Warta

Kelangkaan BBM Terkait Pencairan Dana Subsidi

NU Online  ·  Selasa, 20 Juli 2004 | 05:52 WIB

Jakarta, NU Online
Krisis premium (bensin) masih melanda Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Antrean panjang pembeli yang berkendaraan motor, maupun pengecer terjadi di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Karena krisis itu, harga bensin eceran melonjak Rp 2.500 sampai Rp 3.500 per liter, bahkan jika malam hari bisa mencapai Rp 5.000 per liter. Lambatnya pembuatan mekanisme pembayaran subsidi dinilai sebagai biangnya.

Menurut Humas Pertamina Mochamad Harun, kelangkaan bensin, dan solar belakangan ini bukan disebabkan adanya penimbunan, atau penyelundupan melainkan lebih karena  masalah musim. “Jadi ada daerah-daerah khususnya Jambi, kalau di musim kemarau sungai yang menjadi lalu lintas pengiriman BBM mengalami  pendangkalan. Akibatnya, kapal yang tadinya mengangkut muatan bensin atau solar 1.000 kiloliter, saat kemarau tidak bisa lagi mengangkut beban seberat itu, karena takut kandas,”jawab Harun kepada   NU Online, Selasa (20/7). 

<>

Penjelasan Harun tentang pasokan BBM di Jambi yang jauh dari mencukupi kebutuhan transportasi di sana terkait dengan kabar tentang krisis pasokan solar di Kuala Tungkal, Jambi beberapa hari yang lalu.

Lebih lanjut, Harun juga mengungkapkan, bahwa kesulitan pasokan BBM juga terkait dengan kesulitan kapal-kapal tanker untuk bersandar di pelabuhan pada saat ini karena banyaknya kapal yang telah terlebih dahulu merapat di pelabuhan. “Antrean kapal-kapal yang telah lebih dahulu bersandar juga menghambat pemindahan muatan kapal ke daerah tujuan,”ujar Harun.

Menjawab pertanyaan, apakah kendala pasokan BBM melalui jalan air tidak bisa diatasi dengan jalan darat, Harun menegaskan,”Sebenarnya pasokan melalui jalur darat  relatif tidak ada masalah, kalau barangnya ada pasti kita salurkan. Persoalannya barangnya tidak ada,”ungkapnya.

Karena itu, Harun mengungkapkan masih adanya  akar  penyebab dari keterlambatan pasokan. Dia pun  buru – buru menyebut lambatnya pencairan dana subsidi BBM oleh pemerintah sebagai akar masalahnya. “Selama dana subsidi belum dibayarkan pemerintah, kami mendapat kesulitan untuk melakukan impor, padahal untuk impor kami membutuhkan dana yang tidak sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya,”jawab Humas Pertamina ini.

Jika dulu harga minyak 20 dollar per barrel, kita bisa impor 1.000 barrel, nah sekarang harganya 40 dollar per barrel, kita tidak lagi bisa mendapatkan 1000 barrel dengan jumlah duit yang sama,”kata Harun membandingkan.
Menurut Harun, terkatung-katungnya pembayaran subsidi BBM oleh pemerintah  terkait dengan belum disempurnakannya persyaratan yang diminta  pemerintah kepada Pertamina. “Karena uang pembayaran subsidi kita talangi dengan uang Pertamina dulu, maka perlu  di-reimburse (dimintakan ganti: Red.) ke departemen keuangan. Karena itu untuk reimburse, harus ada persyaratan yang dipenuhi, “kata Harun menjelaskan. 

Di sinilah persoalannya, menurut penuturan Harun, dalam proses reimburse yang diajukan Pertamina sebelumnya, masih ada syarat yang belum disempurnakan, seperti   suratnya yang kurang, jadi oleh departemen keuangan  dikembalikan lagi untuk disempurnakan. “Jadi kita memang tidak bisa menyalahkan departemen keuangan, karena memang kewenangannya begitu,”kata Harun menegaskan.

Untuk mencegah keresahan sosial akibat kelangkaan pasokan BBM, antara Pertamina, departemen keuangan, dan DPR sudah berhasil memperbaiki mekanisme pembayaran subsidi. “Kami pun yakin pembayaran subsidi BBM sudah bisa dicairkan pemerintah pada minggu-minggu ini, apalagi Pak Darmin Nasution pada waktu pertemuan terakhir di DPR bilang, bahwa pemerintah tetap akan menjaga ketersediaan dana subsidi BBM ini. Dan kami pun akan bekerja lebih baik lagi untuk mendongkrak produksi kilang, sehingga bisa lebih banyak produksinya,”tutur Harun.(Dul)