Pustaka

Mengenal Pengertian Aksara Pegon di Nusantara

Rab, 25 Oktober 2017 | 03:30 WIB

Tahukah Anda hasil peradaban pesantren yang terus hidup subur (a living tradition) selama lima abad terakhir? Bahkan ia insyaallah akan terus hidup hingga akhir masa. Pegon adalah jawabnya! Tradisi menulis dengan aksara Arab yang dimodifikasi (Arabic modified script) ini tumbuh sejak abad ke-16 dan terus berkembang dengan segala kompleksitasnya hingga abad ke-21.

Apa definisi dari pegon? Mari kita melihat kepada beberapa kamus bahasa sebelum memberikan makna terminologi yang diberikan para ahli penaskahan(filolog). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Indonesia 2005), pegon diartikan dengan “aksara arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa; tulisan Arab yang tidak dengan tanda-tanda bunyi (diakritik); tulisan Arab gundul.”Makna ini juga diakui di beberapa negara-negara yang bahasanya tumbuh dari bahasa Melayu paling tidak menurut para penyusun Kamus Bahasa Melayu Nusantara (Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei 2011)

Namun dalam sebuah kamus bahasa Jawa, selain dua definisi di atas ditambahkan satu definisi lainnya yaitu, “ora mligi cara Jawa (campuran)” yang artinya “bukan hanya dalam Bahasa Jawa (campuran)” (Balai Bahasa Yogyakarta dan Penerbit Kanisius 2011). Yang disayangkan adalah kurang jelas apa saja yang termasuk dalam campuran itu. Apakah seluruh bahasa-bahasa lokal di Indonesia atau hanya beberapa bahasa tertentu saja? Jawabannya sedikit dikuak dalam Kamus Bahasa Madura yang menggunakan ejaan peghun menyebutkan bahwa aksara ini digunakan untuk menulis Bahasa Jawa dan Madura.

Dari definisi-definisi yang diberikan di atas, tidak ada yang mencakup seluruh maksud pegon dalam kajian para ahli naskah. Di antara para pengkaji aksara lokal di Indonesia, pegon tidak hanya mencakup bahasa Jawa dan Madura, namun juga bahasa Sunda. Bahkan saya telah menemukan sebuah manuskrip beraksara pegon Bali. Maka dari itu, pegon dapat diartikan dengan sistem penulisan (writing system) yang menggunakan aksara Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Bali.

Juga, pada kenyataannya pegon tidak selalu ditulis tanpa harakat (Arab-gundul). Dalam banyak manuskrip, pegon juga ditulis dengan menggunakan tanda diakritik ini. Dalam kesempatan mendatang saya akan menunjukkan masing-masing contoh manuskrip pegon dalam 4 bahasa di atas. Insyaallah.

Meskipun demikian, di antara para penggunanya di masa kini, yaitu para santri,penyebutan katapegon meluas. Pegon menjadi kata yang menunjuk pada penggunaan aksara Arab untuk menulis bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, bahkan tampaknya seluruh bahasa lokal di Nusantara. Oleh sebab itu, misalnya, seorang tokoh menyebut kitab tertua yang dibawa Sunan Ampel ke Nusantara itu beraksara pegon Campa, yaitu tulisan Arab dalam bahasa Campa. Maka, dari sini lahir lahistilah pegon Melayu, pegon Indonesia, dan banyak pegon lainnya.

Namun, karena beberapa sistem tulis telah dikenal dan diidentifikasi dengan nama tertentu, misalnya aksara Jawi untuk aksara Arab-Melayu, dan aksara Serang untuk Arab-Bugis-Makassar, maka saya hendak membatasi definisi pegon. Dari sini, saya mendefinisikan pegon di masa sekarang dengan sistem penulisan yang menggunakan aksara Arab yang dimodifikasi dalam bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Indonesia.

Pertanyaan yang menarik di sini adalah apa makna pegon pada mulanya ketika dia lahir pada masyarakat Jawa kuno? Untuk mengetahui makna pegon kita perlu merujuknya kepada bahasa Jawa Kawi. Kata pegon berasal dari kata pego yang dalam bahasa Jawa Kawi memiliki beberapa arti.

Dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia, Zoetmulder (dan Robson 2006)mungkin keliru ketika mengatakan bahwa pego adalah kata yang merupakan kata dasar dari apégo yang berarti “juga”. Dia menyebutkan contoh dalam frasa berikut “Pega ningcitta lali awetu tangis”.

Definisi lainnya yang diberikan oleh Zoetmulder (dan Robson 2006) adalah “(mengucapkan) dengan kesukaran?”. Seperti terlihat di sini, penulisnya pun tidak yakin dengan pemaknaan tersebut. Namun, sayangnya makna ini sudah terlanjur tersebar dan digunakan oleh peneliti-peneliti selanjutnya. Sebagiannya berusaha mengesankan bahwa pegon itu dianggap asing dan “aneh” oleh penggunanya sendiri.

Bagi saya arti yang tepat untuk kata ini, sebagaimana diberikan C.F. Winter (1994) yang berkonsultasi dengan pujangga santri R.Ng. Ranggawarsita, adalah “kukus, sumpeg, peteng.”. Maksudnya yaitu, sempit dan tidak longgar.Secara lebih jelasarti frasa di atas adalah “Pikirannya gelap (sangat gelisah, hingga) lalai mengeluarkan air mata.”

Arti kata ini nampaknya berubah dan berbaur dengan makna konotatifnya, yaitu sedih dan risau, seperti diberikan oleh Kamus Kawi Bali (Yayasan Kawi Sastra Mandala 1990) yaitu sesek (sempit), lek (sedih), engsek (sedih). 

Mengapa peteng (gelap) dan sumpeg (penuh atau berdesakan)? Jika kita melihat sebuah manuskrip pegon, maka akan tampak jelas apa yang dimaksudkan. Aksara ini disebut dengan pegon (berdesakan atau memenuhi) karena aksara ini membuat gelap dan penuh halaman yang ditulisi. Dia juga sering kali ditulis dan ditempatkan berdesakan dengan satu sama lain. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi utama pegon untuk memberikan terjemahan antar baris (interlinear translation) teks-teks berbahasa Arab.

Hal ini berbeda dengan teks beraksara Jawa hanacaraka yang tidak perlu diterjemahkan sehingga dalam manuskrip hanacaraka kertasnya lebih “terang”, tidak penuh, dan aksaranya tidak “berdesakan”. Lihat perbandingan dua manuskripdi bawah ini.

Usia pegon telah mencapai masa lima abad sejauh ini. Pertanyaan yang muncul adalah akankah doa saya di awal tulisan ini akan terkabul? Akankah pegon terus bertahan di masa ketika sebagian pesantren, meskipun kecil, telah“berani” meninggalkannya?


Nur Ahmad, Wakil Sekretaris PCINU Belanda; alumni Master di Vrije University Amsterdam