Menengok Isi Kitab Risalah Ahlissunnah wal Jamaah Karya KH Hasyim Asy’ari
Rabu, 20 Mei 2020 | 09:00 WIB
Ahmad Nur Kholis
Kontributor
Mencermati kitab Risalah Ahlissunnah wal Jamaah karya Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari, kita akan mengetahui bahwa penulisannya dilatarbelakangi oleh munculnya gerakan modernisme Islam di Indonesia. Menurut Andrée Feillard (2009:6) kaum modernis membentuk organisasi yang dikenal seperti Muhammadiyyah (1912), Al-Irsyad (1915), dan Persatuan Islam (1923). Gerakan ini menurutnya adalah gerakan kedua yang harus dihadapi kaum muslimin Ahlussunnah wal Jamaah setelah gerakan puritanisme di Sumatera Barat yang ditandai dengan pertentangan kaum Paderi di satu sisi dan kaum sufi adat di sisi lain.
Gerakan ini menurut catatan Andrée Feillard dalam bukunya NU vis-à-vis Negara adalah gerakan kedua yang harus dihadapi kaum muslimin Ahlussunnah wal Jamaah setelah gerakan puritanisme di Sumatera Barat yang ditandai dengan pertentangan kaum Paderi di satu sisi dan kaum sufi adat di sisi lain.
Kitab Risalah Ahlissunnah wal Jamaah ini adalah suatu bentuk usaha intelektual dalam mempertahankan Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia yang dilakukan oleh Hadratussyekh. Pada perkembangan berikutnya, perdebatan yang kian meruncing ini kemudian diupayakan penyatuannya oleh Kiai Hasyim Asy’ari pada tahun 1930 di dalam sebuah ceramahnya yang ditulis dengan judul “al-Mawaidh” (wejangan-wejangan). Apa yang disebutkan terakhir ini kemudian dicatat para pengamat seperti Martin van Bruinnesen sebagai bentuk sikap nasionalisme sang kiai. Para pemuka kaum muslimin dari berbagai mazhab dan organisasi mengamininya dalam wujud pembentukan organisasi konfederasi Islam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937 M.
Bahwa kitab Risalah Ahlissunnah wal Jamaah ini dilatarbelakangi munculnya berbagai aliran Islam di Nusantara, terlihat seperti dalam apa yang disampaikan oleh Hadratussyekh dalam wacana pembuka pasal kedua kitab ini. Secara eksplisit hal ini terungkap pada paragraf kedua pasal itu. Hadratussyekh di dalamnya mengatakan:
“Kemudian terjadilah pada tahun 1330 (H) kelompok-kelompok yang bermacam-macam, pandangan-pandangan yang saling bertentangan, pendapat-pendapat yang membingungkan, orang-orang yang memperebutkan pengikut….” Kemudian dalam paragraf selanjutnya Kiai Hasyim mengatakan: “Sebagian dari mereka ada yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, yang mana mereka berdua mengambil bid’ah dari Muhammad bin Abdul Wahab….” (hal. 9).
Kitab ini sendiri terdiri dari 10 (sepuluh) pasal ditambah dengan satu lagi khutbah kitab (pendahuluan). Pasal pertama dari kitab ini setelah pendahuluan membahas tetang pemahaman mengenai pengertian dari kata sunnah dan kata bid’ah. Masing-masing kedua istilah tersebut dibahas dari segi tinjauan pengertian bahasa (etimologi) dan pengertian istilah (terminologi).
Pasal kedua dari kitab ini membahas tentang kondisi keagamaan (Islam) masyarakat Jawa (baca: Nusantara) sebelum dan sesudah tahun 1330 H. Pasal ketiga membahas tentang garis perjuangan ulama salaf, makna yang terkandung dari istilah sawad al-a’dzam, dan pentingnya berpegang teguh pada salah satu dari mazhab empat. Pasal keempat dari buku ini menjelaskan tentang kewajiban bermazhab bagi orang yang tidak memiliki keahlian ijtihad.
Pasal kelima dari buku ini menjelaskan kelaziman untuk berhati-hati dalam mengambil (belajar) agama dan ilmu, juga masalah keharusan berhati-hati dari fitnahnya ahli bid’ah dan kaum munafiq dan para pemuka agama yang menyesatkan. Pasal keenam membahas tentang hadits-hadit mengenai merebaknya bid’ah dan kebodohan sebagai kondisi akhir zaman. Pasal ketujuh mengulas soal keberdosaan orang yang mengajak kepada kesesatan atau memberikan teladan yang buruk.
Pasal kedelapan dari kitab ini membahas tetang keterpecahan umat Islam kepada 73 (tujuh puluh tiga) golongan serta kelompok-kelompok sesat di antaranya. Juga penjelasan mengenai kelompok Ahlussunnah wal Jamaah adalah satu-satunya yang selamat. Pasal kesembilan dari kitab ini membahas tentang tanda-tanda hari kiamat sudah dekat. Pasal kesepuluh dari kitab ini menjelaskan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan kondisi orang mati yang dapat mendengar dan berkata-kata.
Daftar isi kitab Risalah Ahlissunnah wal Jamaah karya KH Hasyim Asy'ariyang terhimpun dalam kompilasi kitab Irsyadus Sari
Dengan membaca keseluruhan dari pasal-pasal kitab ini, kita menjadi mengerti setidaknya dua hal. Pertama, bahwa sebagaimana juga dikatakan oleh Martin van Bruinnessen, kenyataan tuduhan bid’ah yang pada mulanya ditujukan kaum modernis terhadap ulama pesantren telah dinyatakan sebaliknya oleh para ulama tradisional dan demikian pula Nahdlatul Ulama sebagaimana tercatat dalam satutennya.
Kedua, bahwa para ulama tradisional tetap berpegang teguh dan membela cara-cara keagamaan dengan model bermazhab. Suatu hal yang sangat kontras dengan cara-cara keberagamaan orang modernis. Hadratussyekh sendiri, sebagai dijelaskan oleh Martin van Bruinnessen, memilih pendekatan bermazhab kepada salah satu dari Imam Empat (Madzahib Arba’ah) karena beliau baru menguasai 12 cabang dari 16 cabang ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid.
Penting untuk dikatakan di sini bahwa pada pasal pertama kitab ini KH Hasyim Asy’ari menukil dan menjelaskan pendapat dari Syekh Zarruq yang menjelaskan bahwa penilaian akan suatu perbuatan, atau sesuatu apa pun sebagai bid’ah harus dipertimbangkan dari tiga segi, yaitu (1) dari segi adanya landasan atau tidak, termasuk pertimbangan bertentangan dengan dalil atau tidak; (2) pengukuran dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan para imam dari ulama salaf; dan (3) mempertimbangkan dari syawahid (pernyataan) hukum yang kemudian diperinci ke dalam bid’ah yang wajib, nadb (baik), haram, makruh, khilaf al-aula (berbeda dengan yang utama), dan mubah (boleh).
Menurut Kiai Hasyim, para ulama telah menguraikan penjelasan mereka tentang hadits seputar bid’ah, bahwa yang dimaksud adalah perubahan i’tiqad (keyakinan) dari sesuatu yang awalnya bukanlah ibadah menjadi diyakini sebagai ibadah.
Dari penjelasan terakhir ini, maka kita menjadi mengerti bahwa sesungguhnya perdebatan atau kritik dari kaum puritan terhadap kaum tradisionalis adalah karena kesalahpahaman mengenai apa yang seharusnya dipahami sebagai tradisi keagamaan dan dianggap sebagai ibadah.
Dalam bagian terakhir pasal pertama kemudian Kiai Hasyim Asy’ari membela keabsahan tradisi keberagamaan masyarakat tradisionalis yang sering dikritik kaum modernis dan puritan. Beliau menegaskan keabsahan tradisi seperti penggunaan tasbih, melafalkan niat, tahlil dan bersedekah untuk mayit, yang mana itu semua tidak ada dalil yang melarang. Sebagai bandingan, lalu Hadratussyekh menjelaskan penilaian buruknya terhadap perilaku menyimpang seperti judi di pasar malang dan permainan undi dengan bantengan.
Kitab ini bermanfaat bukan hanya untuk memahami, menilai, dan membeda mana ibadah mana tradisi, mana sunnah mana bid’ah, tapi juga posisi keagamaan para ulama pesantren saat itu yang direpresentasikan Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, salah satu ulama paling berpengaruh di bumi Nusantara.
Peresensi adalah R. Ahmad Nur Kholis, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang
Identitas Kitab
Judul : Risalah Ahlissunnah wal Jamaah fi Hadits al-Mawta wa Asyrat al-Saa’ah wa Bayani Mafhumi al-Sunnah wal Bid’ah.
Penulis : Hadratussyekh Hasyim Asy’ari
Tebal : 42 halaman
Penerbit : Maktabah At-Turats Al-Islamy Tebuireng Jombang Jawa Timur
Tahun : 1418 H
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
4
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
Lantik 4 Rektor Perguruan Tinggi NU, Waketum PBNU: Tingkatkan Kualitas Pelayanan Akademik
Terkini
Lihat Semua