Pustaka

Mengenal Kitab Ushul Fiqh ‘Al-Mustashfa’ Karya Imam al-Ghazali

Rab, 16 Januari 2019 | 13:30 WIB

Al-Ghazali bernama lengkap Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thûsî al-Syâfi’î. Ia lahir di Thûs pada tahun 450 H dan wafat serta dikebumikan di kota yang sama  pada tahun 505 H, pada kisaran usia 52-55 tahun. (As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah: 6/191).

Ada dua riwayat yang menyebutkan penisbatan beliau dengan al-Ghazalî. Pertama, disebabkan karena ayah Imam al-Ghazali adalah seorang pemintal bulu kambing. Pemintal dalam istilah Mu’jamu al-Arab disebut Ghazala. Ahli pintal dikenal dengan istilah Ghazâl. Jadi, nisbat al-Ghazâlî seolah menunjuk pada keahlian sang ayah sebagai juru pintal. Ibnu Imad menjelaskan ini dalam kitabnya Syadzarâtu al-Dzahab fi Akhbâri Man Dzahab, juz 6 halaman 19. Riwayat kedua menghubungkan nisbah al-Ghazâlî dengan desa tempat al-Ghazali dilahirkan yaitu Ghazâlah, sebuah kota yang menjadi bandar dari kota Thûs, yang berada di wilayah Khurasân, Persia (Iran). 

Pendidikan al-Ghazali diawali dengan berguru di kepada seorang sufi besar di masanya, yaitu Ahmad bin Muhammad al-Razikânî. Berikutnya, ia masuk ke sebuah ribath yang diasuh oleh Syeikh Yusuf Al-Nasaj. Setelah tamat, kemudian ia melakukan rihlah ilmiahnya yang diawali ke kota al-Jurjân, lalu berguru kepada Abu Nashr al-Ismâ’ily. Beberapa kitab hadits yang sempat dipelajarinya adalah sebagai berikut:

1. Shahih Bukhâri, dipelajari dari Abû Sahl Muhammad ibn Abd allâh al-Hafsh dan Abû al-Fatyân Umar al-Ruasâi. Khusus dari ulama’ terakhir, ia juga mempelajari Shahih Muslim
2. Sunan Abu Dawud dari al-Hâkim Abû Fath al-Hâkimî
3. Maulid Nabi dari Abû Abdillah Muhammad ibn Muhammad al-Khawwâni

Di usia 20 tahun ia pergi dari al-Thûs menuju ke pusat kota Nisabûr, yang saat itu menjadi kota ilmu pengetahuan yang masyhur hingga hancurnya oleh tentara Mongol di Tahun 1256 M. Di kota ini ia masuk di Universitas Nidhâmiyah, dan berguru kepada Abu al-Ma’âlî al-Juwaini (Imam Haramain) sampai beliau wafat kurang lebih tahun 478 H (1084 H). Di al-Nidhâmiyah inilah, kemudian al-Ghazali diangkat sebagai guru besar madrasah itu, yaitu pada tahun 1090 M/482 H dan berlangsung selama 6 tahun. Tahun 488 H, beliau memutuskan kembali ke tanah kelahirannya yaitu al-Thûs lalu mendirikan sebuah khanaqah (semacam tempat tajrîbah/latihan bagi para sufi yang ingin mempelajari dzikir dan olah batin). Seluruh perjalanan ini, terangkum dengan baik di dalam kitabnya yang berjudul al-Munqîdz min al-Dlalâl. (Al-Ghazali, Al-Munqidz Min al-Dhalal, Kairo: Dar al-Nasr Li Taba’ah 1968, 75).

Baca juga:
Akhlak Para Ulama-Mahaguru Madrasah Nidhamiyah
Menengok Isi Kitab Ushul Fiqh 'al-Burhan' Karya Imam Haramain
Al-Ghazali dalam perjalanan intelektualnya, dikenal sebagai sosok ulama terkemuka yang menguasai berbagai bidang keilmuan termasuk ilmu kalam, filsafat, sastra, manthiq, fiqih, ushul fiqih, hadits, bahkan seorang teolog. Karena daya ingatnya yang kuat dan mampu berdialog dengan baik, maka ia mendapatkan gelar sebagai hujjatu al-islâm oleh para tokoh di zamannya, sebagai bentuk penghargaan atas perannya yang besar dalam mewarnai pemikiran umat Islam kala itu. Al-Isnawi dalam kitab Thabaqat-nya sebagaimana dikutip oleh Ibnu Imad menggambarkan sosok al-Ghazali sebagai berikut:

الغزّالي إمام باسمه تنشرح الصدور، وتحيا النفوس، وبرسمه تفتخر المحابر وتهتزّ الطّروس، وبسماعه تخشع الأصوات وتخضع الرؤوس ولد بطوس، سنة خمسين وأربعمائة، وكان والده يغزل الصّوف ويبيعه في حانوته

Artinya: “Al-Ghazzali adalah seorang imam yang dengan namanya dada menjadi lapang, jiwa menjadi hidup, tinta-tinta menjadi berbangga ketika menulis namanya, kertas-kertas terguncang mendengar namanya, suara-suara akan jadi khusyuk dan kepala-kepala akan tertunduk. Beliau dilahirkan di Thus tahun 450 H. Ayahnya menenun bulu dan menjualnya di tokonya.”  (Ibnu Imad, Syadzarâtu al-Dzahab fi Akhbâri Man Dzahab, Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.: Juz 6 halaman 19)

Al-Ghazali memiliki banyak karya tulis. Beberapa karya yang menjadi masterpiece-nya dan terkenal di Indonesia adalah kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn. Ada juga karya yang lain, dan turut terkenal dan diajarkan di pesantren-{pesantren nusantara antara lain Bidâyat al-Hidâyah, Minhâj al-‘Abidîn, al-Munqîdz min al-Dlalâl dan al-Wasîth dan al-Wajîz. Di dalam ushul al-fiqh, al-Ghazali memiliki sejumlah karangan antara lain al-Mustashfa, al-Mankhul, al-Ma’lul fi ikhtilifayah, Tahdzîb al-Ushûl, dan Shifâu al-Ghalil. Sebenarnya masih banyak kitab karya yang lain, namun dari kesekian kitab itu masih agak jarang ditemui di dunia pesantren selain empat kitab yang telah disebutkan di atas. 

Untuk mengetahui pemikiran maqâshid dari al-Ghazali, maka kitab rujukan yang paling disarankan adalah kitab al-Mustashfa. Kitab ini disusun kurang lebih 900 halaman. Di dalam kitab ini, Al-Ghazali seolah menunjukkan kapasitasnya sebagai ahli dalam bidang ushul al-fiqh. Penting diketahui bahwa al-Ghazali merupakan sosok pemikir dan tasawuf yang bermadzhab al-Syâfi’i. Oleh karena itu, disarankan bagi para pembaca yang menginginkan untuk mendalami kitab ini, agar membingkaikan diri terlebih dahulu dengan pagar madzhab ini sehingga dapat menyerap apa yang dimaksudkan oleh al-Ghazali di dalam kitabnya. 

Kandungan Kitab al-Mustashfa

Kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali menjadi bukti kualitas dan kapabilitas sang pengarang di bidang fiqih. Di bagian akhir kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazâli menyebutkan bahwa kitab tersebut selesai ditulis pada tahun 503 H. Berbekal informasi ini dan bersandarkan pada publikasi ilmiah bahwa kitab tersebut ditulis selama tiga tahun, maka dapat disimpulkan bahwa beliau memulai proyek risetnya ini kurang lebih pada tahun 499 H. 

Pada tahun 499 H, al-Ghazâlî mendapat permintaan dari para mahasiswanya di Universitas Nidhâm al-Mulk agar menulis sebuah kitab pegangan (semacam diktat) tentang metode penggalian hukum Islam. Berbekal permintaan inilah, lalu dijawab oleh al-Ghazâli dengan menghadirkan kitab al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushûl. Jika menilik dari tahun akhir penulisan, maka kurang lebihnya al-Mustashfa adalah kitab akhir dari karya beliau. Kitabnya ditulis dalam kondisi alam pemikiran yang sudah benar-benar matang (Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A Comaparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, Selangor: IIUM dan IIIT, 1996, hal: 8-9).

Baca juga:
Mengenal Kitab-kitab Fiqih Perbandingan Mazhab
Detik-detik Wafatnya Imam Al-Ghazali
Melihat dari judul kitabnya “al-Mustashfa” yang berarti upaya menuju kondisi shafiyun (bersih), maka seolah kitab ini menggambarkan akhir perjalanan hidup beliau yang sempat menyatakan diri keluar dari Universitas Nidhâm al-Mulk untuk berkonsentrasi pada dunia ketasawufan. Dan apabila melihat bahwa kitab ini disandarkan pada satu disiplin ilmu ushûl al-fiqh, maka seolah kitab ini beliau hadirkan sebagai wujud metode menempuh jalan pemurnian hati melalui pola penggalian hukum fiqih. Dan sebagaimana pernah beliau sampaikan bahwa maqâshid syarîah pada dasarnya adalah upaya mencapai kesejahteraan (sabîli al-ibtida’), maka yang dimaksud oleh beliau sebagai kesejahteraan olehnya adalah tidak jauh amat dari nama salah satu judul kitabnya yaitu upaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (sa’âdah fi al-dunya wa sa’âdah fi al-âkhirat). Hal ini tertuang sebagaimana isi dari kitab Kimiyâu al-Sa’âdah li al-Ghazâli.

Kitab al-Mustashfa disusun dengan penggunaan gaya bahasa yang imbang antara sulit dan mudah. Sistematika penyusunan kitabnya juga unik, karena terkesan rapi dan penyelidikan isi yang cermat. Isi kitab seolah membawa daya tarik tersendiri kepada pembacanya untuk terus-menerus membaca, bahkan jauh dari kesan membosankan, meskipun uraiannya panjang. Pantaslah kiranya kalau al-Juwaini menjuluki Imam al-Ghazali sebagai al-bahru maghrûq (samudera yang menenggelamkan). Pembaca karyanya tidak terasa seperti terhipnotis atas uraiannya sehingga sulit untuk mencari titik lemahnya. Istilah zaman sekarang adalah “diam-diam menghanyutkan”. Itulah kiranya padanan julukan dari al-Juwaini ini kepada al-Ghazâli. 

Jika umumnya para penulis ushul fiqh memulai bahasannya mengenai bahasa hukum dan premis-premis kebahasaan dalam penalaran hukum, lalu dilanjutkan dengan kajian dilâlatu al-ahkâm (dalil-dalil hukum), ikhtilâf dan ittifâq di dalam hukum, ijtihad dan mujtahid serta syarat mujtahid, lalu taqlid dan diakhiri dengan metode tarjîhât al-ahkâm, namun semua itu tidak dengan al-Ghazâli dalam kitab al-Mustashfa ini. Kitab al-Mustashfa diorganisasikan dalam apa yang disebut dengan istilah “quthub.” Al-Ghazali mendefinisikan quthub sendiri sebagai sesuatu yang memuat substansi yang dituju (والأقطاب هي المشتملة على لباب المقصود). 

Kurang lebih ada 4 quthub dalam al-Mustashfa. Mungkin maksud pengorganisasian ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa semua materi yang dikaji dalam tiap-tiap quthub-nya adalah berhubungan erat antara satu sama lain membentuk suatu kesatuan bahasan dalam satu ide sentral yang menjadi topik utama kajiannya. 

Lantas apa sebenarnya tujuan utama beliau dalam membagi kajian ushul fiqih menjadi 4 quthub ini? Asumsi dasar penulis kemungkinan hal itu ditujukan untuk menjawab empat dasar pertanyaan dasar ushul fiqih, antara lain:

1) Apakah hukum syar’i itu?
2) Di mana hukum syar’i itu ditemukan atau apa sumber hukum syar’i itu?
3) Bagaimana cara (metode) menemukan hukum dari sumber hukum syar’i?
4) Siapa yang berwenang melakukan penemuan hukum syar’i dari sumber-sumber hukum tersebut?

Keempat pertanyaan inilah yang menyebabkan bahasan al-Mustashfa dibagi menjadi 4 quthub. Dengan berbekal pertanyaan ini, maka seolah al-Mustashfa memang hadir tidak lepas dari setting sosial al-Ghazâli sendiri yang sangat panjang dan bahkan sempat menggambarkan dunia eskatisme yang pernah beliau alami saat beliau memutuskan berhenti dari mengajar di Universitas Nidhâm al-Mulk untuk menekuni dunia tashawuf dan tazkiyâtu al-nafs (pembersihan jiwa).

Pada bagian awal muqaddimah kitab, al-Ghazâli membaginya menjadi tiga sub-pembahasan. Di sub pertama, ia menjelaskan latar belakang dan motif mengapa ia menulis kitab ini (hal. 8-10). Sub kedua, ia membahas mengenai apa itu usul fiqih, kedudukannya dalam struktur ilmu-ilmu keislaman, sistematika dan ruang lingkup kajian ushul fiqh (hal. 11-18). Di bagian sub ketiga, al-Ghazâli membahas mengenai logika Yunani. Di bagian sub ketiga ini, beliau menjelaskan banyak hal tentang logika dengan sangat menarik hingga mencapai kurang lebih 40 halaman tersendiri (hal. 19-68).

Quthub pertama al-Mustashfa membahas tentang hukum syar’i. Di bagian ini, ia membagi kajian menjadi empat pokok bahasan utama. Pokok bahasan pertama, membahas mengenai hakikat hukum itu sendiri sebagai khithab syar’î (sapaan Ilahi) yang ditujukan kepada perbuatan subjek hukum (mukallaf). Tanpa adanya khithab syar’i, maka tidak ada hukum (hal. 68-80). 

Pada pokok bahasan pertama, al-Ghazâli membahas mengenai pembagian hukum. Pembahasan ini diawali dengan sebuah diskusi pendahuluan mengenai hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Pembahasan dilanjutkan dengan membahas 15 masalah yang keseluruhannya membicarakan mengenai korelasi dari kelima hukum dengan lafadh amar (perintah) dan nahî (larangan) (hal. 80-100).

Pada pokok bahasan ketiga, ia membahas mengenai ‘anâshir al-ahkâm yang di dalam istilah al-Ghazâli disebut arkân al-hukm yang memuat materi hukum itu sendiri. Menurut al-Ghazâli, hukum itu memiliki beberapa rukun, antara lain adalah adanya al-hâkim (pembuat hukum), subjek hukum (al-mahkûm ‘alaih) dan objek hukum (al-mahkûm fîh). Pembahasan arkânu al-hukm ini dibahas sampai 11 lembar (hal. 100-111). Berikutnya, di pokok bahasan keempat, al-Ghazâli mengajukan sebuah diskusi tentang dialektika sebab-sebab hukum dan hubungan hukum dengan sebab-sebab tersebut. Imam al-Ghazâli mengistilahkannya dengan sebutan hukum wadl’i (hal. 111-118).

Pembahasan dari al-Mustashfa ini sangat menarik untuk dicermati. Cakupannya luas, dan insyaallah dalam beberapa edisi tulisan mendatang, kita akan berkonsentrasi pada kitab ini untuk menggali maqâshid al-Ghazâli, mengingat Indonesia pada khususnya, dan Nusantara pada umumnya, banyak yang menggunakan karya beliau sebagai bagian dari kurikulum yang diajarkan di setiap pesantren. Bagaimana sikap beliau dengan manhâj iqtishâd-nya (metode “tengah-tengah”), mungkin akan banyak mewarnai tulisan-tulisan mendatang. Wallâhu a’lam.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim