Warta Diskusi NU Online

Tarekat, Spiritualitas, ataukah Globalisasi

Sel, 18 April 2006 | 11:36 WIB

Ada yang khas dalam perkumpulan tarekat yakni amalan rutin, guru (mursyid), dan baiat (sumpah setia). Inilah yang membedakan tarekat tarekat dengan perkumpulan spiritual atau majelis dzikir biasa. Dalam hal tarekat dapat disebut sebagai organisasi (jam’iyyah) dan bukan sekedar paguyuban (jamaah), tarekat dengan karekteristiknya yang khas itu bisa menjadi kekuatan yang luar biasa.

Diskusi bulanan NU Online kali ini (18/4) bertema "Tarekat Menghadapi Globalisasi dan faham Ekonomi Neo-LIberalisme." Diskusi dipandu oleh Ahmad Baso dari Lajnah Ta’lif wan Nasy NU (LTN) dan M. Dienaldo dari Lembaga Seni Budaya Muslim NU (Lesbumi). Sebagai pembicara kunci, Martin van Bruinessen, peneliti sosial berkebangsaan Belanda yang telah lama akrab dengan dunia pesantren dan NU.

<>

Perkumpulan tarekat, demikian Martin, bisa jadi hanya perkumpulan biasa. Para anggota tarekat berkumpul bersama untuk menjalankan-amalan amalan khusus tarekatnya masing-masing dan dibimbing oleh seorang guru. Namun, pada saatnya perkumpulan tarekat dapat menjadi kekuatan besar untuk melakukan satu perubahan radikal.

"Tarekat bisa menjadi organisasi yang mengkoordinis massa dari berbagai tempat. Tarekat bisa menyampaikan suara dari bawah. Tarekat pernah menjadi alat perjuangan petani lokal untuk melawan bupati. Pada masa penjajahan tarekat paling efektif untuk mengkoordinir perlawanan," kata Martin.

Namun, kata Ahmad Baso, jika berbicara arus globalisasi dan tekanan faham ekonomi neoliberalisme, kekuatan fisik dan mobilisasi massa saja tidak cukup. Diakui atau tidak para penganut tarekat pun telah berada dalam arus globalisasi itu, atau jangan-jangan menjadi "pedagang" yang secara tidak sadar menganut faham ekonomi neo-liberalisme.

Sungguh rumit. Diskusi akhirnya malah menyoroti fenomena spiritualitas kalangan menengah ke atas di perkotaan. Banyak yang merasa haus spiritualitas lalu mereka mendatangi majelis-majelis dzikir. Mereka menemukan ketenangan dalam ruangan besar yang berucap dzikir bersama, kalau perlu menangis bersama.

Dulu, kalangan yang sinis menganggap perkumpulan tarekat sebagai pilihan utama para penduduk miskin pedesaan yang lemah dan tak berdaya, dan bahkan tidak berpendidikan formal tinggi. Namun, ketika sarjana-sarjana dan para direktur perusahaan di perkotaan menaruh harapan banyak dengan bergabung dengan majelis dzikir, apakah ada yang mengatakan hal yang sama?

Martin mengatakan, ada yang sengaja membuang perasaan bersalah dengan cara spiritual. "Banyak koruptor yang ingin menghilangkan perasaan berdosa dengan berdzikir," katanya. Mungkin pendapat itu terlalu terburu-buru. Kira-kira, ada hal penting yang menjadi penyebab utama kenapa spiritualitas ngetrend di perkotaan. Lantas apa? Dengan suara lirih, diskusi itu akhirnya bersuara, "globalisasi dan neoliberalisme." (a khoirul anam)