Tokoh

KH Abbas Buntet, Sosok Ulama Mulitidisplin Keilmuan

Rab, 24 Februari 2021 | 04:15 WIB

KH Abbas Buntet, Sosok Ulama Mulitidisplin Keilmuan

KH Abbas Abdul Jamil Buntet Pesantren. (Foto: dok. NU Online)

Banyak orang mengenal KH Abbas Abdul Jamil Buntet Pesantren sebagai sosok ulama yang sakti mandraguna. Betapa tidak, berbagai cerita lisan mengisahkan peran heroiknya dalam menumpas sekutu di Surabaya pada Perang 10 November 1945.

 

Ada yang menyebut sorban, tasbih, hingga kacang hijau yang dilemparkannya mampu menjatuhkan pesawat tempur yang siap membombardir Kota Pahlawan itu. Ada pula yang menyebut alu-alu untuk menumbuk padi beterbangan atas izin Allah swt. melalui perantara doa yang dibacanya.


Entah, cerita mana yang sahih atau bisa jadi semuanya benar. Namun yang pasti, semua kiai dan warga Nahdliyin meyakini Kiai Abbas adalah sosok yang berhasil menjatuhkan pesawat tempur Sekutu. Sebab, beliau dikenal sebagai Singa Jawa Barat yang dinanti kehadirannya oleh Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk memimpin perang dahsyat itu.


Tidak hanya itu, Kiai Abbas juga ahli bela diri. H Ahmad Zaeni Hasan menceritakan sebuah peristiwa penodongan terhadap Kiai Abbas. Saat itu, sebilah pisau di tangan preman sudah berada di leher Sang Kiai, sedangkan tangan kanan Kiai Abbas tengah membawa Al-Qur’an. Saat santri hendak menyergap preman itu, beliau mencegahnya. Dengan gerakan yang sangat cepat, keadaan tetiba berbalik, preman berhasil dijatuhkan Kiai Abbas.


Keahliannya dalam bela diri itu menyita cukup banyak waktu Kiai Abbas. Dari dalam kamarnya, kerap terdengar suara hentakan kaki dan benturan tubuh. Iya, Kiai Abbas menguji tetamu yang sengaja datang untuk belajar kepadanya, memperdalam ilmu bela dirinya.


Ahli Fiqih nan Wali


Namun, di balik sosoknya itu, Kiai Abbas juga merupakan menguasai berbagai bidang ilmu agama. Pengetahuannya dalam perbandingan mazhab fiqih sangat meluas. KH Ibrahim Hosen mengaku terinspirasi Kiai Abbas untuk mengambil studi perbandingan mazhab fiqih di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.


“Fiqih itu luas. Jangan terpaku pada satu mazhab saja,” kata Kiai Abbas kepada ayah Gus Nadirsyah Hosen itu suatu ketika, sebagaimana termaktub dalam buku Menapak Jejak, Mengenal Watak: Biografi Ringkas 29 Tokoh NU.


Kiai Abbas juga pernah mengajarkan kepadanya kitab tafsir al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Syekh Tantawi Jawhari, Tafsir Fakhrurrozi, hingga Jam’ul Jawami’. Sebelum mengajarkan kitab yang terakhir itu, kata Gus Nadir, Kiai Abbas meminta waktu terlebih dahulu untuk mempelajarinya.


“Kiai Abbas mengaku belum terlalu menguasai kitab itu, dan meminta Abah saya datang kembali membawa kitab tersebut beberapa hari ke depan. Rupanya Kiai Abbas menyimak dulu isi kitab ushul fiqih karya Imam al-Subki tersebut, dan kemudian setelah itu Abah saya dipanggil kembali dan Kiai Abbas dengan lancar mengajarkan isi kitab tersebut,” tulis Gus Nadir dalam halaman Facebooknya pada Jumat (12/8/2016).


Suatu ketika, diceritakan Gus Nadir, Kiai Mahrus Ali Lirboyo berdebat keras dengan ayahnya dalam membahas kebolehan perempuan menjadi hakim. Kiai Mahrus menentangnya, sedang Kiai Ibrahim ada di pihak seberang.

 

Saat sesi istirahat, Kiai Ibrahim matur (menyampaikan) kepada Kiai Mahrus bahwa ia merupakan santri yang belajar secara khusus kepada Kiai Abbas. Mendengar itu, Kiai Mahrus langsung menyepakati pandangan pemikiran Guru Besar Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


“Diskusi tidak perlu dilanjutkan, sudah selesai, saya setuju perempuan boleh menjadi hakim,” kata Kiai Mahrus saat diskusi dilanjutkan, sebagaimana ditulis Gus Nadir pada halaman Facebooknya, Ahad (5/3/2017).


Ilmunya sangat meluas (tabahhur). Betapa tidak, rihlah ilmiahnya yang sedemikian panjang. Ia berkelana dari satu pondok ke pondok lain di wilayah Jawa, hingga ke Tanah Suci Makkah. Di sana, beliau belajar langsung pada ulama-ulama terkemuka, seperti Syekh Mahfudz Termas.

 

Dalam pengantarnya pada kitab Kifayatul Mustafid li maa ‘Ala min al-Asanid yang menguraikan sanad keilmuan Syekh Mahfudz, Musniduddunia Syekh Yasin bin Isa al-Fadani menyebut Kiai Abbas sebagai ulama yang muncul berkat tangan dingin Syekh Mahfudz.


Namuin, keilmuannya memang tidak terlalu tampak. Pasalnya, Kiai Abbas hanya mengajar kepada santri tertentu mengingat mobilitasnya sebagai pimpinan tertinggi Pondok Buntet Pesantren dan keadaan zaman itu yang menuntutnya untuk lebih banyak bergerak pada peperangan. Sementara pengajaran kepada para santri lebih banyak diserahkan kepada adik-adiknya, seperti KH Anas, KH Ilyas, KH Akyas, KH Ahmad Zahid, KH Imam, KH Murtadho, dan para kiai lainnya.


Mursyid Tarekat


Selain dalam bidang kanuragan dan bela diri, sosok Kiai Abbas juga merupakan pengamal tarekat. Beliau merupakan Mursyid Tarekat Syatariyah, mengambil sanad dari ayahnya, KH Abdul Jamil. Sementara itu, ayahnya diangkat oleh kakaknya, KH Soleh, Pendiri Pondok Pesantren Benda Kerep, Cirebon, lalu dari KH Anwaruddin atau Kiai Kriyan, dari Kiai Asy’ari, hingga terus sampai Nabi Muhammad saw.


Dalam suatu riwayat, Kiai Abbas juga konon merupakan Muqaddam Tarekat Tijaniyah. Hal ini juga agaknya tampak dalam satu ijazah pengangkatan KH Muslih dari Jepara sebagai Mursyid Tarekat Syatariyah. Pada secarik kertas yang saya miliki, Kiai Abbas menulis Muqaddam, bukan Mursyid.

 

Kertas fotokopian tersebut saya dapatkan dari Mursyid Tarekat Syatariyah Buntet Pesantren sekaligus cicit Kiai Abbas, yakni KH Ade Nasihul Umam. Kiai Ade mendapatkannya dari sebuah kitab milik mertuanya sekaligus putra Kiai Abbas, yaitu KH Abdullah Abbas.


Ahli Qiraat


Kiai Abbas juga dalam suatu riwayat pernah mengajar kitab Hirzul Amani wa Wajhut Tahani atau yang dikenal dengan Matan Asy-Syatibiyah. Kitab berisi seribuan nadham yang membahas cara membaca Al-Qur’an itu diajarkan kepada ulama utusan Banten, yakni KH Tb Sholeh Ma’mun dan KH Tb Manshur Ma’mun. Keduanya menjadi pendiri Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) bersama KH Abdul Wahid Hasyim.


Namun, hal yang cukup mencengangkan, ternyata Kiai Abbas mengambil sanad Al-Qur’an dari santri yang mengaji kepadanya itu, yakni KH Tb Sholeh Ma’mun. Jika menilik ijazah Al-Qur’an yang bersambung sampai Kiai Abbas, maka nama Tubagus Sholeh disebut sebagai gurunya. Hal tersebut menunjukkan betapa tawadhunya Kiai Abbas.

 


Syakir NF, santri Alumnus Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat