Warta SERBA-SERBI TANAH SUCI

Jejak Gus Dur di Tanah Haram (1)

Rab, 8 Desember 2010 | 15:33 WIB

Madinah, NU Online
Tak pernah terbersit sedikit pun sejak akan berangkat ke Tanah Suci, saya akan mendengar banyak pembicaraan mengenai Pengasuh Pesantren Ciganjur KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sang mantan Ketua Umum PBNU tiga kali berturut-turut (1984-1999) ini adalah guru sekaligus idola seluruh teman-teman santri Pesantren Ciganjur. Mantan presiden Republik Indonesia ini pula yang membuatku tidak berani berharap mendengar nama Gus Dur, bagaimana tidak sejak terakhir ke Makamnya di Tebu Ireng hampir setahun silam, belum pernah lagi Saya ke sana. Bahkan beberapa kiai yang menyarankan kepada saya untuk berziarah ke Tebuireng sebelum bertolak ke tanah Suci pun telah kuiyakan. Namun rupanya kesempatan itu belum datang juga, hingga akhirnya saya mendarat di Tanah Suci, dan inilah yang membuat saya tidak berani mengandaikan berbicara atau diajak bicara tentang Almarhum. Namun rupanya kenyataan tidak selalu demikian.

Dalam kepanitiaan haji Republik Indonesia (Misi Haji Indonesia/Panitia Penyelenggara Ibadah Haji), tidaklah cukup hanya dengan melibatkan para petugas yang direkrut dari berbagai golongan dan profesi di Indonesia, seperti para pegawai Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, TNI Polri dan perwakilan ormas-ormas saja. Para petugas haji juga direkrut dari orang-orang Indonesia yang tinggal di sana (mukimin), baik yang biasa bekerja sebagai sopir, para guide wisata, buruh pabrik hingga mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di berbagai negara Timur Tengah.
r /> Meski banyak juga para mukimin dari etnis lain seperti, Sunda, Lombok, Jawa dan Bugis, namun etnis Madura jelas-jelas tampak dominan di antara para petugas mukimin yang biasa disebut sebagai temus (tenaga musiman). Entah alasan apa yang sebenarnya, namun sangat mungkin hal ini karena orang-orang Madura relatif lebih religius, sehingga mereka lebih suka merapat ke pekerjaan-pekerjaan yang memiliki nilai Ibadah dibandingkan dengan etnis lainnya. Mereka lebih suka dekat, bahkan tidak adpat hidup jauh dari tokoh agama (ulama), daripada etnis lainnya. Tentu saja sebagai orang Madura, hampir bisa dipastikan mereka adalah orang-orang NU, warga Nahdliyin yang “cinta mati” pada  Gus Dur.

Ketika saya bertanya-tanya kepada mereka, siapakah di antara para presiden Indonesia yang memiliki kepedulian paling bagus terhadap perbaikan pelayanan haji? Jelas-jelas mereka menyebut Gus Dur. Tidak satu pun di antara mereka yang menyebut nama lain, meski banyak di antara mereka telah menjadi temus puluhan kali sejak zaman pemerintahan Presiden Soeharto.

Dan saya pun mencoba mengejar bertanya kepada mereka, “Loh emang apa buktinya kalau Gus Dur paling bagus? Gus Dur kan cuma sebentar?” Waktu saya tanyakan hal ini kepada mereka, tidak satu pun di antara para temus Madura ini yang sudah tahu saya adalah santri Pesantren Ciganjur.

Namun dengan sangat Antusias mereka menajawab, “Contoh kecil sajalah Mas. Nih mobil Ambulans yang  digunakan oleh misi haji hingga sekarang, dulu Pak Kiai yang Beli. Saya sudah lama jadi Sopir Ambulans, ya baru sejak Pak Kiai jadi presiden bisa mengendarai mobil bagus.”

Saling bersahut-sahutan para sopir ini bercerita tentang kondisi mobil Ambulans Misi Haji sebelum Gus Dur menjadi presiden. Kata mereka, dahulu ambulans menggunakan mobil Toyota tidak bisa ngebut dan fasilitasnya pas-pasan saja. Barulah sejak Gus Dur menjadi presiden, Musim Haji waktu Gus Dur berhaji, kemudian menggantinya dengan jenis yang masih digunakan dengan nyaman hingga saat ini. Ambulans mobil GMC buatan Amerika yang bertenaga besar dan fasilitas bagus.

Saya dapat membandingkan, kondisi Ambulans Indonesia di Madinah dan Makkah tahun 1431 H memang bagus, sebagus Ambulans-ambulans milik Pemerintah Arab Saudi, baik yang diparkir stanby di halaman Masjid Nabawi setiap sholat maktubah (lima waktu) maupun yang berada di kantor-kantor pusat Ambulans (Is’aaf Center) kota Madinah dan Makkah. 

Hingga kini setelah sepuluh tahun lebih, kondisi Ambulan masih bagus. Saya pun hampir-hampir tak percaya kalau mobil ini sudah dipakai selama itu. “Yah, kan memang dipakainya hanya pada musim haji saja Mas. Kalau sedang tidak musim haji maka, disimpan di Jeddah, jadi ya memang awet,” tutur Musyafa’ salah seorang sopir yang mengaku berasal dari Bangkalan ini.

Ambulans ini dilengkapi dengan sepuluh lampu penanda di bagian atas mobil, mampu memuat tiga orang pasien sekaligus (dua duduk dan satu rebah), full AC, lemari obat, tabung oksigen dan speaker untuk berkomunikasi Massif dengan orang-orang diluar mobil, tentu saja alarm dengan berbagai pilihan bunyi sirine. 

Biasanya para sopir Ambulans menunjuk Ambulans-ambulans milik negara-negara Asia Selatan seperti Bangladesh, Srilanka atau Pakistan yang kondisinya cukup memprihatinkan, jika ditanya tentang kondisi Ambulans Misi Haji Indonesia sebelum Gus Dur jadi presiden.

“Kalau mobil para pejabat, memang biasanya diperbaharui dan bagus-bagus. Namun soal mobil fasilitas jamaah, seperti Ambulans, hanya Gus Dur yang berani membeli bagus,” tandas salah seorang sopir yang nampaknya bertindak sebagai pemimpin dalam kelompoknya.

Saya pernah merasakan menaiki Ambulans warisan Gus Dur 10 silam ini tahun lalu dengan kecepatan di atas 140 km perjam dalam perjalanan dari Madinah menuju Makkah. Duduk di belakang bersama dua orang yang tergolek, terbaring lemah diatas tandu, saya seakan tidak percaya bahwa mobil sedang dalam kecepatan tinggi. Untung saja kedua pasien yang dievakuasi lebih awal untuk safari Wukuf ini tidak banyak rewel, sehingga saya masih bisa mengobrol santai dengan seorang dokter, seorang perawat dan yang duduk di samping sopir. Melihat jarum penanda kecepatan mobil,  saya menjadi teringat kepada Almarhum HM Subhan ZE (Mantan Ketua PBNU dan Wakil Ketua MPRS) yang wafat dalam karena kecelakaan mobil di Tanah Suci. Saya pun hanya bisa berdia, semoga selamat. Semoga kecepatan yang sangat tinggi ini tidak berubah menjadi bencana. (bersambung)