Warta

NU “Jihad” Melawan TBC

Rab, 10 Januari 2007 | 11:14 WIB

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) menaruh perhatian terhadap penyakit menular tuberculosis (TBC). Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini mendeklarasikan diri untuk “berjihad” melawan dan memberantas salah satu penyakit paling mematikan di dunia itu.

Hal itu terungkap dalam acara Sosialisasi Pencanangan dan Penanggulangan TBC yang digelar Lembaga Pelayanan Kesehatan (LPK) NU, di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (10/1). Acara tersebut merupakan hasil kerja sama LPKNU dengan Departemen Kesehatan (Depkes) RI dan Global Fund.

<>

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menandatangani surat pernyataan sebagai tanda dukungan terhadap program tersebut. Ketua PBNU Rozy Munir, Ketua LPKNU Dr Syahrizal Syarif PhD, Wakil Direktur P2ML Departemen Kesehatan dr Karmelia juga turut membubuhkan tanda tangan pada pernyataan tersebut.

KH Hasyim Muzadi dalam sambutannya mengatakan, penanggulangan penyakit TBC juga merupakan tanggung jawab NU, tidak saja pemerintah. Oleh karenanya, NU juga akan berperan serta mencegah meluasnya penyakit yang umumnya menjadi masalah utama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Sementara, Wakil Direktur Pemberantasan Penyakit Menular Langsung (P2ML) Depkes RI dr Karmelia menyatakan, dukungan terhadap program yang akan melibatkan sejumlah pondok pesantren di lingkungan NU itu juga juga merupakan upaya membantu rakyat miskin. Pasalnya, penyakit berbahaya tersebut umumnya diderita oleh rakyat miskin. “80 sampai 90 persen penderita TBC adalah rakyat miskin,” tandasnya.

Menurutnya, hal itu terjadi karena minimnya akses rakyat miskin terhadap pelayanan kesehatan dan pengetahuan akan pencegahan serta penanggulangan TBC. Karenanya, melalui program tersebut, ia berharap pesantren mampu mengatasi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

“Pesantren, melalui fasilitas kesehatan yang dimiliki, nantinya bisa menjadi tempat pengobatan bagi para penderita TBC yang berada di sekitar pesantren itu. Kemudian, para santrinya, minimal bisa menjadi PMO(Pengawas Minum Obat)-nya,” terang  Karmelia.

Program yang yang akan berlangsung selama satu tahun tersebut akan melibatkan sekitar 27 ponpes NU di Pulau Jawa dan Bali. Di antaranya meliputi 5 ponpes di Riau, 5 ponpes di DKI Jakarta, 5 ponpes di Jawa Tengah, 7 ponpes di Jawa Timur dan 5 ponpes di Bali.

Masing-masing ponpes nantinya diharapkan memiliki setidaknya lima orang fasilitator yang terdiri dari satu orang dokter dan 4 orang PMO. (rif)