Tokoh

KH Ahmad Suyuthi Dahlan, Merangkul Preman dan Kaum Marjinal

Ahad, 11 September 2022 | 23:00 WIB

KH Ahmad Suyuthi Dahlan, Merangkul Preman dan Kaum Marjinal

Almaghfurlah KH Ahmad Suyuthi Dahlan atau Gus Mad dari Kota Malang. (Foto: dok. istimewa)

Sudah lumrah kiai tampil di mimbar-mimbar majelis atau dari masjid ke masjid. Kiai yang membina santri, mulai dari yang jumlahnya bisa dihitung jari sampai puluhan ribu, juga tidak kurang-kurang. Fungsi ulama pesantren sebagai pendakwah maupun cultural broker membuat mereka juga mengambil peran-peran yang cukup unik bahkan berani. Ada kiai yang membersamai teman-teman disabilitas mental, anak-anak jalanan, serta merangkul para preman.


KH Ahmad Suyuthi Dahlan namanya. Oleh masyarakat Kota Malang, ia dikenal luas dengan sapaan Gus Mad Kacuk – mengingat basis tempat tinggal dan pusat dakwahnya berada di Kacuk, Kebonsari, Kota Malang. Ia tercatat lahir pada 11 September 1939, dari pasangan KH Ahmad Dahlan dan Nyai Ruqoyyah. KH. Dahlan, ayah Gus Mad, konon dikenal turut berkontribusi dalam masa revolusi fisik pra-kemerdekaan di area Kota Malang. Gus Mad menghabiskan masa kecil di salah satu daerah terpadat di Kota Malang, yaitu di perkampungan Kelurahan Kidul Dalem.


Selain mengaji kepada orang tua dan ulama-ulama lokal di Malang, Gus Mad menempuh pendidikan pesantrennya pada usia remaja di Pondok Darul Ulum Peterongan. Berdasarkan keterangan almarhum KH Mahmud Zubaidi, sahabat Gus Mad yang juga mantan ketua MUI Kabupaten Malang sebagaimana dikutip majalah Alkisah, pasca mondok di Peterongan Gus Mad melanjutkan nyantri di KH. Muhammad Said di daerah Ketapang, Kepanjen, Kabupaten Malang. Kiai Said Ketapang inilah yang sangat mempengaruhi metode dakwah maupun wawasan intelektual Gus Mad di masa-masa mendatang.


Setelah menikah dengan Nyai Cholifatuz Zahro, anak perempuan dari pengasuh Pesantren Nurul Ulum Kiai Syifa’ dan Nyai Rohmah Noor, praktis Gus Mad banyak tinggal dan juga turut mengembangkan pesantren yang terletak di daerah Kacuk, perbatasan Kota Malang dan Kabupaten Malang tersebut.


Semasa mengasuh pesantren, setidaknya ada dua forum pengajian penting yang dirintis beliau dan pengaruhnya cukup luas di Kota Malang, dan menggambarkan pribadi beliau yang berwawasan luas, tapi mampu merangkul kaum marjinal yang: Pengajian Rutin Jumat Pagi dan Majelis Gubuk Bambu. 


Pengajian Jumat Pagi ditujukan untuk masyarakat umum dengan kajian kitab dan ceramah. Pada mulanya, beliau mbalah kitab Al-Hikam juga kitab Arbain Nawawiyah, lalu berlanjut pada pengajian tematik dan aktual sampai wafatnya beliau.

 

Gus Mad dalam pengajiannya kerap menyitir info-info terkini dari buku beragam perspektif juga dari koran. Beliau pelanggan setia koran Duta Masyarakat dan beberapa koran lokal. Gus Mad juga sering mengutip kutipan dari artikel bahasa Inggris yang menunjang tema kajian. Aktualitas, kedalaman juga keluasan ilmu itulah yang membuatnya mendapat respek luas di kalangan akademisi Malang di masanya.


Sedangkan Majelis Gubuk Bambu kono lebih terasa personal bagi para jamaahnya, terutama para mantan preman. Majelis Gubuk Bambu yang bermula sekitar tahun 1980-an ini disebut-sebut menjadi salah satu pionir pembinaan mental spiritual preman di Malang. Rutinitasnya – yang masih lestari hingga hari ini – adalah majelis istighotsah, yang sebelumnya dibuka dengan forum pengajian dan diskusi yang terhitung “cair dan membumi” untuk para jamaah, dilanjutkan dengan renungan dan shalat taubat, lalu doa bersama. Dari majelis inilah banyak preman “dimentaskan” dari kegiatan masa lalunya yang keliru.


Ungkapan Gus Mad, mengapa beliau dahulu memilih berhadapan dengan para preman sebagai jalan ninja adalah upaya disebutnya, ngajeni wong sing wis ora diajeni wong (ngajari orang yang sudah tidak diajari orang). Belajar menghargai orang yang sudah tidak dihargai orang lagi. Tujuannya, agar kembali ke jalan yang diridlai Allah. 


Bergaul dengan para pemabuk, penjudi, maupun orang-orang amoral, sudah biasa dilakoni Gus Mad.  Ada kisah soal pengakuan para preman Kota Malang ini akan kekiaian Gus Mad. Bagi para santri, kisah-kisah soal keberanian dakwah beliau banyak dikisahkan. Selain santri, kalangan wartawan pun merasakan “keramat” tersebut. Obituari yang ditulis Khoirul Anwar dalam koran Radar Malang, edisi 17 November 2009, ia menyebutkan pernah diajak oleh Gus Mad ke “sudut-sudut hitam” Kota Malang. 


Gus Mad menjelaskan pada wartawan ini, bahwa di tempat tersebut adalah pusatnya preman. Namun wartawan ini terkejut, beliau menyapa orang-orang sangar di warung tersebut yang di antaranya badannya penuh tato dan menurut Khoirul Anwar, “serem”. Dan sontak para preman ini takzim dan langsung mencium tangan dan dirangkul oleh sang kiai.


Majelis Gubuk Bambu ini kian besar, dan memperluas kontribusinya untuk masyarakat umum, majelis ini mengadakan even Renungan Suci Malam Tahun Baru Masehi. Para “santri” Gubuk Bambu itulah yang mengelola acara. Tujuan even ini sering disampaikan Gus Mad dalam setiap sambutannya untuk acara tersebut, “Untuk mewadahi juga membentengi anak-anak muda dan jamaah dari kegiatan yang kurang bermanfaat juga berbahaya saat memperingati malam tahun baru.”


Gus Mad wafat pada pagi hari, tanggal 17 November 2009. Majelis Gubuk Bambu yang dirintisnya, saat ini kiprahnya dilanjutkan putra sulungnya Gus Ali Mustofa Asady. Kegiatan istighosah rutin Minggu malam, juga renungan suci Malam Tahun Baru tetap berlangsung hingga sekarang. Bahkan, majelis Gubuk Bambu yang dikenal dengan Majelis “Eleng Pati” sudah populer di Malang Raya, serta turut menjadi pembina spiritual di berbagai kalangan, mulai kaum alit (kecil) sampai elite. 


Penulis: Muhammad Iqbal Syauqi

Editor: Fathoni Ahmad