Warta SERBA-SERBI TANAH SUCI

Serba Gratisan di Masjidil Haram

Ahad, 19 Desember 2010 | 09:15 WIB

Makkah, NU Online
Seperti halnya di Masjid Nabawi Madinah al-Munawwaroh, Masjidil Haram Makkah al-Mukarromah juga disediakan makanan berbuka puasa (ta'jil/ifthor) untuk para jamaah. Hanya saja bedanya, di Masjid Nabawi pembagian ta'jil dikoordinir oleh pengurus Masjid, namun tidak demikian halnya di Masjidil Haram.

Di Masjidil Haram ta'jil disiapkan atas inisiatif para jamaah sendiri. Sehingga jangkauan dan persebarannya menjadi lebih luas dan lebih padat dibandingkan di Nabawi. Di Masjidil Haram, hampir setiap barisan jamaah terdapat beberapa orang yang membagi ta'jil. />
"Memang ta'jil selalu hanya terdiri dari buah kurma saja. Kadang-kadang ada beberapa yang juga membagikan teh atau kopi bersama kurma," tutur Syafi'i salah seorang jamaah yang sedang mabit dan i'tikaf di Masjidil Haram, Sabtu (18/12).

Awalnya sempat terpikir bahwa ta'jil ini dikarenakan sedang ada puasa sunnah Asyuro' (tanggal 10 Muharram), namun setelah saya konfirmasi ke beberapa muthowwi' (petugas peribadahan), mereka menyatakan ta'jil ada setiap hari Senin dan Kamis. Ta'jil ini terdapat di setiap sudut dan blok yang disekat-sekat dengan rak Al-Qur'an atau rak sandal setinggi setengah meter.

Perbedaan lain di Masjdil Haram adalah adanya "ronde kedua" untuk berbuka puasa. Biasanya sesi ini dibuka seusai sholat Isya. "Menu kali ini pun lebih berat dibandingkan dengan sesi pertama. menu kali ini adalah roti cane (makanan pokok orang-orang Asia Selatan) dengan bumbu dan kuah ayam opor," lanjut Syafi'i.

Jangan pernah Anda membayangkan akana ada banyak piring atau gelas di sini. Pada sesi ini hanya ada gulungan yang dibentangkan memanjang sebagai alas makanan. Seperti kebiasaan makan bersama dengan menggunakan daun pisang sebagai alas yang memanjang, hanya saja di sini diganti dengan plastik tipis. Sedangkan untuk gelas/cangkir kopi, mereka menggunakan gelas plastik sekali pakai yang disediakan di galon-galon zamzam.

Apakah barang-barang ini tadinya disembunyikan dari askar waktu masuk ke Masjid, atau memang telah mendapat ijin? Saya tidak tahu persis.  Sebab biasanya para askar melarang jamaah membawa barang yang besar, baik ditenteng, atau apalagi di dalam tas punggung. Jangankan membawa makanan, tas kosong pun dilarang masuk.

Namun memang tidak pernah saya lihat barang-barang yang sudah berhasil lolos kemudian ditegur atau dilarang digunakan di dalam Masjidil Haram. Saya tidak pernah ditegus askar meskipun menenteng tas besar atau thowaf dengan menyandang tas punggung petugas haji. Padahal tadi saya harus mengelabui petugas ketika melewati pintu masuk Masjid, tas besar (normal) tidak pernah diijinkan masuk ke Masjid. Anda akan disuruh menitipkannya di loker yang ada di seluruh penjuru putaran depan tiap-tiap pintu Masjdil Haram.

Jika kita menyerahkan tas di salah satu loker depan pintu Masjidil Haram, maka berarti kita harus kembali ke loker tersebut ketika akan pulang. Ini artinya jika salah keluar pintu saat pulang, bisa cukup merepotkan untuk ukuran orang sehat dan waras. Karena itu pula saya tidak pernah meninggalkan tas di loker, saya selalu membawa tas punggung petugas yang cukup besar (ukuran standard) untuk menaruh perbekalan, pakaian dan tentu saja sandal. Sedikit mengelabui petugas di pintu masuk, namun tidak pernah ditegur waktu di dalam Masjid, kendati toh jelas-jelas tas besar itu saya gendong waktu thowaf.

Saya tidak sempat bertanya bagaimana barang-barang makanan ini masuk masjid, namun yang jelas ia dibawa jamaah biasa, bukan petugas masjid. Para petugas, baik yang berseragam Askar atau pun yang mengenakan pakaian biasa membuka perbekalan mereka sendiri-sendiri, berkumpul di antara mereka sendiri dan makan dalam lingkaran mereka sendiri. Para petugas kebersihan bahkan selalu makan secara bergerombol (kepungan) di luar pintu Masjid, artinya mereka pun tidak diijinkan membawa makanan mereka masuk.  

Namun demikian, tidak ada satu pun askar atau muthowwi' yang melarang aktifitas ini, bahkan hingga di pelataran ka'bah pun sesi makan malam ini berlangsung dengan nyaman. Hanya saja sayangnya tidak ada satu pun di antara kelompok-kelompok ini yang menggelar nasi, semuanya hanya roti cane.

Andai saja perut bisa dikelabui seperti para askar di pintu-pintu Masjidil Haram, tentu saya tak perlu bersusah payah pergi keluar untuk mencari nasi. Namun rupanya perut Indonesia lebih teliti daripada para Askar di pintu-pintu. Mereka selalu mengatakan, "Tidaklah mengapa jika gratisan, namun tidak ada nasi masuk berarti belum makan." Untung saja di depan Masjdil Haram selalu ada warung yang buka 24 jam, untungnya lagi mereka juga menyediakan nasi, walau tentu saja sudah berbau ke-Arab-araban. (min/Laporan langsung Syaifullah Amin dari Arab Saudi)