. Celaket 10 adalah titik tolak perjalanan hidup yang paling dikenang. Mula-mula sebagai Gerakan Pemuda Asor tingkat desa sampai mencapai puncak Ketua Umum PBNU.

Data Resensi:
Judul: Biografi A. Hasyim Muzadi

Penerbit: Keira Publishing

Penulis: Ahmad Milah Hasan

Cetakan: Pertama, Maret 2018

Peresensi: Kamil Maulana Yusuf (Aktivis penyebar virus NU di Media Sosial)