Tokoh

Kiai Hisyam Abdul Karim, Ulama Pejuang dari Kalijaran Purbalingga

Sel, 5 Januari 2021 | 10:30 WIB

Kiai Hisyam Abdul Karim, Ulama Pejuang dari Kalijaran Purbalingga

Kiai Hisyam Abdul Karim Kalijaran (bersorban) saat menghadiri sebuah acara. (Foto: Syamsul Qodri, santri Kiai Hisyam)

“Kiai Hisyam, pemimpin Pesantren Kalijaran, menerima kedatanganku di pendapa rumahnya. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan sinar matanya yang jernih, aku taksir usianya belum 50 tahun. Dengan mengenakan peci tarbus merah yang sudah lepas koncernya, dihiasi oleh jenggotnya yang tak begitu tebal, menimbulkan gambaran suatu wajah yang lucu, tetapi menyenangkan.”


Itulah sekilas gambaran tentang KH Hisyam Abdul Karim, seorang ulama yang terpandang di Purbalingga, Jawa Tengah. Selain itu ia juga merupakan tokoh ulama yang ikut berjuang melawan penjajah, seperti yang dikisahkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974).

 

Saat itu Kiai Saifuddin bertamu ke pesantren Kalijaran di tengah perang kemerdekaan melawan Belanda (kisaran tahun 1940-an) untuk mengadakan konsolidasi ke tokoh-tokoh setempat. 


Tentang biografi KH Hisyam, salah seorang murid beliau, Kiai Syamsul Qodri Banyumas pernah menulis. “Ada sedikit catatan dalam buku harianku, bahwa beliau itu dilahirkan pada tanggal 8 Agustus 1909,” tulis Kiai Syamsul.


Kemudian mengenai orang tua Kiai Hisyam dijelaskan kembali oleh Kiai Syamsul. “Ayah beliau bernama Abdul Kariem, Bau Desa Kalijaran dan Guru Rodad. Nama kecil beliau adalah Qosim, aku tahu nama ini ketika aku menyalin kitab-kitab Falak yang diserahkan kepadaku,” ungkapnya.


Adapun mengenai pendidikan formal Kiai Hisyam, hanya sampai setingkat dengan SD. Selain sekolah formal, beliau juga rajin ngaji kepada ustadz di kampungnya. Kemudian beliau berguru kepada Kiai Dahlan di Desa Kaliwangi Mrébét. Di Pondok Leler Banyumas, beliau berguru kepada Kiai Zuhdi, dan di Pondok Jampes Kediri berguru kepada Kiai Dahlan.


Secara khusus, dalam bidang qiroatul Qur'an, Kiai Hisyam berguru kepada Kiai Yusuf Buntet Cirebon, dan Kiai Nuh Pager Aji Cilongok. Dalam bidang Thoriqoh, beliau berguru kepada Kiai Rifa'i Sokaraja. Beliau menikah pada tahun 1927 dengan seorang gadis ber nama Rumiyah putri Carik Desa Kalijaran.


Usai nyantri di berbagai pesantren, dengan restu sang guru, Syekh Dahlan Ihsan, KH Hisyam kemudian mendirikan Pondok Pesantren Sukawarah di Pedukuhan Sokawera, Desa Kalijaran, Karanganyar, Purbalingga.


Pesantren Perjuangan

Pesantren Sukawarah Kalijaran yang diasuh Kiai Hisyam, ketika itu (pada masa perang kemerdekaan) menjadi semacam tempat pengaderan para pejuang. Selain mengaji sebagian dari santri juga dibekali ilmu-ilmu lain seperti baris-berbaris, belajar huruf morse, dan juga belajar pertolongan pertama dalam kecelakaan. Mereka dilatih oleh kader pemuda Ansor setempat.


Tentang gambaran pesantren ini di zaman lampau pernah dikisahkan pula oleh KH Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974).


“Suatu hari aku mengunjungi Pesantren Kalijaran Purbalingga. Sebuah Pesantren dengan lebih kurang 700 santri yang datang dari segala pelosok di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Pesantren itu terletak di pegunungan, jauh dari kota. Tak ada kendaraan yang dapat digunakan untuk mencapai pesantren itu, bersepeda pun amat susahnya, karena harus menyeberangi sungai yang deras airnya, penuh dengan batu kali pada tebing-tebingnya. Aku sangat letih berjalan kaki sejauh 12 Km dari kota distrik Bobotsari, tempat pemberhentian bis terakhir,” kenang Kiai Saifuddin.


Pada perkembangannya, Pondok Kalijaran, sekitar tahun 1969 di sana sudah dibangun MTsAIN (Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri). Sebuah Nama sekolah yang cukup berwibawa didengar waktu itu. Sebab, di Jawa Tengah baru ada dua Tsanawiyah Negeri. Di Babakan Tegal dan Karanganyar Purbalingga. Pondok ini kemudian diasuh oleh KH Muzammil dan KH Musta'id Billah, dan santrinya berjumlah ribuan.


KH Hisyam selain menjadi pengasuh pesantren, juga aktif di NU. Dirinya tercatat pernah menjabat sebagai Rais Syuriah PCNU Purbalingga selama tiga periode, yakni periode tahun 1973-1975, 1975-1978, dan 1978-1983. Kiai Hisyam wafat pada Hari Kamis Kliwon 4 Jumadil Akhir 1410 H atau bertepatan dengan tanggal 12 Januari 1989 M.


Kontributor: Ajie Najmuddin

Editor: Fathoni Ahmad