Tokoh

KH Ahmad Syaikhu Tokoh NU Pendiri Pesantren Al-Hamidiyah Depok

Ahad, 19 Mei 2019 | 12:45 WIB

Jika melakukan pencarian Ahmad Syaikhu di Google, maka mesin pencari itu akan mengarahkan kepada seorang pejabat di Bekasi dan segala aktivitasnya. Padahal ada Ahmad Syaikhu lain yang populer di masa orde lama dan orde baru. Dialah tokoh pendiri Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok. Juga tokoh NU kenamaan yang perannya tak hanya nasional, tapi juga internasional. 

Namun, peran dan jasa KH Ahmad Syaikhu jarang sekali diketahui orang, bahkan mungkin oleh warga NU sendiri. Penulisan namanya pun tidak seragam ada yang menulis Achmad Syaichu, Achmad Syaikhu, Ahmad Syaichu, Ahmad Syaikhu. Untuk memudahkan, dalam tulisan ini menggunakan yang disebut terakhir.  

Riwayat Masa Kecil dan Pendidikannya
KH Ahmad Syaikhu dilahirkan di daerah Ampel, Surabaya, pada Selasa Wage, 29 Juni 1921. Ia adalah putra bungsu dari dua bersaudara pasangan H. Abdul Chamid dan Ny Hj Fatimah. Pada usia 2 tahun ia sudah yatim, ditinggal wafat ayahnya. Sepeninggal ayahnya, Ahmad Syaikhu bersama kakaknya, Achmad Rifa'i, diasuh ibunya. 

Untuk memperoleh pendidikan agama, Syaikhu belajar kepada Kiai Said, guru mengaji bagi anak-anak di sekitar Masjid Ampel. Pada usia 7 tahun ia sudah mengkhatamkan Al-Qur'an 30 Juz. Selain belajar agama, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Mardi Oetomo, sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah. 

Tak lama belajar di sekolah ini, oleh H. Abdul Manan, ayah tirinya, dipindahkan ke Madrasah Tashwirul Afkar. Lembaga pendidikan ini didirikan KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Mas Mansur, dan KH Dahlan Ahyad. Madrasah ini kemudian dikenal sebagai cikal-bakal Nahdlatul Ulama.

Untuk membantu meringankan beban ibunya yang harus menghidupi putra-putranya, setelah H. Abdul Manan wafat, pada usia kanak-kanak Syaikhu sudah sudah mulai bekerja di perusahaan sepatu milik, Mohammad Zein bin H. Syukur. Dan terpaksa untuk beberapa lama ia tidak melanjutkan sekolah.

Syaikhu kembali ke bangku sekolah sesudah selama dua tahun bekerja dan memiliki bekal yang relatif cukup. Ia masuk Madrasah Nahdlatul Wathan, sebuah lembaga pendidikan yang juga didirikan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah. Sambil belajar, ia kembali bekerja pada seorang tukang jahit kenamaan di Pacar Keling, Mohamad Yasin. Di Nahdlatul Wathan ia dibimbing seorang guru yang kemudian sangat mempengaruhi perkembangannya yaitu KH Abdullah Ubaid. Selain itu ia juga berguru kepada KH Ghufron untuk belajar ilmu fikih.

Tahun 1937, setamat dari Nahdlatul Wathan, Ny Fatimah yang sudah dua kali menjanda diperistri KH Abdul Wahab Hasbullah. Di bawah bimbingan ayah tirinya itulah Syaikhu berkembang menjadi pemuda yang menonjol. Kepemimpinannya mulai tumbuh.

Sekolah sambil bekerja seolah-olah menjadi pola hidup pemuda Syaikhu. Setamat dari Nahdlatul Wathan, ia kembali bekerja di bengkel Marina milik Angkatan Laut. Selama bekerja di bengkel itu, ia melakukan kegiatan dakwah di lingkungan kawan-kawan sekerja.

Setahun kemudian, 1938, KH Abdul Wahab Chasbullah mengirimkan Syaikhu ke Pesantren Al-Hidayah, Lasem asuhan KH Ma'shum. Selama di pesantren ini, ia menjadi santri kesayangan KH Ma'shum. Sesudah 3 tahun belajar di Lasem, ia terpaksa harus boyong ke Surabaya, karena ia terserang penyakit tipes (typus) yang cukup serius.

Pada tanggal 5 Januari 1945, pada usia 24 tahun, Syaikhu mempersunting Solichah, putri Mohamad Yasin, penjahit kondang asal Pacar Keling yang pernah menjadi majikannya. Sesudah berkeluarga, ia membuka home industry sepatu di rumahnya, dengan 15 orang karyawan. 

Berjuang melalui NU
Ketika terjadi penyerbuan tentara Sekutu ke kota Surabaya, ia bersama istrinya mengungsi ke Bangil. Pada tahun 1948, sesudah Surabaya kembali aman, ia pulang ke kota kelahirannya. Mulailah ia terjun sebagai sebagai pengajar di Madrasah NU. Di samping mengajar, ia juga menjadi Ketua Ranting NU Karang Menjangan. Itulah awal mula Syaikhu mulai terlibat di organisasi NU. 

Pada kepengurusan NU Cabang Surabaya periode 1948-1950, ia ditunjuk sebagai salah satu ketua Dewan Pimpinan Umum (tanfidziyah), bersama KH Thohir Bakri, KH Thohir Syamsuddin dan KH A. Fattah Yasin. Karier Syaikhu di organisasi terus menanjak dengan cepat. Pada tahun 1952, ia diangkat menjadi Ketua Fraksi Masyumi di DPRDS Kota Besar Surabaya.

Awal tahun 1950-an ia mendaftarkan diri menjadi pegawai pemerintah dan bekerja di Kantor Pengadilan Agama Surabaya dan kemudian berhasil menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala. Baru setahun di Pengadilan Agama, ia pindah ke Kantor Agama Kotapraja Surabaya.

Pada tahun 1953, Syaikhu terpilih menjadi ketua LAPUNU (Lajnah Pemilihan Umum NU) daerah pemilihan Jawa Timur. Dan pada pemilu 1955, ia diangkat menjadi anggota DPR dari Fraksi NU, dan pada tanggal 25 November 1958 ia ditunjuk sebagai Ketua Fraksi NU. 

Dalam kurun waktu 15 tahun sejak ia menjadi anggota DPRDS di Surabaya, akhirnya ia mencapai puncak karir di gelanggang politik, dengan menjadi Ketua DPRGR pada tahun 1966. Di NU sendiri ia pernah menjadi salah seorang ketua PBNU, sampai tahun 1979 (ketika berlangsung Muktamar NU di Semarang).

Kepemimpinan dan ketokohan KH Ahmad Syaikhu tidak hanya diakui secara nasional, melainkan juga sampai ke level internasional. Pengakuan itu terbukti dengan dipilihnya KH Ahmad Syaikhu sebagai Presiden Dewan Pusat Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) dalam konferensinya yang pertama di Bandung, tanggal 6-14 Maret 1965. 

KH Ahmad Syaikhu yang dikenal sebagai pengagum Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser itu berhasil mengembangkan misi dakwah Islamiyah dan misi perjuangan bangsa Indonesia dalam pentas politik internasional.

Sekian lama KH Ahmad Syaikhu menekuni dunia politik, tak menyurutkan perhatian dan minatnya dalam dunia dakwah Islamiyah. Malahan semangat mengembangkan dakwah Islamiyah itulah yang dijadikan motivasi dalam keterlibatannya di pentas politik. Pada tanggal 27 Ramadhan 1398 H, atau bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 1978, ia mendirikan organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah, yaitu Ittihadul Muballighin. Lembaga inilah yang pada akhirnya mengantarkannya menuju terminal pengabdian terakhirnya, yaitu dunia dakwah dan pesantren. 

Pesantren Al-Hamidiyah yang kini berdiri cukup megah di daerah Depok, merupakan saksi bisu yang menunjukkan betapa besar dan luhurnya cita-cita yang dikandung KH Ahmad Syaikhu. Dari pesantren juga berakhir di pesantren. (Abdullah Alawi, dari berbagai sumber)