Warta

KH Masdar: Dualisme Pajak dan Zakat Perkara Serius

Kam, 2 Desember 2010 | 10:01 WIB

Semarang, NU Online
KH Masdar F. Mas’udi, Rais Syuriyah PBNU, kembali mempertegas ide menyinkronkan pajak dengan zakat, dalam bedah buku karyanya, Pajak Itu Zakat: Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat di IAIN Walisongo Semarang, baru-baru ini.

Pada zaman nabi, kata Masdar, zakat merupakan pajak yang dipungut oleh negara, lalu dikelola Baitul Mal untuk menjalankan roda pemerintahan dan memenuhi kebutuhan pada mustahik (orang yang berhak mendapat zakat).<>

Pajak adalah, lanjutnya, hakikatnya uang yang dipungut negara berdasarkan undang-undang tanpa balas jasa tertentu dan digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan.

“Di negara Islam macam Saudi Arabia, negara hanya memungut zakat kepada perusahaan dan perorangan. Karena itu zakat sebenarnya identik dengan pajak, meski dinegara non-Islam seperti Indonesia, zakat tetap dibayarkan untuk membiayai pembangunan sosial keagamaan, sementara pajak dipungut untuk membiayai pembangunan, termasuk anggaran sosial keagamaan,” jelas Masdar yang juga mantan direktur P3M itu.

Bagi Masdar, pajak perlu dikembalikan kepada semangat zakat, semangat mencapai ridlo Ilahiah, agar para wajib pajak membayar dengan semangat menegakkan agama seperti halnya membayar zakat, dan Ditjen Pajak mengelola uang pajak dengan jujur dengan semangat Baitul Mal menjalankan perintah sebagai khalifah Allah.

“Zakat adalah ruhnya, pajak adalah badannya. Keduanya bisa dilakukan dalam satu transaksi,” terangnya di hadapan ratusan mahasiswa, praktisi keuangan, pengelola lembaga keuangan dalam acara yang diselenggarakan Kanwil Ditjen Pajak Jateng bekerjasama dengan Fakultas Syariah IAIN Walisongo tersebut.

Dijelaskan Masdar, pajak dan zakat memang berbeda tetapi bukan untuk dipisahkan. Membayar pajak perlu diniatkan zakat. Karena dengan niat itu pajak yang dibayarkan secara ukhrawi tidak sia-sia, dan dengan demikian tidak perlu membayar pajak dan zakat, karena sudah diniatkan untuk pajak dan zakat sekaligus.

Pembicara lain, Dr Mohamad Arja Imroni, dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo menyampaikan, masih keberatan jika zakat disamakan pajak. Dua hal itu punya nomenklatur berbeda. Akan ada masalah jika satu kali transaksi diniatkan dua.

Sementara pengamat perpajakan dari Undip Abdul Rahman mengungkapkan, pajak bersifat mamaksa berdasar dan dikenakan siapa saja. Sedangkan zakat tidak dipayungi UU dan hanya diwajibkan bagi orang yang mampu.

Dia mengusulkan, jika gagasan Masdar bisa diterima, Dirjen pajak perlu membentuk unit pajak syariah. Yaitu memungut zakat dari umat Islam sebagai pengurang pajak penghasilan, lalu uang itu hanya disalurkan untuk kemaslahatan umat. Termasuk untuk menggaji pegawai IAIN yang harus dari sumber halal. Bukan seperti selama ini, campur aduk segala jenis penerimaan pajak dari minuman keras maupun tempat maksiyat.

”Saya kita ide pak Masdar bagus. Jika diterima berarti perlu ada unit syariah di ditjen pajak. Tugasnya memungut zakat atau pajak yang halal, digunakan untuk  membiayai yang halal-halal saja,” jelasnya.(moi).