Warta

Paradigma Pemerintah tentang TKI Harus Diubah

NU Online  ·  Rabu, 23 April 2008 | 21:04 WIB

Jakarta, NU Online
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri kerap mengalami masalah. Karena itu, paradigma (pandangan) yang digunakan pemerintah terhadap penyumbang devisa negara terbesar itu harus diubah. Pemerintah jangan lagi berpandangan bahwa TKI merupakan ‘komoditas ekspor’ yang dapat menghasilkan pemasukan bagi negara.

Pendapat tersebut dikemukakan Peneliti pada Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Sukamdi. Ia menyampaikan hal itu dalam paparannya pada Dialog Nasional bertajuk “Problematikan TKI Kita” di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (23/4).<>

Hadir juga sebagai narasumber pada dialog yang digelar Dewan Pengurus Pusat (DPP) Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) itu, antara lain, Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Drs Subagyo dan Ketua PBNU Andi Jamaro Dulung.

Sukamdi menjelaskan, paradigma semacam itulah yang digunakan pemerintah selama ini. Sementara, sistem ketenagakerjaan di Indonesia saat ini belum mencerminkan pemihakan dan perlindungan terhadap para TKI. Akibatnya, pemerintah tak banyak berbuat jika ada TKI yang mendapat masalah di tempat kerja, seperti, penganiayaan, perkosaan, dan lain-lain.

Ia meminta kepada pemerintah agar menjadikan TKI sebagai bagian dari kebijakan pembangunan ekonomi. Demikian pula, para tenaga kerja yang sebagian besar kalangan berpendidikan rendah itu harus dijadikan subyek, bukan obyek seperti halnya yang terjadi selama ini.

“Di antaranya, perlu pembenahan sistem tentang penempatan, pelayanan dan perlindungan. Sistem penempatan di luar negeri harus mudah, murah dan cepat. Serta upaya perlindungan kepada para TKI yang bermasalah,” terangnya.

Subagyo membenarkan hal tersebut. Menurutnya, sebagian besar TKI merupakan kaum perempuan. “60 persen hingga 70 persen perempuan,” katanya. Sebagian besar dari mereka juga, katanya, bekerja pada sektor informal: buruh, pembantu rumah tangga, dan sebagainya.

“Pengalaman kerjanya kurang. Pendidikan rendah. Sementara, lapangan pekerjaan di dalam negeri sangat kurang. Lalu, mereka dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang sengaja mencari keuntungan ekonomis. Kalau mendapat masalah di tempat kerjanya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka tidak tahu harus mengadu ke mana,” papar Subagyo. (rif)