Warta

Kiai Muhiyiddin: Lakpesdam Perlu Berbenah Diri

NU Online  ·  Senin, 1 Oktober 2007 | 21:13 WIB

Jember, NU Online
Untuk kesekian kalinya kiai Nahdlatul Ulama (NU) memberikan koreksi kepada Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), salah satu lembaga dibawah naungan NU. Bila jauh sebelumnya Mbah Muchith sudah melakukan ‘cuci tangan’ terhadap lembaga ini, kali ini penulis Fikih Tradisionalis KH Muhyiddin Abdussomad merasa perlu mengelus dada.

Padahal sebelumnya, keduanya dikenal sebagai penyokong ide-ide pembaruan yang dilakukan lembaga itu. Bahkan Kiai Muhyidin masih menjabat sebagai Redaksi Ahli Taswirul Afkar, jurnal yang dikelola Lakpesdam hingga kini.<>

Keluhan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) Jember itu, kali ini berasal dari salah satu artikel Taswirul Afkar edisi 22 tahun 2007. Artikel itu dinilai telah menghujat habis-habisan budaya dan amaliah yang selama ini berlaku di NU. Di antaranya tentang memegang Al-Quran tanpa harus punya wudlu, boleh menginjak kitab suci al-Quran, boleh menaruh barang-barang di atas kitab, dan lain sebagainya.

Dikatakan, kesemuanya itu seakan sudah menjadi harga mati sebagai satu bentuk penghormatan oleh kalangan NU, namun kali ini dihujat habis-habisan oleh Taswirul Afkar, yang menjadi representasi Lakpesdam.

“Seharusnya Lakpesdam itu menjadi lembaga yang mengelaborasi ajaran ke-NU-an dan Ahlussunnah Waljamaah, bukan malah sebaliknya,” kata Kiai Muhyiddin, saat ditemui di kediamannya, Pondok Nuris Jember, pada Ahad (30/9) lalu.

Menurut Kiai Muhyiddin, artikel dalam edisi 22 itu bukannya menguatkan tradisi-tradisi yang telah berlaku di NU, tapi justru malah mementahkan dan terkesan melecehkan. Padahal semua itu sudah diajarkan dalam kitab-kitab yang menjadi pegangan para kiai di pesantren. Tulisan pada edisi 22 tampaknya ingin mencerabut kesakralan teks-teks yang ada dalam kitab kuning, kitab pegangan para kiai.

“Cara melihat mereka dari sudut pandang orang yang tidak yakin, yaitu pikiran orang Barat,” sesal Kiai Muhyiddin. Ia tampak begitu masygul dengan artikel itu. “Kalau sudut pandang itu dipakai terus, ya pasti tidak akan bisa ketemu,” tegas Ketua PCNU Jember tersebut.

Padahal posisi lembaga itu seharusnya malah menguatkan tradisi-tradisi yang ada dalam NU, bukan malah menjungkirbalikkan tradisi itu. “Sungguh, ini sangat merugikan NU,” imbuh Kiai Muhyidin sambil meredam emosi. “Sangat ironis,” tambahnya. Ia mengaku sudah sering menemukan kejanggalan dari jalan pikiran anak-anak Lakpesdam. Namun kali ini tergolong paling parah.

Kiai Muhiyiddin mencari jawab tentang penyebab, kenapa semua itu bisa terjadi. Kiai Muhyiddin berkesimpulan bahwa transparansi ajaran NU pada generasi mudanya selama ini tidak bisa berjalan mulus. Anak-anak muda rupanya lebih banyak mengonsumsi pikiran-pikiran liberal gaya Barat. Ironisnya, pikiran-pikiran itu langsung diterima sepenuhnya, tanpa disaring lebih dulu.

Menurut Kiai Muhyiddin, seharusnya Lakpesdam memiliki satu divisi yang bertugas mengkaji ajaran Ahlussunnah Waljamaah dan ke-NU-an secara mendalam dan valid. Bukan untuk menjungkirbalikkan, tapi untuk meyakinkan pada orang NU maupun non NU akan kebenaran ajaran NU. “Pada akhirnya diperoleh kebenaran, kebenaran di pihak NU,” harap Kiai Muhyiddin.

Ia mencontohkan adanya lembaga khusus dalam ajaran Wahabi yang bertugas mengomparasi ajaran lain di luar Wahabi, begitu pula dengan Syiah. Pada akhirnya adalah menguatkan keyakinan dari pemilik lembaga itu, bukan malah menyalahkan.

“Menurut saya, Lakpesdam memang perlu dibenahi,” Kiai Muhyiddin berkesimpulan. “Jangan sampai Lakpesdam itu hadir untuk menghancurkan ajaran NU sendiri,” tegasnya.

Ia menjelaskan, dalam pemikiran orang liberal, tidak ada sesuatu yang sakral dan perlu disucikan. Padahal pemikiran model seperti itu tidaklah benar dalam kacamata NU. Dalam agama, kata Kiai Muhyidin, ada daerah-daerah yang akal tidak berhak bicara. “Tidak semua hal bisa dirasionalkan, di sini kelirunya pikiran mereka,” tambah Kiai Muhyiddin.(sbh)