Hasyim Ungkap 4 Alasan Pilkada Langsung Dihapuskan
NU Online · Kamis, 13 Maret 2008 | 08:20 WIB
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi kembali melontarkan gagasan penghapusan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Namun, kali ini, ia mengungkapkan lebih rinci tentang alasan bahwa pesta demokrasi lokal itu sebaiknya dihapuskan saja.
Ada 4 hal yang mendasari pemikiran yang ia akui sebagai pendapat pribadi itu. Pertama, penyelenggaraan pilkada—apa pun bentuknya: pemilihan gubernur atau pemilihan bupati/walikota—memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian, para pesertanya pun harus memiliki dana yang tidak sedikit pula.<>
“Kalau salah seorang kontestan pilkada itu tidak punya modal (dana) yang besar, jangan harap dia bakal lolos. Inilah yang kenyataan yang terjadi di lapangan,” ungkap Hasyim saat menjadi pembicara kunci pada diskusi “Perlukah Pilkada Langsung Dihapuskan?”, di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (13/3)
Ia menambahkan, salah satu biaya yang tak bisa dinilai kecil jumlahnya yang mesti dikeluarkan oleh seorang peserta pilkada adalah ‘dana konstituen’. Jumlahnya akan semakin besar jika penduduknya juga besar.
“Contoh, di Jawa Timur. Penduduknya itu dua kali lebih banyak dari pada penduduk Malaysia. Nah, bisa dibayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan oleh seorang calon jika dia ikut pilkada di Jawa Timur,” jelas mantan ketua Pengurus Wilayah NU Jatim itu.
Kedua, politik demokrasi yang dipraktikkan dalam pikada itu tidak seimbang dengan pengetahuan dan pendidikan masyarakat tentang demokrasi itu sendiri. Menurutnya, rakyat, pada umumnya, belum mampu menggunakan konsep demokrasi secara ideal.
“Rakyat, saat ini, berpikir bagaimana caranya bisa makan. Rakyat hanya berpikir bagaimana mendapatkan sembako (baca: sembilan bahan pokok). Mereka tidak berpikir bagaimana berdemokrasi secara benar,” ujar Hasyim.
Selain itu, tambahnya, rakyat juga pasti akan mengalami kelelahan politik. Pasalnya, saat ini, di Indonesia diselenggarakan pemilihan umum sebanyak 6 kali dalam 5 tahun. “Pemilihan Presiden, Pemilihan Anggota Legislatif, Pemilihan Anggota DPD, Pemilihan Gubernur, Pemilihan Walikota atau Bupati, Pemilihan Kepala Desa,” tandasnya.
Ketiga, tidak sedikit dari penyelenggaraan pilkada itu memunculkan konflik di masyarakat yang berujung pada tindak kekerasan. Hal itu terjadi, kata dia, salah satunya, merupakan titik puncak perpecahan dan perbedaan pilihan politik di kalangan masyarakat.
“Konflik itu merupakan puncak dari polarisasi. Karena, sebelumnya telah terjadi polarisasi di masyarakat bawah,” tandasnya.
Keempat, NU yang merupakan organisasi kemasyarakatan Islam dengan massa terbesar di Indonesia pasti mendapatkan imbasnya. Para kiai, ulama dan kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU) turut menjadi ‘korban’ dari konflik tersebut.
“Contoh lagi, di Jawa Timur. Di sana, tidak ada kandidat yang tidak menggandeng tokoh atau orang NU. Karena semua yang di sana orang NU. Di saat itu pula, terjadilah polarisasi di kalangan pendukung masing-masing kandidat yang juga orang NU sendiri,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, itu. (rif)
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
4
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
5
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua