Warta

Ichwan: MUI Tidak Anti Dikritik

Sel, 25 Desember 2007 | 11:57 WIB

Surabaya, NU Online
Adanya sebagian tokoh yang mengkritik Majelis Ulama Indonesia (MUI) seputar fatwa yang dikeluarkan, mendapatkan tanggapan dari Sekretaris Umum MUI Pusat H. Ichwan Sam. Dalam pandangan Ichwan, pihaknya tidak anti kritik. Hanya saja perlu dilihat dari mana datangnya kritik itu dan apa dasarnya mengkritik.

“Kalau kritiknya atas dasar keagamaan, layak diperhatikan dan dipertimbangkan. Tapi kalau membawa-bawa politik atau masalah-masalah yang terkait dengan HAM, itu harus dipertanyakan,” kata Ichwan kepada NU Online di Jakarta pada Selasa (25/12).;

Ganti Ichwan yang mempertanyakan masih adanya orang yang mempertanyakan legalitas fatwa MUI. Bagi Ichwan, fatwa MUI sudah jelas legal dan tidak perlu dipersoalkan lagi. “Bagaimana tidak ada legalitas, MUI ada itu salah satu fungsinya untuk memberikan nasehat, diminta atau tidak,” sergahnya.

Mantan Sekjen PBNU itu menjelaskan, fatwa-fatwa itu itu diberikan untuk memberikan pendapat hukum dalam rangka melindungi umatnya sendiri. Justru ia menjadi heran kalau ada orang ingin melindungi umatnya sendiri agar tidak salah paham, ternyata malah ada orang lain yang merasa tidak nyaman. Ia menduga, mungkin yang mereka inginkan justru agar umat Islam salah paham. “Ini kan sesuatu yang naïf,” tuturnya.

Dalam menanggapi kritik, menurut Ichwan, pihaknya tetap memandang dari mana asal datangnya kritik itu. Jika yang mengemukakan seorang tokoh politik, ia akan menganggap angin lalu. Tapi kalau yang bilang itu negarawan dalam kaitannya berbangsa, ia akan didudukkan. Ganti ia akan mempertanyakan dasarnya tuduhan fatwa MUI memicu tindakan anarkhis dan MUI mengembangkan kekerasan. Sebab ia sangat yakin tuduhan itu tidak berdasar. “Itu hanya kerjaan orang-orang yang maksudnya tidak kesampaian saja,” tukasnya.

Dalam gambaran tokoh NU asal Batang itu, orang yang suka mengkritik fatwa MUI itu menginginkan dunia ini seperti gelas kosong. Ia lupa, bahwa dirinya telah menafikan kemungkinan adanya interaksi. Karena ada mayoritas dan minoritas, interaksi yang mayoritas biasanya lebih terasa getarnya.

“Kalau yang mayoritas merasa cemas, masak yang minoritas tidak tenggang rasa. Di Indonesia yang seperti ini harus ada sikap tahu diri,” kata Ichwan.

Menurut anggota DPR RI asal Partai Golkar itu, adanya fatwa sesat kepada aliran-aliran menyimpang itu dimaksudkan agar umat Islam tidak dicemari pendapat-pendapat yang menyimpang. Mereka harus disadarkan. Ia yakin, sebenarnya semua itu ada pabriknya. “Saya kira hanya beberapa gelintir saja yang mengemukakan kritik tanpa punya argumentasi yang kokoh seperti itu,” ujarnya enteng.

Dalam pandangannya, isu itu sengaja dilontarkan dengan pertimbangan politik semata, tepatnya untuk menarik simpati minoritas. Ganti ia mempertanyakan langkah yang diambil pengkritiknya,

“Apa harus seperti itu? Apa dasar hukumnya?” tanya Ichwan tak habis mengerti. Kalau mau bijak, menurut Ichwan, bila menemukan kejanggalan dengan fatwa MUI sebaiknya ditanyakan langsung kepada masyarakat, kalau perlu dibawa ke pengadilan. (sbh)