Warta

Wayang Purwa, Wujud Akulturasi Budaya Lokal dengan Islam

Kam, 9 Oktober 2008 | 13:14 WIB

Semarang, NU Online
Upaya Walisongo dalam berdakwah salah satunya didasarkan pada kemampuan untuk melakukan akulturasi budaya, diantaranya adalah perubahan bentuk wayang purwa yang sudah ada sejak zaman Hindu yang kemudian disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.

Widodo, Dosen Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Semarang, Kamis menjelaskan proses akulturasi tersebut telah menjadikan wayang purwo semakin berkembang dan menjadi suatu karya seni yang tinggi nilainya.<>

Menurut Widodo, banyak orang beranggapan bahwa seni wayang berasal dari Negeri India. Padahal menurut R.Gunawan Djajakusumah dalam bukunya Pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat, hal itu tidak benar. Wayang adalah kebudayaan asli Indonesia (khususnya di Pulau Jawa).

Perkataan wayang berasal dari Wad an Hyang, artinya "leluhur", tapi ada juga yang berpendapat yaitu dari kata "bayangan". Adapun yang berpendapat bahwa wayang berasal dari negeri India mungkin melihat dari asal ceritanya yaitu mengambil dari cerita Ramayana dan Mahabrata. Tetapi selanjutnya cerita-cerita itu diubah dan direkayasa disesuaikan dengan kebudayaan di Jawa, katanya.

Pada masa Islam ini ditegaskan bahwa penggunaan kulit sebagai bahan baku wayang yang sebelumnya belum disebutkan secara jelas, tetapi pada masa ini digunakan kulit binatang kerbau.

Stilasi bentuk wayang kulit purwa sudah sangat jauh dari sumbernya, namun demikian bentuk wayang kulit masih dapat dikenali bagian-bagiannya. Bentuk wayang kulit purwa yang telah digayakan sedemikian jauh itu membuat sangat berbeda dengan wujud manusia.

Gaya penggambaran wayang kulit purwa yang demikian itu merupakan pilihan para ahli pada saat itu dan merupakan akibat dari langkanya penggambaran secara realistik.

Hal ini ditempuh agar wayang kulit purwa dapat tampil dengan baik dan tidak melanggar larangan menurut ajaran agama Islam, dengan demikian wayang kulit purwa sudah dapat diterima dalam agama Islam, karena tidak lagi menggambarkan manusia atau binatang secara realistis.

Kenyataannya wujud wayang kulit purwa sudah berbeda jauh dengan gambaran manusia, walau wayang kulit memiliki mata, hidung, dan mulut orang.

Namun demikian dengan hidung yang runcing, mata sipit dan panjang, serta bentuk mulut yang berkelok-kelok, dan leher yang kecil sebesar lengan, tangan yang panjang hingga menyentuh kaki tokoh, Arjuna nampak sebagai sosok yang bagus dan rupawan, sehingga menjadi idola masyarakat pendukung wayang kulit purwa.

Sumber Ide

Budaya keislaman dalam wayang kulit purwa tidak saja dijumpai pada wujudnya saja, tetapi ditemukan pula pada istilah-istilah dalam bahasa padhalangan, bahasa wayang, nama tokoh wayang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan.

Satu hal yang sangat menonjol dalam pengambaran wayang kulit terlihat pada penggambaran tokoh Bathara Guru salah satu tokoh dewa yang bertangan empat, masih mengacu pada penggambaran tokoh dari masa-masa hindu yang terdapat pada relief candi.

Wayang kulit purwa yang diwujudkan dalam masa Islam di Indonesia ini berkembang di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Madura, dan Yogyakarta, serta daerah lain yang mendapat pengaruh agama Islam.

Jenis wayang kulit purwa ini tetap lestari hidup hingga sekarang dan menjadi sumber ide dalam penciptaan bentuk wayang kulit baru yang sesuai dengan jiwa sekarang dan perkembangan jaman.

Menurut Widodo, pengaruh Islam dalam wayang kulit purwa tidak saja pada bentuknya, tetapi telah merambah pula pada aspek simbolisasi dan berkaitan pula dengan aspek lainnya yang berhubungan dengan pergelaran wayang kulit purwa. Sehingga kelestariannya patut untuk dijaga, karena merupakan salah satu bagian dari seni budaya bangsa yang menjadi saksi sejarah perkembangan bangsa, khususnya perkembangan agama Islam di Indonesia, katanya menegaskan. (ant/mad)