Warta

Al Qur’an Berumur Ratusan Tahun di Bali Masih Terawat

NU Online  ·  Selasa, 2 Oktober 2007 | 00:41 WIB

Denpasar, NU Online
Sebuah Al Quran yang berumur ratusan tahun hingga sekarang masih terawat dengan baik serta dikeramatkan umat muslim setempat di di Masjid Assyuhada Kampung Bugis, Desa Serangan, Denpasar, Bali.

"Kitab suci umat muslim itu  terbuat dari bahan kertas kayu yang ditulis tangan," kata  Masdu’i (65), seorang pengurus Masjid tersebut di sela-sela merapikan susunan halaman al Quran kuno.

<>

Ia mengatakan, Al Quran kuno yang dikeramatkan umat muslim setempat diperkirakan sudah ada sekitar abad 17, ketika  masuknya agama Islam ke Denpasar selatan. Setiap tahun warga setempat menggelar kegiatan ritual "Ider Kampung" yaitu berjalan berkeliling kampung mengusung Al Quran tersebut.

Kegiatan ritual yang biasa dilakukan pada 1 Muharam itu diwarisi secara turun temurun yang dipercaya mampu menghindarkan warga dari segala musibah. "Dulu pernah ada wabah muntaber di Kelurahan Serangan, syukurlah semua terhindar berkat ritual yang kami gelar," kata Masdu’i

Jalinan kekerabatan Islam dan Hindu di Bali terjadi sejak abad XIV, sementara khusus di Denpasar mulai abad XVII. Berawal dari pendaratan perahu dari Jawa ke Denpasar yang ketika itu penguasanya adalah Raja Cokorda Pemecutan III, bergelar Betara Sakti.

A.A Wirawan dan Dian Arriegalung yang menulis masuknya Islam di Badung (awalnya Denpasar bagian dari kabupaten Badung dan sejak 27 Pebruari 1992 "cerai" menjadi Pemerintah kota) yang menjadi salah satu bagian dari buku "Sejarah Masuknya Agama Islam ke Bali," menyebutkan bahwa gelar Betara Sakti diberikan karena Raja Pemecutan III memiliki kesaktian.

Ketika itu, kerajaan Pemecutan tengah berseteru dengan tetangganya kerjaan Mengwi, akhirnya meletus menjadi perang. Diplomasi atau musyawarah tampaknya tidak mampu mencegah perang bersenjata, sehingga berlaku hukum rimba siapa yang kuat dialah pemenangnya.

Para pendatang dari Jawa yang perahunya mengalami kerusakan dan terdampar, tenaganya dimanfaatkan oleh raja Pemecutan sebagai prajurit yang membantu mengempur kerajaan Mengwi.

"Prajurit" pendatang tersebut dipimpin oleh Raden Sastroningrat, seorang bangsawan kelahiran Madura (Jatim). Oleh raja ia dijanjikan kebebasan serta akan dinikahkan dengan salah seorang putrinya bila bersedia membantu kerajaan Pemecutan melawan Mengwi, sekaligus mengalahkannya.

Akhirnya, pasukan gabungan kerajaan Pemecutan dan para pengawal Raden Sastroningrat berhasil memenangkan pertempuaran atas kerjaan Mengwi.

Raja Pemecutan III menempati janjinya, atas kemenangan pertempuran dengan seterunya itu, Sastroningrat dikawinkan dengan putri raja bernama Anak Agung Ayu Rai.

Setelah itu, Sastroningrat mengajak istrinya pulang ke Jawa, bisa diduga bahwa kepergian A.A Ayu Rai ke Jawa selain untuk diperkenalkan kepada keluarga Sastroningrat, juga sebagai tindak lanjut untuk meng-Islamkan A.A Ayu Rai.

Sekembalinya dari tanah Jawa, pasangan suami istri tersebut diterima dengan baik oleh raja, namun setelah tahu putrinya pindah agama maka raja memisahkan tempat tinggal keduanya.

Putri raja dan para pengikutnya yang setia dari Jawa di tempatkan di Kebon (kebun dan kini menjadi perkampungan Islam Kepaon, Denpasar Selatan), sedangkan suaminya Sastroningrat di tempatkan di Ubung, Denpasar Barat.

A.A Ayu Rai wafat dan dikuburkan di tempat pemakaman "Setra Ganda Mayu" Badung yang lokasinya berdekatam dengan puri raja Pemecutan, dan sampai sekarang makam tersebut lebih dikenal dengan nama "pura keramat puri Pemecutan".

Tempat makam tersebut hingga kini banyak diziarahi oleh orang-orang Madura dan Jawa, diamping orang-orang Bali sendiri. Sedangkan Sastroningrat setelah meninggal dimakamkan di Ubung (kini makamnya masih terpelihara, dekat terminal Ubung). (ant/ayu)