Warta SERBA-SERBI TANAH SUCI

Gua Hiro'; Beradu Nyali dengan Para Penghuni Gunung Batu (4/Habis)

Sab, 4 Desember 2010 | 23:50 WIB

Makkah, NU Online
Lorong kedua di belakang puncak Gunung Nur ini adalah sebuah lorong yang lebih diminati dibandingkan lorong yang pertama. Lorong ini berujung pada sebuah mulut gua batu yang disebut-sebut sebagai Gua Hiro.

Tidak Mudah untuk mencapainya di saat jamaah sedang ramai karena semua orang berebut lebih keras untuk mencapainya. Jaraknya tinggal sekitar 15 meter dari mulut gua pertama. Namun bukan berarti perjuangan telah usai, karena antrian masih panjang dan berjubel.  <<>br />
Dan bila tidak sabar menunggu giliran, Anda dapat memutar ke belakang dinding batu dan berakrobat ria seperti tokoh spiderman. Atau mungkin bila pernah menonton pembukaan film Mission Impossible yang diwarnai adegan panjat tebing yang menegangkan. Meski tentu saja tidak sedramatis seperti di film yang dibintangi Tom Cruise itu, namun setidaknya, bahaya bukan hanya isapan jempol bila kita memutar melewati tebing belakang.

Ada tebing batu yang hampir benar-benar tegak. namun karena tidak terlalu lebar, maka kita dapat melewatinya bila memiliki keberanian dengan kehati-hatian. Mungkin bila sepi kita akan takut melewati jalur penuh resiko ini. Namun karena banyak orang-orang yang bergelantungan atau duduk-duduk santai di antara celah-celah bebatuan, maka saya pun merasa tertantang untuk mengulang masa-masa ketika kumasih suka berpetualang di alam bebas.

Dengan sangat was-was, kucoba merapatkan badan ke tebing dan mulai menghitung langkah dengan sangat hati2. Jari-jari tangan yang telah lama tak mencengkeram batu pun menjadi lebih lemah dan cukup mengkhawatirkan. Terlebih dahulu telah kupakai sandalku dengan benar, kucantolkan tali dibelakang dengan benar, inilah pertama kali aku memakai sandalku ini secara benar. Namun rupanya tekanan dari baratnya tubuh di atas kaki, membuat pengait sandal itu tak mampu menahan beban. Alhasil sandalku pun putus saat pertama kali kupakai dengan benar.

Aku menarik nafas, mengumpulkan kembali keberanian dan mencoba menoleh ke belakang. Oh rupanya sudah setengah jalan, sementara jalan dinding batu di depan semakin terjal. Kuteguk minuman terakhir dalam botol yang sejak bawah menemani perjalanan pendakian ini. Dan aku berpikir, toh resikonya sama, jadi mengapa aku harus kembali?. Kubetulkan letak tustel yang kukalungkan didadaku, sebelum akhirnya dengan penuh pasrah dan menyerah pada Allah, aku langkahkan kakiku pelan-pelan, sedikit-demi sedikit. Sesekali ujung-ujung jariku kupaksa untuk mencari panjatan dan pijakan yang nyaman, sekedar untuk beristirahat dm membuang nafas panjang. 

Pada saat-saat beristirahat dalam posisi yang masih mengkhawatirkan ini, bahkan masih banyak orang-orang yang lewat melangkahi tubuhku yang merapat ke dinding batu. "Ayolah tinggal sedikit saja. Allahu Akbar, Shollallahu 'alaa Muhammad," kata mereka sambil bercanda-canda. Sementara kedua tangan dan kakiku mulai gemetaran.

Dengan sisa keberanian yang ada, aku pun melanjutkan perjalanan untuk sampai di ujung dinding. Namun rupanya medan terjal belum berakhir. Mereka yang ingin mencapai Gua Hiro melalui dinding belakang, harus melompat berganti bukit sebelahnya. Melompat dengan resiko terpeleset atau terjatuh adalah satu-satunya jalan, tiada jalan lain dan tiada jalan kembali. Lompatan terakhir inilah yang mengembalikan kita ke jalur utama, ujung lorong menuju Gua Hiro'. Dan saya pun akhirnya melompat setelah diledek oleh banyak orang orang berpakaian seperti orang-orang Afganistan.

"Saya orang Kurdi. Seperti juga orang-orang Afghan, kami sudah terbiasa hidup di gunung-gunung batu. Apakah kamu memiliki masalah untuk mencapai sisi ini? Apakah kamu takut? Jangan takut Kita sungguh dilindungi Allah karena kecintaan kepada Rasul-Nya," kata mereka sambil menertawakanku.

"Tidak. tidak ada masalah, dan saya tidak takut. Aku akan mencapai sisi sebelah sana," jawabku menahan malu. Dengan sedikit gemetaran, kuatur kakiku agar lebih longgar dan cukup mampu untuk bertolak. Kudorong badanku dan kuulurkan tangan pada orang-orang Kurdi yang tadi melewatku sambil meledek. Mereka pun akhirnya mengulurkan tangan sembari menarikku ke dalam pusaran peziarah yang berjubel.

Ya, mereka adalah orang-orang yang telah mengantri, mungkin sejak pagi menunggu giliran di lorong sempit, jauh sejak sebelum aku memotong jalan melewati tebing batu curam di belakang mereka. Maka tak aneh jika mereka marah atas kehadiranku. Terutama yang sangat marah adalah seorang ibu yang mengenakan pakaian khas, pink warna jamaah Turki. Bukan sekedar mengomel, Ibu ini bahkan memukul-mukul punggungku dengan tinjunya. Aku menoleh, dia mengomel. Ketika aku kemudian berbicara sekenanya -aku yakin kami tidak saling mengerti dalam bahasa lisan, dan tertawa, lalu dia kembali mengomel dan kemudian ikut tertawa. Aneh. Drama seperti ini berulang beberapa kali dan selalu diakhiri dengan derai tawa kami.

Hingga beberapa waktu kemudian, saya sudah berada tepat di mulut Gua Hiro'. Meski seandainya dikatakan bahwa dulu Nabi menyendiri di mulut gua pertama, namun siapapun akan tetap beranggapan bahwa Gua Hiro adalah yang sekarang sedang ada di hadapanku. Sekeliling mulut gua ini dilindungi oleh lempeng-lempeng batu yang saling bertindih. Lempeng-lempeng ini cukup kuat untuk diinjak-injak oleh orang-orang yang berebut ingin masuk.

Mulut Gua Hiro' yang dapat kita jumpai saat ini adalah lobang selebar kira-kira setengah meter dengan tinggi sebahu orang dewasa, sehingga orang-orang Indonesia pun harus menunduk jika ingin memasukinya. Setelah melewati pintu, kita tetap harus menunduk jika ingin masuk ke dalam gua. Jangan pernah membayangkan anda akan memasuki gua, seperti gua-gua di Indonesia yang biasanya memiliki lorong terus ke dalam dan ruangan yang semakin lebar ke dalam, meski mulutnya memang seringkali kecil.

Gua Hiro' hanya sedalam kira-kira dua meter dari mulutnya. Namun jelas gua ini cukup nampak sebagai sebuah ruangan yang cukup untuk melindungi diri dari panas dan hujan jika kita sendirian di sini dalam kesunyian. Namun di tengah sedakan dan dorongan ribuan manusia yang ingin memasuki lorong lubang batu sesempit ini, sungguh tidak nyaman untuk apa pun, bahkan berdoa sekalipun, selain mengabadikan kenangan bahwa kita pernah menjejakkan kaki di tempat Muhammad Rasulullah SAW menerima wahyu untuk pertama kalinya. (min/Laporan langsung Syaifullah Amin dari Arab Saudi)