Tokoh

Kiai Habibullah Rais Penulis Kitab Tarbiyatus Shibyan

Sab, 17 September 2022 | 08:00 WIB

Kiai Habibullah Rais Penulis Kitab Tarbiyatus Shibyan

KH Muhammad Habibullah Rais, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Is'af Kalabaan, Guluk-Guluk, Sumenep. (Foto: istimewa)

Di tahun 2020, pegiat literasi dikagetkan dengan dialihbahasakannya kitab Tarbiyatus Shibyan ke bahasa Indonesia latin oleh pasangan suami-istri KH Muhyiddin Abdusshomad dan Nyai Hj Hodaifah, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam Antirogo, Jember. Kitab tersebut dalam bahasa Indonesia diberi judul Ngaji Akhlak Santri: Kiat Meraih Barakah.


Dicetaknya buku itu untuk mempermudah pembaca dalam memahami makna dari karya seorang ulama yang alim dan berakhlak mulia, yakni KH Muhammad Habibullah Rais, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Is'af Kalabaan, Guluk-Guluk, Sumenep. Ia putra dari KH Rais Ibrahim dan Ny Hj 'Aliyah. 


Dijelaskan dalam buletin dwi mingguan Kasysyaf Pesantren Al-Is'af, Kiai Habib lahir pada hari Kamis bakda subuh, tanggal 6 Jumadil Akhir 1352 H/1935 M di Desa Kalabaan, Guluk-Guluk. Mengawali jenjang pendidikannya, ia menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk yang kala itu ia masuk di madrasah Shifir Awal, sekitar tahun 1948-1949.


Pada tahun 1952, Kiai Habib meneruskan ke Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Di tahun 1956, ia meninggalkan Sidogiri guna menunaikan ibadah haji. Sepulang dari tanah suci, ia pamit kepada gurunya di Annuqayah KH Muhammad Ilyas Syarqawi untuk melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Pondok Pesantren Bata-Bata Pamekasan.


Setelah wafatnya RKH Abdul Majid, Pengasuh Pesantren Bata-Bata, Kiai Habib kembali ke kampung halaman. Kemudian memantapkan diri untuk menuntut ilmu lagi ke Pesantren Sidogiri yang kala itu diasuh oleh KH Kholil Nawawi yang dibantu oleh KH Abdul Adhim dan KH Sa'dullah (sekitar tahun 1957). Di Sidogiri ia sempat belajar bersama KH Ahmad Basyir Abdullah Sajjad (pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee).


Tahun 1960, Kiai Habib melepas masa lajangnya dengan menikahi Ny Ruqayyah. Berselang kemudian, pada tahun 1962 Kiai Ilyas Syarqawi meminta untuk mengajar di Pesantren Annuqayah (madrasah Mu'allimin). Pascawafatnya sang ayah (1968), Kiai Habib berpamitan kepada KH Moh Ishomuddin Abdullah Sajjad tidak mengajar di Annuqayah dan memfokuskan diri mengelola pesantren ayahnya.


Seluruh Nahdliyin di Sumenep mengenal Kiai Habib sebagai sosok yang tawadhu. Salah satu contoh, ia suka menyebut lora atau gus khusus putra dari gurunya, sekalipun masih ada hubungan famili. Bahkan Ny 'Aliyah tidak memberi tahu bahwa dirinya masih ada ikatan famili dengan guru-gurunya di Annuqayah hingga ia sudah dewasa.


Saking tawadhunya pada guru, setiap hendak bepergian ke Desa Prenduan (selatan Guluk-Guluk). Kiai tidak berkenan lewat jalan yang mengarah ke Annuqayah, tetapi lewat pasar Kemisan (tempat eksekusi KH Abdullah Sajjad oleh Belanda) hingga ke Gurmate (ke arah Timur), lalu mengambil arah ke selatan atau jalan raya yang tembus ke perempatan Sumber Pinang. Bagi Kiai Habib, lewat di Annuqayah itu cangkolang atau kurang sopan pada guru.


Dikisahkan pula, setiap sowan ke Latee, Kiai Habib berhenti di sebuah selip di daerah Kemisan, kemudian berjalan kaki hingga sampai ke kediamannya. Yang lebih tercengang, saking tazimnya pada guru, kiai bisa duduk saat dibesuk oleh gurunya KH Ahmad Basyir. Padahal posisinya kala itu sedang sakit. Jika ingin duduk, masih butuh bantuan khadim dan orang-orang terdekatnya.


Sebaliknya di jam'iyah, bersama Kiai Ishomuddin, Kiai Basyir, KH A Warits Ilyas, dan jajaran masyikh lainnya, Kiai Habib sangat aktif di setiap kegiatan ke-NU-an, termasuk Bahtsul Masail. Bahkan aktif di pengajian yang lumrah dihelat oleh masyarakat di perdesan.


Di lain sisi, ia menyempatkan diri menyusun kitab berbahasa Arab dan Madura. Buku-bukunya baik dalam bentuk natsar (prosa), syiir (puisi dan nadham). Di antara karya Kiai Habib Tarbiyatus Shibyan, Fath Al-Jannah wa Washiyyat Al-Azwaj, Umm Al-'Ibadah, Dalil Al-Nisa', Hidayatu Al-Tawshit Bayna Al-Ta'aththi wa Al-Tafrith, Idhahu Ba'dhi Al-Mubhimat fi Ba'dhi Al-Mushthalahat.


Selain kitab-kitab di atas, banyak sekali kitab-kitab klasik yang diterjemahkan oleh Kiai Habib ke dalam bahasa Madura, seperti kitab Imrithi, Alfiyah ibnu Malik, dan sebagainya. Di usia yang sudah lanjut, ia tetap produktif mengembangkan literasi. Pihak pesantren sengaja tidak menyebar luaskan karya tersebut. Saat ini, karya Kiai Habib digunakan sebagai bahan pengajian yang dilaksanakan di lingkungan pesantren.


Karya Kiai Habib

  1. Kitab Tarbiyatus Shibyan menjelaskan tentang tata krama (akhlak) seseorang dalam menuntut ilmu, terhadap orang tua, guru, bergaul, bermasyarakat, dan ketakwaan pada Allah. Kitab ini ditulis dalam bentuk bahasa Arab dan Madura (Arab pegon).
  2. Kitab Fath Al-Jannah wa Washiyyat Al-Azwaj menjelaskan tentang keutamaan seorang menuntut ilmu, berbuat baik pada orang tua, hak seseorang bermasyarakat dan suami-istri. 
  3. Kitab Umm Al-'Ibadah yang ditulis berbahasa Madura. Kitab tersebut memberikan petunjuk dan panduan praktis saat melaksanakan shalat.
  4. Kitab Dalil Al-Nisa' ditulis dalam bentuk prosa yang dikhususkan untuk perempuan. Kandungan kitab tersebut menjelaskan tentang macam-macam darah yang dialami oleh perempuan, seperti darah haid, nifas, istihadhah dan hal lain yang berhubungan dengan cara bersucinya. 
  5. Kitab Hidayatu Al-Tawshit Bayna Al-Ta'aththi wa Al-Tafrith yang ditulis dalam bahasa Madura. Kitab ini membahas metode jalan tengah bagi seseorang yang ingin mendapatkan kemudahan di bidang thaharah.
  6. Kitab Idhahu Ba'dhi Al-Mubhimat fi Ba'dhi Al-Mushthalahat ditulis dalam bentuk syiir. Kitab ini berisi tentang panduan singkat mengenai metode pengambilan pendapat yang valid dan mu'tamad dalam bermazhab. Di samping itu menjelaskan tentang cara seseorang mengkaji kitab kuning dan mengambil kesimpulan secara tepat dari berbagai macam pendapat.   


Firdausi, kontributor NU Online tinggal di Sumenep