Warta

Noorsi: Privatisasi Merpati Mengulang Kesalahan Lama

Sel, 28 September 2004 | 14:26 WIB

Jakarta, NU Online
Disetujuinya rencana privatisasi (swastanisasi) PT Merpati Nusantara Airlines oleh Komisi IX DPR dinilai sebagai kegagalan pemerintah dan DPR dalam menangkap fungsi politik dari transportasi dalam negeri.

“DPR gagal memahami fungsi penting Merpati sebagai perusahaan transportasi udara yang selama ini telah menjadi penghubung masyarakat antar pulau di Indonesia. Padahal sebagai alat transportasi, Merpati memiliki aspek kepentingan umum yang perlu mendapat perhatian pemerintah,”kata pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsi kepada NU Online, Selasa (28/9).

<>

Karena kurang pekah terhadap  pentingnya fungsi politik dari Merpati itu, kata Noorsi, DPR dengan mudahnya menyetujui swastanisasi perusahaan penerbangan yang telah menjahit hubungan masyarakat antar pulau di Indonesia secara kuat. “Karena fungsi penting Merpati dalam memperkokoh keutuhan Indonesia tidak dilihat pemerintah dan DPR, maka fungsi penting ini pun digeser ke swasta,”kata Noorsi menjelaskan.

“Sekarang saya bertanya, apakah dengan hanya mementingkan fungsi ekonomi maka fungsi dalam bentuk  menjembatani hubungan masyarakat antar pulau di Indonesia bisa terwujud? tanya Noorsi.

Berdasarkan catatan NU Online, PT Merpati Nusantara Airlines membutuhkan izin DPR karena dililit utang Rp 1,3 triliun kepada pemerintah, maskapai penerbangan Garuda Indonesia, dan Bank Mandiri. Jika pemerintah mengonversikan utangnya menjadi penyertaan modal, maka pihak lain akan bersedia melakukan hal yang sama sehingga modal perusahaan ini menjadi kuat. Dan  sejak, Senin (27/9), niat menjual maskapai terbesar kedua milik pemerintah setelah Garuda ini pun terkabul. Komisi IX DPR menyetujuinya.

Untuk menuju swastanisasi atau penjualan Merpati, tahap pertama adalah merestrukturisasi utang perusahaan ini kepada pemerintah dan kedua perusahaan di atas. Restrukturisasi ini akan dilakukan dengan mengkonversi piutang pemerintah di Merpati menjadi modal.

“Karena tujuan restrukturisasi adalah untuk mendorong minat sektor swasta membeli Merpati, maka ujung-ujungnya akan dilakukan adalah penawaran perdana atau IPO saham-saham Merpati kepada swasta, lantas  dijual penuh kepada swasta,”ujar Noorsi.

Karena persetujuan privatisasi Merpati oleh Komisi IX dinilai  kurang hati-hati atau jauh dari prinsip prudent, maka penjualan Merpati akan sama merugikan dengan swastanisasi terhadap semua BUMN strategis sebelumnya, seperti Indosat.

Sebagai bukti kecerobohan itu, ujar Noorsi, Komisi IX tidak punya benchmarking (patokan) yang luas tentang perusahaan jasa penerbangan. Akibatnya, kata Noorsi, Komisi IX tidak bisa membandingkan Merpati Nusantara dengan perusahaan jasa penerbangan lainnya seperti Lions Air, Batavia Air, Jatayu Air dan lainnya.

Akibatnya, kata Noorsi, pengambilan keputusan oleh Komisi IX pun tampak akan merugikan bangsa Indonesia. “DPR tampaknya belum bisa membedakan kenapa ada penerbangan murah yang bagi Singapura dan Malaysia menguntungkan, tetapi sebaliknya bagi Merpati dan Garuda justeru merugikan,”tandas Noorsi seraya mempertanyakan ketiadaan support pemerintah untuk transportasi udara nasionalnya.

Ujung – ujungnya, kata Noorsi, perusahaan asing pula yang akan membeli Merpati. “Bila saat ini asing telah menguasai sektor IT (information technology), maka tidak lama lagi akan menguasai jasa penerbangannya pula,”kata Noorsi.(Doel).