Warta

Pengadilan Irak Dinilai Tak Adil

NU Online  ·  Senin, 6 November 2006 | 04:12 WIB

Baghdad, NU Online
Tim pembela mantan Presiden Irak Saddam Hussein menuding vonis hukuman gantung atas kasus kejahatan kemanusiaan di desa Dujail tahun 1982 dianggap ilegal dan jelas bermuatan politis. Keputusan Pengadilan Tinggi Irak dianggap tidak adil karena selama ini menjadi "boneka Pemerintah AS".

Keputusan pengadilan Saddam itu dikecam berbagai pihak, khususnya komunitas Sunni dan tim pembela Saddam, Minggu (5/11). Bahkan, ketua tim pembela Saddam, Khalil al-Dulaimi, curiga keputusan hukuman mati itu telah direncanakan sejak awal. Karena itu, keputusan hakim dituding tak adil. "Sejak awal di hari pertama, pengadilan ini jelas bermotif politis. Pengadilan ini kami anggap ilegal karena sama sekali tidak memberi kesempatan suara yang membela Saddam," ujarnya.

<>

Ahli hukum internasional dari badan kajian Catham House Sonya Sceats juga menilai persoalan yang sebenarnya justru berada di proses pengadilan itu sendiri. Seharusnya Saddam tidak dihukum gantung dan dibiarkan hidup lebih lama agar kejahatan-kejahatan lain dapat ditelusuri dan diselesaikan dengan tuntas.

"Justru masalahnya pengadilan itu tidak adil dan cenderung berpihak. Selain itu juga tak memenuhi standar hukum Irak dan internasional. Ada bukti-bukti tekanan politik yang sangat jelas," ujarnya.

Hal senada dikatakan Presiden Gerakan Internasional untuk Keadilan Dunia Chandra Muzaffar. Ia menilai pengadilan Saddam itu cacat karena telah melanggar hukum internasional. "Saddam memang diktator yang brutal, tetapi tetap dia tidak pantas menerima hukuman mati," ujarnya.

Kecam hukuman mati

Pengadilan Saddam sejak awal diprotes karena dianggap "aneh". Setelah menangkap Saddam, AS membentuk sekaligus membiayai operasional pengadilan.

Berbagai kelompok HAM seperti Amnesty International menilai proses pengadilan sama sekali tidak netral. Bahkan, standar paling dasar tidak terpenuhi, yakni adanya perlindungan keamanan bagi pengacara dan saksi-saksi. Ketua Program Afrika Utara dan Timur Tengah di lembaga Amnesty International Malcolm Smart menyebutkan, setiap individu berhak memperoleh pengadilan yang adil. Bahkan, Saddam sekali pun juga berhak.

Amnesty International yang menentang hukuman mati itu menyayangkan pengadilan itu karena seharusnya Pemerintah Irak yang baru bisa menegakkan hukum dengan adil. Tapi yang terjadi adalah campur tangan politis dalam hukum yang semestinya netral dan adil. "Seharusnya ini kesempatan bagi Pemerintah Irak. Sayang kesempatan ini lewat," kata Smart.

Pusat Internasional Keadilan Transisional yang telah memantau proses pengadilan Dujail juga mengusulkan agar panel hakim di pengadilan proses naik banding sebaiknya mempertimbangkan meminta pengadilan ulang untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada. "Terlalu banyak kesalahan yang terjadi sejak awal," kata ahli hukum Timur Tengah di ICTJ, Hanny Megally.

Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Louise Arbour yang juga menentang hukuman mati untuk semua kasus mengatakan, Irak harus bisa menjamin proses naik banding yang adil dan tidak melaksanakan hukuman mati.

Akan tetapi, Presiden Irak Jalal Talabani justru menilai pengadilan itu adil. Namun ia tidak bersedia memberikan komentar tentang vonis hukuman mati Saddam karena ia khawatir hal itu akan bisa memicu ketegangan antara Syiah dan Sunni. "Saya menghormati kebebasan hukum Irak. Komentar saya akan memengaruhi situasi," kata Talabani di Paris. (kom/dar)