Warta

Menjadi Modern dengan Kitab Kuning

Kam, 28 September 2006 | 14:04 WIB

Jakarta, NU Online
Para pemimpin pesantren semakin menjauh dari kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab gundul, tanpa harakat, atau biasa disebut kitab kuning. Terutama di pesantren-pesantren besar para kiai semakin banyak urusan, sementara putra-putri penerus mereka lebih senang dengan referensi lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan formal.

Demikian Ketua PBNU KH. Said Aqil Siradj saat membuka pengajian rutin yang diadakan oleh NU Online bersama Lajnah Ta’lief wan Nasyr di gedung PBNU, Kamis (28/9). Kitab yang dikaji adalah Manahijul Imdad, karya ulama besar Indonesia Kiai Ihsan Jampes (alm.) yang baru diterbitkan.

<>

Para kiai yang mempunyai ribuan santri, kata Kang Said, panggilan akrab KH. Said Aqil Siradj, terlalu banyak rutinitas dan tugas sehingga kurang begitu punya waktu untuk mendalami keilmuan pesantren.

“Para kiai besar banyak terlalu sering menerima tamu mana mungkin punya waktu untuk mendalami kitab kuning. Kiai kiai yang bunyi (berpendapat: red) dalam Munas Alim Ulama di Surabaya kemarin umumnya yang santrinya tidak banyak,” seloroh Kang Said.

Belakangan kalangan muda pesantren lebih senang memilih referensi keilmuan atau menafsiri dan merespon perubahan zaman dengan referensi kitab kuning. Tidak jarang para ‘intelektual’ pesantren yang tidak tahu menahu mengenai kitab kuning.

“Jadi yang yang masih punya kemampuan mengkaji kitab kuning harus bangga. Perlu dicatat, kita yang dikatakan tradisional karena masih berpedoman kitab kuning bisa untuk menjadi modern dengan mudah, tapi yang modern sulit menjadi tradisional seperti kita,” kata Kang Said di hadapan sekitar 50-peserta kajian dari beberapa badan otonom NU dan organisasi kultural NU seperti PMII serta kelompok kajian muda NU.

Ulama Jawi

Dikatakan Kang Said, para ulama Nusantara atau dulu disebut Jawi mempunyai kontribusi besar dalam dunia keilmuan Islam. Kiai Nawawi Banten menulis lebih dari dua ratus kitab yang dibaca oleh umat Islam seluruh dunia.

Ada juga Kiai Mahfudz termas yang mengarang kitab Manhaj Dawinnadzar di bidang ilmu hadits yang menjadi buku wajib di beberapa universitas di Mesir. Sementara Kiai Ihsan Jampes sendiri yang tidak pernah keluar belajar di Timur Tengah kitab-kitabnya menjadi bacaan umat islam di Asia, Afrika, dan Eropa. “Saya pernah ke Mali, Afrika Barat, Sirajutthalibin dibaca di sana,” kata Kang Said.

Ada yang samanya Khotib Sambas Kalimantan Barat yang berjasa besar mensinergikan dua Tarekat yakni Qodiriyah dan Naqsabandiyah. “Ternyata tarekat ini pengikutnya seluruh dunia. Jadi sumbangsih para ulama Jawi juga sangat besar,” kata Kag Said. (nam/rif)