Meski terpinggirkan secara ekonomi, bukan berarti warga Nahdlatul Ulama (NU) tak memiliki peluang untuk bangkit. Perekonomian warga NU dapat ditingkatkan jauh dari yang saat ini dialami. Namun, syaratnya, etos dan semangat berwirausaha kalangan Nahdliyin (sebutan lain untuk warga NU) harus diubah.
Pendapat bernada optimistis itu dikemukakan Wakil Kepala Divisi Usaha Kecil Bank BNI, Ilham Azis, di hadapan para peserta Forum Temu Bisnis dan Konsultasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi yang diselenggarakan Pengurus Pusat Lembaga Perekonomian NU, di Hotel Grand Menteng, Jakarta, Rabu (9/4).<>
Ilham mengungkapkan, pada umumnya, semangat berwirausaha sebagian besar kalangan Nahdliyin atau masyarakat pribumi masih rendah. Selain itu, katanya, keterampilan mereka dalam mengelola dan menata usaha masih mengandalkan pola tradisional. Akibatnya, usaha yang dirintis sulit berkembang.
Ilham menceritakan pengalamannya saat menjadi kepala Kantor Cabang Bank BNI Jember, Jawa Timur, beberapa tahun silam. Menurutnya, kalangan etnis tertentu non-pribumi jauh lebih tinggi etos kerjanya dan jauh lebih rapi dalam mengelola usaha dibanding kaum pribumi sendiri.
“Saya pernah memberikan kredit kepada seseorang pribumi untuk mengembangkan usaha kue yang dijual pagi hari. Belakangan orang tersebut mengaku tidak mampu membayar cicilan dengan alasan usahanya tidak berkembang,” ujar pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, yang juga mengaku ‘berdarah’ Nahdliyin itu.
“Kemudian saya cek kebenaran alasan orang itu. Pagi hari setelah subuh, saya lihat tokonya yang kebetulan dekat dengan rumah dinas saya. Pukul 05.00 belum buka. Saya tunggu, pukul 06.00 belum buka juga. Pukul 07.00 belum juga. Sampai pukul 09.05, baru orang tersebut membuka tokonya,” ceritanya.
Ia menegaskan, perilaku berwirausaha seperti itulah yang salah satunya membuat usahanya tak berkembang. “Gimana nggak berkembang, gimana dagangannya nggak laku, kue yang seharusnya dijual pagi hari, tokonya malah buka pukul 09.00. Jam segitu orang udah kenyang dan tidak perlu makan kue lagi,” pungkasnya.
Perilaku tersebut sangat berbeda dengan kalangan etnis tertentu yang bukan pribumi. “Kebetulan juga, di sebelah toko orang tersebut, ada toko milik orang Cina (baca: Tionghoa) yang menjual nasi pecel (makanan khas Jawa Timur). Dia itu, sebelum pukul 05.00, tokonya udah buka. Tidak heran kalau usahanya berkembang pesat,” papar Ilham.
Ia menambahkan, selain mengubah etos berwirausaha, warga Nahdliyin dan kalangan pribumi lainnya juga harus mulai berhubungan dengan lembaga perbankan. Tujuannya, kata dia, membantu masalah permodalan. “Jika tidak, maka pilihannya terjerat rentenir,” tandasnya. (rif)
Terpopuler
1
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
2
Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Cemas, Menyoal Politisasi Sejarah hingga RUU Perampasan Aset
3
Rekening Bank Tak Aktif 3 Bulan Terancam Diblokir, PPATK Klaim untuk Lindungi Masyarakat
4
Hadapi Tantangan Global, KH Said Aqil Siroj Tegaskan Khazanah Pesantren Perlu Diaktualisasikan dengan Baik
5
Advokat: PT Garuda dan Pertamina adalah Contoh Buruk Jika Wamen Boleh Rangkap Jabatan
6
Israel Tarik Kapal Bantuan Handala Menuju Gaza ke Pelabuhan Ashdod
Terkini
Lihat Semua