Warta DISKUSI AMANDEMEN UUD 1945

Diusulkan Bentuk Komisi Negara

Sel, 14 Agustus 2007 | 01:52 WIB

Jakarta, NU Online
Amandemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang telah dilakukan selama empat kali diakui telah memperbaiki sistem ketatanegaraan, namun di sana sini masih ditemukan kejanggalan dan kesimpangsiuran. Para peserta diskusi amandemen UUD 1945 di PBNU, Senin (13/8), mengusulkan dibentuknya komisi negara yang bertugas merumuskan amandemen kelima secara komprehensif.

Pengacara kawakan Adnan Buyung Nasution mengusulkan, komisi negara itu terdiri dari para ahli di bidang hukum tata negara, politik, sosial, ekonomi dan bidang-bidang lain agar perubahan benar-benar dapat dilakukan secara komprehensif.

<>

"Saya melihat ada kebutuhan nyata. Rasanya kita wajib merespon itu. Konstitusi kan harus hidup, tentu harus dinamis, kreatif merespon kebutuhan tata negara. Saya setuju perubahan, tapi saya tidak setuju perubahan parsial saja, misal hanya untuk DPD," katanya.

Menurut Buyung, perubahan konstitusi yang selama empat kali itu telah menunjukkan banyak kemajuan, namun masih jauh dari cita-cita konstitusi negara modern.

Tokoh Militer Agus Wijojo mengatakan, amandemen UUD 45 mempunyai kelemahan terutama di dalam aspek proses karena tidak mempunyai naskah akademik seputar latar belakang dilakukannya amandemen dan tujuannya. Namun, menurutnya, bangsa Indonesia tidak bisa kembali kepada konstitusi UUD 1945 yang asli.

"Kalau kita berbicara amendemen, saya setuju diebntuk komisi. Kita tidak bisa untuk mundur kembali masa lalu dengan kembali undang-undang yang asli. Karena sebuah kenyataan bahwa kita sudah melakukan amandemen, dan itu teruskan saja untuk disempurnakan," katanya.

Peneliti senor Daniel Dhakidae mengingatkan, perubahan kontitusi harus dilakukan ekstra hati-hati karena menyangkut kepentingan 200 juta lebih rakyat Indonesia. "Kalau tidak malah memiskinkan hingga 90 persen rakyat Indonesia," katanya.

Pakar hukum tata negara Mahfudz MD juga sepakat adanya komisi negara yang merumuskan kembali perubahan amandemen. Namun secara prosedural, menurutnya, perubahan malah tidak bisa dilakukan secara menyeluruh atau perpaket sekalipun.

"Kalau NU mau bersikap ya tidak bisa seperti diusulkan tadi semudah tangan kita bentuk komisi negara, karena perubahan itu pasal-perpasal seperti pasal DPD. perubahan tidak bisa perpaket karena ketentuannya begitu. Berfikir tentang amandemen harus didahului perubahan pasal 37, dengan begitu menjadi prosedural," katanya.

Direktur Institute for Policy Studies Fadli Zon secara tegas mengatakan, hasil amandemen UUD itu sama sekali tidak mencerminkan kepentingan nasional. Berkaitan dengan aspek politik, amandemen UUD mengarah kepada sistem demokrasi liberal. "Padahal perlu dicatat, tidak ada demokrasi yang menyebabkan negara makmur," katanya.

Berkaitan dengan aspek ekonomi, lanjutnya, UUD hasil amandemen yang disebutnya sebagai "UUD 2002" telah melahirkan sistem pasar bebas.

"Bagaimana mereka mengubah pasal 33 UUD 1945 yang akhirnya berkompromi dengan cara diberikan interpretasi yang remang-remang bahwa ini akan dilanjutkan di UU," katanya. Terbukti undang-undang turunannya sangat pro pasar bebas misal dalam urusan migas, listrik, dan penanaman modal.

Pada kesempatan itu Fadli Zon bahkan membikin geram para narasumber lain seperti Adnan Buyung yang menurutnya sempat memperoleh 26 juta USD dari donor asing sebagaimana dia kutip dari New York Times edisi 20 Mei 1998. "Ada penghianatan yang dilakukan oleh elit Indonesia," katanya seru.(nam)