Warta HUKUM TATANEGARA

Indonesia Memiliki Sumber Hukum yang Beragam

NU Online  ·  Kamis, 26 Juni 2008 | 15:11 WIB

Jakarta, NU Online
Indonesia memiliki sumber hukum yang beragam, terutama bersumber dari hukum adat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara itu masyarakat yang telah berperadaban tinggi.

Hal tersebut diungkapkan Prof. Dr. Satya Arinanto saat berbicara dalam diskusi terbatas di kantor redaksi NU Online, gedung PBNU, belum lama ini. Menurutnya, sejak abad ke-7, zaman Mataram kuno telah memiliki hukum yang mantap, bahkan zaman kerajaan Sima yang sangat dikenal dengan keadilannya.<>

"Belum lagi daerah-daerah lain seperti Flores, Bali, Minangkabau, Aceh, Pontianak, Kutai, Banjar, Wajo, Bone dan sebagainya. Apalagi pada masa kerajaan Majapahit, hukumnya sudah tertulis dan bisa diakses hingga saat ini," kata Arinanto.

Dengan demikian, lanjutnya, maka tidak mengherankan kalau orang Barat seperti van Volleh Hoven melakukan kajian khusus tentang hukum adat ini

Arinanto juga menyatakan bahwa Indonesia juga memiliki pakar dalam hukum adat, yaitu Soepomo.

Menurutnya, sebelum datangnya kolonial, hukum-hukum tersebut memberlakukan adanya norma yang harus ditaati di wilayah masing-masing, sehingga tercipta ketertiban dan keamanan. "Terlebih dengan kultur masyarakat yang ketat dalam melakukan kontrol.

Pakar hukum tatanegara ini juga mengungkapkan, hukum yang berlaku itu karena begitu kuat melekat pada tradisi, sehingga berlakuknya lebih tertib, lebih ditatati, "karena sudah menjadi cara hidup mereka."

"Pada mulanya hukum itu memang terinspirasi oleh agama Hindu Budha, tetapi sejak abad ke-14, pengaruh Islam semakin menguat," terangnya.

Secara perlahan, kata Arinanto, hukum atau peraturan, baik yang tertulis maupun yang masih menjadi konvensi adat, itu digantikan dengan hukum kolonial yang disebut dengan Indische staatsregering (IS), sejalan dengan semakin solidnya kekuasaan Hindia Belanda.

"Semua hukum itu tentu saja dirumuskan berdasarkan kepentingan mereka. Pertama, untuk menciptakan ketertuban dan keamanan; kedua, untuk memperkuat posisinya di tanah jajahan; ketiga, untuk memperketat control terhadap rakyat jajahan," kata Arinanto yang menambahkan, hingga akhir penjajahaan 1946, Belanda telah memberlakukan sebanyak 7000 peraturan.

"Maka bisa dimengerti kalau kemudian pengaruh hukum kolonial itu sangat kuat terhadap perkembangan hukum nasional, karena jumlahnya cukup banyak diditerapkan dalam kurun waktu yang cukup lama."

Baru pada masa kemerdekaan, katanya, hukum kolonial tersebut diupayaakan untuk diganti pula secara bertahap dengan hukum-hukum nasional. Dalam upaya nasionalisasi hokum itu, hukum adat dari berbagai daerah dan berbagai zaman bisa dijadikan sumber dari perumusan hukum nasional.
"Dan saat ini bisa lebih mudah, sebab hukum dan tradisi serta kebudayaan tersebut telah dirumuskan dalam Pancasil dan UUD 1945, sehingga kita bisa mengacu kepada kedua sumber dasar itu," kata Arinanto.

Pihaknya juga mengatakan, apresiasi terhadap sumber hukum lokal sangat penting dilakukan agar hukum yang dirumuskan punya sumber yang jelas dan pijakan kultur yang kuat.

"Karena pada dasarnya, hukum adalah kristalisasi nilai-nilai kultural, bukan dirumuskan dari ruang hampa berdasarkan perkiraan semata. Dengan demikian, hukum yang dirumuskan akan memiliki botot dan relevansi," kata Arinanto.

Menurutnya, hukum yang berangkat dari nilai-nilai kulturali itulah yang akan dihormati dan dijalankan oleh masyarakat," demikian Guru Besar Fak Hukum UI itu mengakhiri penjelasannya. (mdz)