Warta REFLEKSI HARI KEMERDEKAAN

Ada Pendangkalan Budaya di Indonesia

Rab, 16 Agustus 2006 | 05:19 WIB

SEMANGAT reformasi ternyata tidak sepenuhnya berarti berkah. Pada beberapa hal reformasi justru menjebak bangsa Indonesia ke dalam ā€œlubang hitam kebudayaanā€ untuk kesekian kalinya. Reformasi mendedah fakta bahwa Bangsa Indonesia telah larut begitu saja ke dalam keinginan para penguasa global, para pemilik pasar. Civil society dan negara telah dikuasai pasar. Pemerintah bahkan menjadi kendaraan bebas di pasar-pasar itu.

Tidak ada strategi kebudayaan yang jelas. Tidak ada jaringan hukum yang mengkritik pasar ini agar tidak semau gue. Lalu, reformasi menyebabkan institusi politik, ekonomi, agama, bahkan yang paling kecil institusi keluarga tidak berguna lagi. Prilaku pasar, baik dititipkan di dunia hiburan maupun dunia dangkal lainnya, menyebabkan kita tidak memiliki jati diri lagi.

<>

Salah satu dari 9 fatwa Nahdlatul Ulama dalam Munas Alim Ulama di Surabaya (27-30) Juli lalu tentang infotainment telah berlanjut ke dalam polemik panjang dan mendalam tentang kegamangan itu. Bukan hanya soal kebebasan memeroleh informasi yang selalu menjadi tameng semua kecerobohan pada era reformasi ini, tapi juga soal pendangkalan budaya yang terus menerus terjadi, disengaja atau bahkan malah dinikmati.

Ada yang aneh bahwa pendangkalan budaya itu sepertinya tidak terjadi secara sulapan. Bermula dari persoalan ā€œrattingā€ yang menyebabkan para pelaku TV dan penonton merasa butuh untuk menayangkan persoalan yang remeh-remeh dan tidak penting.

ā€œKalau saya ulama pasti ratting itu sudah saya haramkan. Kalau mereka tidakĀ mampu menunjukkan bahwa secara metodologis benar maka ratting itu telah menyesatkan kita semua,ā€ seloroh pakar komunikasi Universitas Indonesia Effendi Ghazali dalam satu diskusi tentang infotainment yang diadakan oleh NU Online di Pusat Gedung Film Jakarta, Kamis (10/8) lalu.

Kunci pendangkalan budaya itu terletak pada satu kata neoliberalisme. ā€œNeoliberalisme dengan kebebasan untuk berekspresi dan menjual apa saja adalah bagian dari politik internasional, atau politik demoralisasi di negara-negara berkembang karena tidak ada tradisi membaca lagi. Di sini semua waktu untuk TV dan hiburan, anak-anak mahasiswanya juga sama saja,ā€Ā  ujar Budayawan Abdul Hadi WM.

Seorang pemikir kenamaan Francis Fukuyama, kata WM, menggambarkan secara indah bahwa di abad baru ini telah ada kerumunan orang yang berjalan tanpa kepala. Dia menyebutnya the last men. Mereka mondar-mandir di bar-bar dan tempat hiburan hanya dengan mengenakan dada, perut, dan kaki tanpa kepala, tanpa nilai sama sekali. Hidup dijalani sebagai kegamangan, limbung dan tak menentu.

Di negara-negara yang ā€œmenangā€ manusia tanpa kepala itu tidak banyak merugikan manusia lainnya. Tapi di negara berkembang seperti Indonesia mereka memegang kendali kebudayaan dan memaksa orang lain menuruti semua keinginan mereka. Rakyat Indonesia tidak saja berjalan tanpa kepala, akan tetapi bahkan sama sekali tidak mengenakan apa-apa; semua tubuh telah menjadi milik orang lain. (nam)