Warta

Soal Pengambialihan Masjid, Nahdliyin Harus Koreksi Diri

Jum, 13 April 2007 | 09:14 WIB

Makasar, NU Online
Nahdliyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama - NU) seharusnya juga mampu mengoreksi diri atas fenomena maraknya gerakan dan kelompok Islam garis keras yang diikuti dengan serangkaian upaya ‘pengambilalihan’ masjid-masjid yang didirikan nahdliyin.

Pernyataan itu disampaikan tokoh NU Makassar Drs H Ilyas Umar M.Hum yang juga Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan, kepada Kontributor NU Online di Makasar Syaiful Akbarius Zainuddin, Kamis (12/4) kemarin.

<>

Ilyas, demikian panggilan akrabnya, mengatakan, pada dasarnya terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, kelompok dan gerakan berpaham Wahabi yang mengambil alih masjid NU itu justru lebih berupaya ‘meramaikan’ dan ‘memakmurkan’ masjid. Menurutnya, gemanya justru diketahui luas oleh masyarakat Islam, khususnya warga NU. “Kita tidak bisa memungkiri kenyataan yang terjadi,” tandasnya.

Kedua, tambah mantan aktivis Ikatan Pelajar NU itu, adalah aspek orientasi, yakni paham dan ajaran Wahabi. Hal itu cukup berpengaruh pada nahdliyin meski nahdliyin sendiri bukanlah masyarakat yang tidak mengerti paham tersebut. “Sebab warga NU pun senantiasa belajar tentang Aswaja (Ahlussunnah Wal Jamaah, Red) secara individu. Bahkan warga NU pun melakukan perlawanan terhadap ajaran dari doktrin tersebut,” terangnya.

Karena itu, ia menegaskan, nahdliyin seharusnyalah melakukan gerakan-gerakan dakwah yang mampu membendung masuknya paham yang kerap tidak menghormati tradisi dan keberagaman budaya setempat itu. Nahdliyin pun, imbaunya, juga wajib melakukan kegiatan untuk meramaikan dan memakmurkan setiap masjid agar paham-paham di luar dari Aswaja dapat dihalau sebelum berkembang lebih besar.

Khusus nahdliyin di Sulawesi Selatan dan sekitarnya, menurut Ilyas yang juga mantan aktivis Gerakan Pemuda Ansor itu, ada tiga kunci utama dalam membangun NU dan mengembangkan paham Aswaja. Pertama, terciptanya kesadaran untuk melakukan pencerahan dan pencerdasan kepada nahdliyin.

Karena, lanjutnya, masyarakat di Sulawesi Selatan tidak seluruhnya pernah mengenyam pendidikan pesantren yang mengajarkan paham Aswaja. “Ini merupakan tugas utama dari para ulama, baik yang berada di struktur kelembagaan NU maupun di luar,” kata mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia itu.

Kedua, para tokoh NU selayaknya memberikan asas manfaat kepada warganya, baik pada bidang, sosial, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Sebab disadari atau tidak, asas manfaat itulah yang akan menjadi semangat untuk berusaha maju ke arah yang lebih baik. “Bila tidak bermanfaat, maka orientasi hidup warga NU akan jauh tertinggal,” pungkasnya.

Ketiga, imbuhnya, perlunya sosialisasi terhadap peran dan fungsi keberadaan kelembagaan NU. Hal itu wajib dilakukan seiring dengan program kerja dan simbol-simbol NU pada setiap masjid, sehingga ruh NU akan senantiasa hidup di tengah-tengah masyarakat. (rif)