Pustaka

Konsep Jiwa dalam Pandangan Al-Ghazali

Ahad, 14 September 2008 | 23:00 WIB

Judul Buku: Psikologi Sufi Al-Ghazali
Penulis: Dr Ahmad Ali Riyadi M.Ag
Penerbit: Panji Pustaka, Yogyakarta
Cetakan I: Mei 2008
Tebal: 126 Halaman
Peresensi: Wusthol Bachrie

Dalam sejarah pemikiran filsafat dan keagamaan Islam Al-Ghazali menempati kedudukan yang sangat unik, karena pertimbangan kedalaman pengetahuannya, orisinilitas, dan pengaruh pemikirannya. Sehingga ia dijuluki the proof of Islam (hujjat al-Islam), the ornament of faith (zain al-din), dan the renewer of religion (mujaddid). Juga dalam dirinya terkumpul hampir semua jenis pemikiran dari berbagai gerakan intelektual dan keagamaan. Maka, tidaklah mengherankan jika ia terkenal sebagai seorang pakar dalam berbagai disiplin ilmu seperti teologi, fikih, filsafat, dan tasawuf.<>

Al-Ghazali selalu memberi wacana dan pemikirannya dalam berbagai disiplin ilmu. Karena pada masa kecilnya, ia sangat antusias mempelajari ilmu. Ia yang lahir tahun 450 H/1058 M di daerah Thus, dekat kota modern Meshed Khurasa, Persia (Irak). Distrik kota Thusi adalah tempat kelahiran banyak ulama menonjol dan orang terpelajar dalam Islam. Sehingga sangat wajar ketika Al-Ghazali merupakan sosok orang yang mengerti berbagai disiplin ilmu. Juga melihat karya-karyanya sekarang ini masih dipelajari dan dikaji.

Dari berbagai bidang keilmuan, ia sangat mendalami ilmu tasawuf dibanding dengan ilmu filsafat. Karena sebenarnya ia sangat kontradiktif terhadap ilmu yang rasional. Dalam bidang filsafat, Al-Ghazali mengecam kecenderungan filosofis karena ajaran-ajaran filosof cenderung membahayakan akidah dan mengabaikan dasar-dasar ritual. Namun, Al-Ghazali tidak menolak filsafat secara keseluruhan, tetapi yang ditolak hanya argumentasi rasional yang diyakini satu-satunya alat untuk membuktikan kebenaran metafisik. Para filosof sangat memaksakan rasio, bahkan apabila perlu mengabaikan akidah. Hal ini yang menyebabkan Al-Ghazali meninggalkan filsafat (16).

Dalam kajian tasawuf, ia mempelajari jiwa. Karena ia merasakan pada dirinya ada sesuatu yang melekat. Hal ini menimbulkan bahwa esensi manusia ada berbagai unsur yang masuk dalam epistemologi. Dalam literatur ilmu kedokteran, sangat jauh berbeda dengan yang dipelajari Al-Ghazali. Konsep tentang jiwa memang cukup sulit untuk dipahami dan dijelaskan dengan sebuah pengertian secara epistemologis yang dikemukakan para ahli ilmu jiwa sehingga banyak menimbulkan persepsi yang berbeda karena jiwa mempunyai hubungan yang kompleks dengan konsep lainnya seperti jasad, ruh, akal, dan kalbu.

Buku berjudul Psikologi Sufi Al-Ghazali ini sangatlah ringan untuk dibaca dan dipahami karena dalam literatur pembahasannya tidak terlalu muluk, bahasanya lebih mengerucut dalam persoalan yang dikaji. Al-Ghazali yang lebih cenderung pada kesufiannya memberikan kesimpulan dan poin penting. Jiwa merupakan substansi yang berdiri sendiri dan mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda dengan badan.

Jiwa dan badan terdiri dari dua dunia yang berbeda, jiwa berasal dari dunia metafisik, bersifat imaterial, tidak berbentuk komposisi, mengandung daya mengetahui yang bergerak dan kekal. Sedangkan badan merupakan substansi yang berasal dari dunia metafisik, bersifat materi, berbentuk komposisi tidak mengandung daya-daya dan tidak kekal. Jiwa merupakan sub sistem jiwa (nafs) yang di dalamnya terdiri dari ruh, akal, dan kalbu yang semua itu merupakan daya-daya penggerak dan dapat memengaruhi gerak badan.

Hubungan antara jiwa, badan dan gerak tingkah laku manusia mempunyai dua hubungan wujud dan aktivitas. Hubungan wujud jiwa dan badan merupakan hubungan yang saling membutuhkan karena jiwa diciptakan bukan karena badan dan jiwa bukan berada dalam badan. Maka, jiwa merupakan substansi material karena jiwa menempati sebuah bagian. Jadi hubungan keduanya bersifat horisontal transendental dan pada akhirnya hubungan keduanya akan terputus dan pada saat tertentu jiwa dan badan bisa kembali seperti semula dan proses kejadian semula (109).

Sekali lagi, Al-Ghazali memandang eksistensi jiwa adalah suatu yang utuh. Ia mendukung doktrin-doktrin yang menyatakan bahwa pusat pengalaman manusia tertumpu pada jiwanya yang merupakan substansi yang berdiri sendiri karena jiwa itu mempunyai fungsi dan fakultas-fakultas. Jiwa manusia tidak terkotak secara terpisah, melainkan menyebar ke seluruh organ tubuh. Jiwa manusia terdiri atas substansi yang mempunyai dimensi dan kemampuan merasa untuk bergerak dengan yakin berupa potensi dasar yang dimiliki jiwa.

Melihat secara sufistik, Al-Ghazali membagi beberapa tingkatan kejiwaan. Pertama, jiwa yang tenang (an-nafs al-mutmainnah) adalah jiwa yang berada pada perkembangan jiwa tatkala mendapatkan ketenteraman dan kedamaian karena Tuhan. Al-Ghazali juga mengutip Al-Quran untuk memperkuat pendapatnya "wahai jiwa yang muthma'innah kembalilah ke dalam Tuhanmu, dalam keadaan ridla dan diridlai sepenuhnya." Karakter jiwa ini akan menemukan ketenangan dan ketentdraman jika terhindar dari godaan-godaan yang mengganggunya.

Kedua, jiwa yang penuh penyesalan (an-nafs al-lawwah) adalah mencela. Secara lughawi, istilah al-lawwamah mengandung arti amat mencela dirinya sendiri. Jiwa ini termasuk jiwa yang menyadari pikiran-pikiran, keinginan dan cela diri sendiri. Pada taraf jiwa ini merupakan awal taraf rohani karena pada taraf ini merupakan sebuah proses kembali pada Tuhan dan proses penghilangan pelanggaran. Jadi, taraf ini ada proses dalam pencarian Tuhan, di mana ada sesuatu yang menghendaki batinnya antara kecocokan yang mereka peroleh.

Ketiga, jiwa yang memerintah (an-nafs al-'amarah) pada taraf ini termasuk jiwa yang belum dimurnikan atau dibersihkan dari sumber segala jenis perbuatan untuk memenuhi perbuatan-perbuatan dengan semua yang merupakan kemurkaan (ghadlab) dan keinginan (syahwah) untuk menguasai jiwa. Juga disebutkan dalam ayat Al-Quran surat Yusuf ayat 12:53: "Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Terakhir, buku ini memberikan cahaya pada kita semua yang mau mempelajarinya tentang konsep jiwa manusia. Karena manusia sering tidak terkontrol oleh sifat dan karakter yang melekat pada badan. Sehingga kadangkala manusia dikatakan binatang karena melihat pola dan sifat serta karakternya seperti halnya binatang. Padahal, manusia sendiri diberikan akal untuk berpikir secara normal. Namun, kenapa banyak yang terjadi manusia sekarang salah bertindak sebagai mahluk Tuhan paling sempurna.

Peresensi adalah Pustakawan Kutub, tinggal di Yogyakarta