Tokoh

Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ulama Besar Lahir di Atas Kapal pada Sya’ban

Jum, 25 Maret 2022 | 15:00 WIB

Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ulama Besar Lahir di Atas Kapal pada Sya’ban

Ilustrasi ulama. (Foto: Madina365)

Memiliki nama lengkap Muhammad bin Ali bin Wahab bin Muthi’ bin Abi Tha’ah al-Qusyairi al-Manfaluthi ash-Sha’idi al-Qushi, ulama yang lahir di bulan Sya’ban ini merupakan seorang faqih (sangat menguasai ilmu agama) dengan penguasaan lintas disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, fiqih, sejarah Islam, dan lain sebagainya. Ia kemudian akrab disebut dengan nama Ibnu Daqiqil ‘Ied.


Tanggal lahir Ibnu Daqiqil ‘Ied

Syekh Muhammad Ramiz Abdul Fattah al-‘Uzairi dalam kitab yang ia tulis untuk membahas biografi ulama besar ini menjelaskan, Ibnu Daqiqil ‘Ied lahir pada hari Sabtu tanggal 25 Sya’ban 625 H di atas kapal dekat pesisir Yanbu’, Laut Merah, saat kedua orang tuanya bertolak ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sesampainya di Makkah, keduanya membawa putranya berthawaf mengelilingi Ka’bah dan berdoa agar kelak anaknya menjadi ulama besar.


Semua sejarawan yang menulis biografinya sepakat bahwa Ibnu Daqiqil ‘Ied lahir pada 625 H saat di perjalanan untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Maqrizi, al-Isnawi, Abdul Hayy bin ‘Imad al-Hambali, adz-Dazhabi, Ibnu Fadhlillah al-‘Umari, Shalahuddin ash-Shafadi, dan sejumlah ulama lainnya.


Hanya saja, ulama berbeda pendapat mengenai bulan kelahirannya. Mayoritas mereka mengatakan pada bulan Sya’ban, tapi Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Raf’ul Ashri ‘an Qudhâti Mishra berpendapat bulan Muharram. al-‘Uzairi berkomentar bahwa pendapat al-‘Asqalani ini cacat (syadz). Setidaknya ada empat alasan yang dikemukakan al-‘Uzairi untuk membantah pendapat al-‘Asqalani.


Pertama, semua riwayat sepakat bahwa Ibnu Daqiqil ‘Ied lahir saat kedua orang tuanya sedang melakukan perjalanan haji ke Makkah, dan hal ini tidak mungkin terjadi pada bulan Muharram. Sebab, bulan Muharram jatuh setelah bulan-bulan haji yaitu Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah. Berbeda dengan Sya’ban yang jatuh sebelum bulan-bulan tersebut.


Kedua, ulama yang berpendapat Ibnu Daqiqil ‘Ied lahir di bulan Sya’ban lebih kuat karena mereka satu masa dengannya seperti Sejarawan al-Idfawi (w. 748 H), bahkan sebagian dari mereka ada yang sempat mendengar hadits secara langsung darinya seperti Syamsuddin adz-Dazhabi. Dalam kitab biografinya, adz-Dzahabi mengaku bahwa ia mendengar hadits langsung dari Ibnu Daqiqil ‘Ied.


Ketiga, dua ulama yang berpendapat bulan Sya’ban di antaranya adalah al-Qasim bin Yusuf an-Najibi dan Ibnu Rusyd. Keduanya merupakan murid langsung dari Ibnu Daqiqil ‘Ied dan memperoleh ijazah riwayat darinya. Bahkan kedua ulama ini mengaku mendapat tulisan tangan sang guru yang menjelaskan mengenai tanggal lahirnya. 


Keempat, sebenarnya Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitabnya ad-Durarul Kaminah mencatat bahwa Ibnu Daqiqil ‘Ied lahir pada bulan Sya’ban. Barangkali dalam kitabnya Raf’ul Ashri ‘an Qudhâti Mishra yang tercatat bulan Muharram ada kesalahan dari Ahmad bin Ali as-Subki, orang yang menulis naskah kitab ini. Dari alasan keempat ini jelas bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat mengenai bulan kelahiran Ibnu Daqiqil ‘Ied.


Ulama juga berbeda pendapat mengenai tanggal lahirnya, an-Najibi, Ibnu Rusyd, Ibnu Katsir, al-Isnawi, dan as-Subki dalam kitab biografi karya mereka masing-masing melaporkan bahwa Ibnu Daqiqil ‘Ied lahir pada tanggal 25 Sya’ban; Sedangkan Abul Mahasin melaporkan tanggal 20 Sya’ban; dan al-Idfawi melaporkan tanggal 15 Sya’ban.


Akan tetapi, dari semua pendapat yang ada, al-‘Uzairi menyimpulkan bahwa tanggal yang sahih adalah sebagaimana yang dilaporkan mayoritas ulama, yaitu 25 Sya’ban. Di awal sudah disebutkan bahwa dua murid langsung dari Ibnu Daqiqil ‘Iden yaitu al-Qasim bin Yusuf an-Najibi dan Ibnu Rusyd mendapat tulisan tangannya langsung perihal kelahirannya. Ini menjadi penguat pendapat yang sulit dibantah.


Julukan ‘Ibnu Daqiqil ‘Ied’ sendiri diambil dari nama buyutnya (tepatnya kakek kedua). Konon, sang kakek merupakan orang yang sangat taat beragama. Saat hari raya (hari ‘ied), sang buyut memakai jubah berwarna putih sekali seperti warna tepung (bahasa Arab: daqiq). Orang-orang berkata ia tampak seperti tepung di hari raya (bahasa Arab: Daqiqil ‘Ied). Sejak itu ia dijuluki ‘Daqiqil ‘Ied’.


Pendidikan dan karir intelektual

Sejak kecil Ibnu Daqiqil ‘Ied merupakan pribadi yang sangat mencintai ilmu. Pendidikannya dimulai di kampung halamannya di Qush, Mesir. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, Syekh Majduddin Ali bin Wahab. Qush merupakan salah satu pusat pergerakan intelektual pada masanya. Tercatat ada 16 pusat pendidikan (madrasah) di sana, salah satunya milik keluarga Ibnu Daqiqil ‘Ied sendiri yang bernama Darul Hadits.


Setelah Ibnu Daqiqil ‘Ied mempelajari lintas disiplin ilmu agama di Qush, ia belajar fiqih madzhab Syafi’i ke kota Kairo, Mesir kepada Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam. Ada banyak sekali guru yang ia temui selama menuntut ilmu, di antara yang populer adalah Syekh Ali bin Wahab (ayahnya), Syekh Baha’uddin al-Qifthi, dan Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam (dijuluki Shulthanul ‘Ulama).


Dari sekian banyak ulama fiqih yang ia temui, Syekh ‘Izzuddin lah yang paling mempengaruhi Ibnu Daqiqil ‘Ied.


Kompetensi intelektual Ibnu Daqiqil ‘Ied juga dapat kita lihat dari produktivitasnya dalam menulis banyak kitab dengan lintas disiplin ilmu, di antaranya adalah Ihkamul Ahkam; syarah dari kitab ‘Umdatul Ahkam, al-Ilmam fi Ahaditsil Ahkam, Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah, Sayarh al-Ilmam, al-Ilmam fi Ma’rifati Ahaditsil Ahkam, al-Iqtirah fi Bayanil Isthilah, Thabaqatul Huffadz, Arba’ina Haditsan.


Kemudian, al-Arba’una Haditsan fir Riwayah ‘an Rabbil ‘Alamin, Syarah al-Jami’ Bainal Ummahat, Sayarah Mukhtashar Abi Syuja’, Syarah al-‘Umdah fi Furu’isy Syafi’iyyah, Syarah ‘Uyunil Masa’il, Syarah Mukhtashar at-Tibrizi, Syarah a-‘Unwan fi Ushuli Fiqhi, Syarah al-Mahshul karya Fakhruddin ar-Razi, ‘Aqidatu Ibnu Daqiqil ‘Ied, dan lain-lain.


Komentar para ulama

Banyak sekali komentar ulama atas kebesaran Ibnu Daqiqil ‘Ied, baik dari segi keilmuan, kezuhudan, ketawadhuan, dan sebagainya. Berikut adalah beberapa di antaranya:


As-Subki berkata, “Ibnu Daqiqil ‘Ied adalah seorang syekh, imam, syaikhul Islam, seorang hafidz (pakar hadits), zuhud, wara’, ahli ibadah, mujtahid mutlaq, memiliki kedalaman ilmu agama, menguasai ilmu agama secara menyeluruh, seorang salik yang menempuh jalan para pendahulu, sejarawan paling top...”


Fathuddin Muhammad al-Ya’mari (muridnya) berkata, “Aku belum pernah melihat ada orang yang menandinginya, ia begitu alim dengan penguasaan multidisiplin ilmu.”


Adz-Dzahabi berkata, “Ia termasuk ulama paling cerdas pada zamannya, luas ilmunya, banyak kitab karyanya, selalu begadang untuk belajar, orang selalu sibuk belajar, tenang sikapnya, tawadhu, wara’, dan belum pernah aku melihat ulama sepadannya.”


Tulisan ini disarikan dari Muhammad Ramiz Abdul Fattah Musthafa al-‘Uzairi, Taqiyuddin Muhammad bin Ali Ibnu Daqiqil ‘Ied, ‘Ashruhu, Hayatuhu, ‘Ulumuhu, wa Atsaruhu fil Fiqhi (Jordan: Darul Basyir, 1990)


Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad