Pustaka

Menimbang Sejarah dan Ajaran Tarekat

Sen, 29 Agustus 2011 | 11:02 WIB

Judul buku : Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf
Penulis : K.H. A. Aziz Masyhuri
Cet. I : Juli 2011
Tebal : xx+ 338 halaman (termasuk daftar pustaka)
Penerbit : IMTIYAZ Surabaya
Peresensi : Yusuf Suharto 

<>Buku berjudul Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf ini adalah salah satu karya penting Kiai Abdul Aziz Masyhuri dalam kajian tentang tarekat setelah bukunya Permasalahan Thariqah Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama 1957-2005 diterbitkan pada 2006 lalu. Kiai Aziz terhitung sebagai kiai pesantren yang sangat produktif. Dalam buku berbahasa Indonesia yang ditulisnya terhitung ada 95 judul dari berbagai bidang ilmu. Dalam bahasa Arab, ikhtisarnya terhitung ada 21 judul, buku yang diedit dan disuntingnya ada 15 judul, sedangkan buku terjemahannya terhitung ada 7 judul.

Mengawali buku tentang aliran-aliran tarekat ini dinyatakan oleh Kiai Aziz bahwa Tarekat secara etimologis bermakna antara lain jalan, cara, metode, haluan, tiang teduhan. Sedangkan menurut istilah tasawuf berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Dalam kitab Jami’ al-Ushul fi al-Awliya’ tarekat bermakna laku tertentu bagi orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah, berupa memutus atau meninggalkan tempat-tempat hunian dan naik ke maqom atau tempat-tempat mulia. Menurut al-Jurjany dalam al-Ta’rifat tarekat adalah metode khusus yang dipakai oleh salik menuju Allah melalui tahapan-tahapan atau maqamat. (hal. 1-2).

Istilah tarekat terkadang kemudian digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak banyak difahami oleh banyak kalangan ketika mendengar kata tarekat (hal. 2).

Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian. Pertama, ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi   yang ditandai dengan adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah (hal. 2).

Mengutip kitab Maraqi al-‘Ubudiyah dikatakan bahwa tarekat bermakna melaksanakan kewajiban dan kesunnahan, meninggalkan larangan, menghindari perbuatan mubah yang tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam menjaga diri dari syubhat, apalagi dari keharaman, sebagaimana orang yang wara’I, dan menjalani riyadlah, misalnya beribadah sunat pada malam hari, berpuasa sunat, dan tidak mengucapkan kata-kata yang tanpa
guna. (dalam buku, Permasalahan Thariqah Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama 1957-2005, suntingan KH. A. Aziz Masyhuri)

Buku yang ditulis K.H. Abdul Aziz Masyhuri, seorang ulama pesantren yang mantan Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) ini menggunakan pendekatan wacana atas sejarah dan pengalaman bertarekat dari 22 tarekat dunia yang sebagian berkembang di Indonesia.

Sebagai kiai pesantren dan orang yang banyak terlibat dalam kegiatan bahtsul masail Nahdlatul Ulama, tentu saja menjadi dapat dimaklum, bahwa tarekat yang dituliskannya ini hanya mengambarkan tarekat yang diakui kemuktabarannya oleh Nahdlatul Ulama. Kiai yang dijuluki Martin van Brunessen seorang ahli Belanda pengamat NU dan Tarekat, sebagai Kiai Ahli Dokumentasi ini menyebut ada 43 atau 44 tarekat yang diakui Nahdlatul Ulama sebagai tarekat yang muktabar.

Sayang sekali, Kiai Aziz tidak memberikan alasan kenapa memilih 22 aliran tarekat, yang kenyataannya tidak semua dari 22 itu berkembang luas di Indonesia. Ke 22 tarekat yang ditulis dalam bukunya tersebut yaitu Tarekat Alawiyah, Aidrusiyah, Badawiyah, Chistiyah, Dasuqiyah, Ghazaliyah, Haddadiyah, Idrisiyah, Khalwatiyah, Malamathiyah, Maulawiyah, Naqsyabandiyah, Naqsabandiyah Haqqaniyah, Qadiriyah, Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Rifa’iyah, Samaniyah, Sanusiyah, Suhrawardiyah, Syadziliyah, Syathariyah, Dan Tijaniyah. Namun barangkali alasan yang mungkin melandasi penulisan 22 tarekat itu adalah karena kepopulerannya atau telah tersebar luas di dunia Islam. Atau juga mungkin, Kiai Aziz masih berkehendak menuliskan jilid satunya, sembari menyiapakan jilid atau edisi lanjutan.

Namun, jika merujuk pada kemuktabaran tarekat sebagaimana ditetapkan dalam Nahdlatul Ulama, semestinya dilihat dari daftar ke 22 tarekat tersebut, jumlah yang pas adalah 21, bukan 22 tarekat. Karena Naqsabandiyah Haqqaniyah termasuk dalam aliran tarekat Naqsabandiyah. Pelabelan Haqqaniyah dalam daftar tarekat muktabar tidak dihitung. Namun maksud dicantumkannya Haqqaniyah dapat kita ketahui setelah Kiai Aziz membahas aliran tarekat ini.

Sebagai orang luar yang sekedar mengamati penulis agak kaget, karena ternyata tarekat Naqsabandiyah Haqqaniyah yang dihitung tersendiri oleh pengasuh al-aziziyah Denanyar ini ternyata dalam buku ini setelah dipuji tentang sejarah hidup pendirinya, yaitu Syaikh Nadhim Haqqani dan muridnya, Syaikh Hisyam Qabbani, kemudian dikritik dengan mengutip pandangan mufti Lebanon sebagai tarekat yang terputus sanadnya dan dinyatakan sesat. Dikatakan oleh Kiai Aziz dalam fasal bukunya di bawah judul Catatan Penting tentang Syaikh Nadzim Haqqani dan Syaikh Hisyam Qabbani “Syaikh Nadzim, yang menyebut dirinya dengan “al-Haqqani”, seorang berkebangsaan Cyprus yang pernah dideportasi dari Lebanon atas perintah Mufti Lebanon pada waktu itu, Syaikh Hasan Khalid, dan dikecam karena kesesatannya oleh mufti Tripoli Lebanon; Thaha ash-Shabunji sebagaimana dikutip oleh majalah al-Afkar, Beirut, edisi 898, November 1999……..mata rantai tarekat yang dibawa keduanya berasal dari seseorang yang bernama Abdullah Faiz Ad-Daghistani yang tinggal di Damaskus, padahal mufti Negara Daghisthan Sayyid Ahmad ibn Sulayman Darwisy Hajiyu mengatakan dalam surat yang diterbitkan oleh al-Idarah Ad-Diniyah Li Muslimi Daghisthan, bahwa mata rantai tarekat yang dibawa oleh Abdullah Ad-daghisthani tidaklah bersambung alias maqthu’ dan tarekat yang ia bawa adalah sesat (172-173).

Dicontohkan oleh Kiai Aziz kesesatan-kesesatan yang dilakukan oleh guru Syaikh Nadzim Haqqani, yaitu Syaikh Abdullah Ad-Daghistani dalam Washiyyah Mursyid az-zaman wa Ghauts al-Anam pada halaman 12, “Seandainya seorang kafir membaca surah al-Fatihah walaupun sekali seumur hidup, maka dia tidak akan keluar dari dunia ini kecuali memperoleh sebagian dari ‘inayah’ (pertolongan) tersebut, karena Allah tidak membedakan orang kafir, fasiq, mu’min, ataupun muslim, semuanya sama.”
Di samping memaparkan sejarah lengkap, kontroversi-kontroversi beberapa tarekat dalam pandangan Nahdlatul Ulama, buku ini secara memadai juga memaparkan pendefinisian tarekat, kemunculan golongan zuhud, sejarah perkembangan tarekat, ajaran khusus dan umum tarekat, dan berbagai ajaran-ajaran dalam tarekat yang diletakkan dalam bab pertama. Kemudian memaparkan karakteristik tarekat sufi, komposisi tarekat sufi, dan tata cara bertarekat dalam bab kedua. Kemudian menjelaskan pada bab ketiga tentang berbagai aliran tarekat yang dua puluh dua.

Ke depan rasanya kita harus menunggu karya kiai ahli dokumentasi ini untuk melengkapi ke 44 tareat secara keseluruhan bahkan juga tarekat atau yang khas Indonesia, misalnya Shalawat Wahidiyyah yang berpusat di Kediri dan Ngoro Jombang dan Shiddiqiyyah yang berpusat di Ploso Jombang yang pula diikuti sebagian nahdliyyin.
Buku ini menjadi lebih berbobot di samping isinya yang padat dengan jumlah halaman 323, juga karena diberi pengantar oleh tiga orang otoritatif, yaitu Ra’is Am Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah, Habib Muhammad Luthfie bin Ali bin Yahya, Ketua Umum PBNU, Dr. KH. Said Aqiel Siradj, M.A., dan Guru Besar Studi Perbandingan Masyarakat Muslim Kontemporer, Universitas Utrecht Belanda, Martin Van Bruinessen.

Sekretaris Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU) Jombang.