Hukum Batalkan Puasa Syawal saat Silaturahim Lebaran
NU Online · Jumat, 7 Juni 2019 | 06:30 WIB
Seiring datangnya hari raya yang jatuh pada satu Syawal kaum muslimin di Nusantara bertandang ke rumah saudara, tetangga, relasi kerja dan orang-orang sepergaulan lainnya. Ini adalah bentuk hablum minan nas sebagai penyeimbang hablum minallah selama bulan Ramadhan penuh. Tetapi, memasuki hari kedua bulan Syawal banyak di antara mereka berpuasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Kesunnahan puasa sunnah Syawal ini didasarkan pada riwayat populer dari Rasulullah SAW:
Artinya, “Siapa saja yang berpuasa dibulan Ramadhan kemudian menyusulnya dengan puasa enam hari dari bulan Syawal, maka seperti puasa setahun penuh,” (HR Muslim).
Namun terkadang semangat berpuasa sunnah bulan Syawal sedikit menemui kendala ketika berbarengan dengan silaturrahmi di mana tuan rumah telah menyediakan beraneka ragam hidangan sesuai tradisi lebaran di Nusantara.
Hendak tetap puasa sedang bertamu dan ditawari makan, mau membatalkan sangat disayangkan. Lalu sebaiknya bagaimana sikap ideal yang terbaik untuk diambil, tetap berpuasa atau membatalkannya?
Dalam kondisi seperti ini, menarik sekali pilihan sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunnah di tengah jamuan makanan ia bersabda:
Artinya, “Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha’lah pada hari lain sebagai gantinya,” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
Kemudian dari sinilah para ulama merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi SAW dalam hadits tersebut.
Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa. (Lihat Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 36).
Dalam konteks ini Ibnu ‘Abbas RA mengatakan:
Artinya, “Di antara kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman semajelis dengan membatalkan puasa (sunnah),” (Lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 14).
Dengan demikian kita ketahui, untuk menjalankan puasa sunnah bulan Syawal saat silaturahmi lebaran hendaknya diketahui, apakah tuan rumah berkeberatan atau tidak dengan puasa kita. Kalau ia tidak berkeberatan maka kita tetap berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya. Wallahu a’lam.
(Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur)
::::
Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada 17 Juni 2018, pukul 07.00. Redaksi mengunggahnya ulang tanpa mengubah isi tulisan.
Terpopuler
1
Tim TP2GP dan Kemensos Verifikasi Pengusulan Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional
2
Atas Dorongan PBNU, Akan Digelar Jelajah Turots Nusantara
3
Rais Aam Sampaikan Bias Hak dan Batil Jadi Salah Satu Pertanda Kiamat
4
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Keutamaan & Amalan Istimewa di Hari Asyura – Puasa, Sedekah, dan Menyantuni Yatim
5
Jejak Mbah Ahmad Mutamakkin, Peletak Dasar Keilmuan, Pesantren, dan Pemberdayaan Masyarakat di Kajen
6
Pangkal Polemik ODOL Kegagalan Pemerintah Lakukan Tata Kelola Transportasi Logistik
Terkini
Lihat Semua