Wawancara PROFIL KANDIDAT

Bagdja: Bersedia Jika di Bawah Bimbingan Syuriyah

Sen, 1 Maret 2010 | 05:26 WIB

H Ahmad Bagdja merupakan tokoh senior NU yang telah makan asam-garam perjalanan panjang NU. Ia merupakan sosok yang tekun menangani pernik-pernik urusan keorganisasian yang kadangkala tak menjadi perhatian orang lain. Wacana penguatan syuriyah dan peran ketua umum sebagai manajer membuat sosoknya dianggap sebagai orang yang tepat menduduki posisi ketua umum tanfidziyah yang nantinya melaksanakan tugas dan kebijakan syuriyah NU. Ia sendiri menegaskan, siap memimpin NU jika NU berubah.

“Saya berani mencalonkan diri sebagai ketua umum kalau kondisi dan situasinya, imamnya adalah syuriyah. Kalau itu, saya mau, tetapi kalau seperti yang lama, seperti pak Hasyim atau Gus Dur, itu bukan wilayah saya” demikian salah satu kutipan pernyataannya saat wawancara dengan NU Online.
;

Bagaimana pandangan dan visinya dalam mengembangkan NU ke depan jika nantinya terpilih menjadi ketua umum PBNU, dengan bekal pengalaman lebih dari 25 tahun menjadi pengurus NU, berikut wawancara dengan reporter NU Online, Achmad Mukafi Niam di gedung PBNU baru-baru ini, disela-sela kesibukannya menerima kunjungan dari para pengurus PWNU.

Pandangan Bapak tentang NU saat ini bagaimana?

Jika dilihat secara intern organisasi, dibidang komunikasi lebih baik dibandingkan dengan periode yang lalu. Demikian pula dalam hal pertumbuhan cabang, pendirian kantor dan sarananya relatif lebih banyak, baik di tingkat wilayah atau cabang, alamat yang lebih teratur, surat menyurat juga teratur. Frekuensi pertemuan antara PBNU dengan wilayah lebih baik, antara PWNU dan PCNU juga lebih baik. Saya kira ini bekal untuk konsolidasi lebih lanjut, misalnya dalam rangka fokus untuk program tertentu atau untuk meratakan kebijakan-kebijakan sampai level bawah.

Kedua, dilihat dari peran NU di tingkat internasional, rintisan ini kelihatannya memberi image positif tentang peran NU di bidang internasional, ini perlu dipertahankan.

Apa hal lain lagi yang perlu dipertahankan?

Yang perlu dipertahankan, pertama, tentu nilai yang bersumber dari ajaran aswaja, tradisi keagamaan, fikrah nahdiyyah, manhaj yang selama ini dikembangkan perlu terus dikembangkan, hubungan-hubungan antar agama kemudian hubungan internasional juga harus dilanjutkan dan dipertahankan

Yang perlu diperbaiki, yang agak berat adalah memperbaiki manajemen organisasi, tingkat kapasitas institusi untuk bisa mengembangkan potensi NU. Yang kurang juga dibidang peran institusi fungsi dan kewenangan di masing-masing level dan bagian. Itu juga kurang secara tegas dalam implementasinya sehingga banyak hal overlapping, kurang terdistribusikan secara merata, baik sesama NU di tingkat pengurus besar, dengan wilayah atau dengan perangkat, badan otonom, lembaga dan lajnah.

Bagaimana mengenai pencitraan NU dimata masyarakat?

NU secara umum lebih baik, lebih positif, tetapi ada beberapa hal yang harus terus diperbaiki seperti keberadaan sekolah dan perguruan tinggi milik NU. Ini bukan hanya terjadi pada periode ini saja, tetapi termasuk periode yang lalu. Ini yang harus kita atasi atau setidaknya ada tanda-tanda bahwa hal itu ke depan terwujud. Jadi kalau ini bisa diatasi, apa yang wujudnya terukur, apa di bidang pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, saya kira kita akan lebih baik lagi.

Disisi lain, kalau terjadi peningkatan kesejahteraan, akan mengalihkan fokus NU yang tadinya sangat politis, atau lebih banyak nuansa positif, seperti pilkada. Mungkin nanti isu yang berkembang tidak lagi itu, tetapi isu bagaimana kita lebih meningkatkan fastabiqul khoirat, meningkatkan dakwah yang bil hal, fil fiqli menjadi lebih seimbang.

Yang perlu diperhatikan betul merupakan dakwah, karena sebagai institusi keagamaan adalah bidang dakwah, tetapi yang perlu ke depan difikirkan adalah metode, cara, penyampaian, penyeruan kepada masyarakat harus berubah, tergantung pada kondisi sasaran yang ingin kita ubah.

Kedua,
sangat tergantung pilihan metodologi yang disampaikan, ketiga, perlu mempergunakan teknologi yang baru, misalnya untuk menggambarkan kebesaran yang maha kuasa, pencipta alam semesta, kemudian hukum mengenai waktu, itu kan hanya bisa dijelaskan dengan teknologi, dan saya kira, dakwah ini lebih bisa meyakinkan lagi bahwa ayat-ayat al Qur’an yang sering kita pakai tentang pembuktian kekuasaan Allah akan bisa divisualisasikan. Ini akan menarik lapisan masyarakat yang menengah ke atas, dan itu juga menjadi sasaran juga.

Tapi untuk masyarakat yang di bawah jika juga harus memberi parhatian. Seperti pada masyarakat yang di daerah terpencil, para transmigran, orang yang terpinggirkan, kaki lima, orang terlantar, saya kira mesti pendekatannya sosial, mungkin kita dengan memberikan perhatian. Yang paling murah, di tempat kumuh, ada relawan kita, anak-anak muda yang diatur dan difasilitasi oleh LDNU, mungkin 10-15 orang. Disisi lain mungkin ada daerah yang tidak terjangkau tangan pemerintah, kita berikan santunan dan pelayanan. Saya kira dakwah kita sangat variatif.

Sejauh ini kita kurang berhasil dalam menjangkau masyarakat perkotaan, komunitas kita lebih banyak di daerah pedesaan, apa ini diserahkan kepada ormas lain atau bagaimana?


Kita kan juga organisasi keagamaan, kita tidak bisa melepaskan mereka. Ngak bisa kita dianggap tradisional terus melepaskan mereka, terus kita meninggalkan masyarakat kota atau masyarakat menengah ke atas, tetap saja bahwa di sana harus kita sentuh sebab masyarakat kita juga sangat variatif, orang desa banyak, kota banyak dan itu harus tetap menjadi perhatian dakwah NU. Tiap segmen masyarakat yang menjadi sasaran harus digarap.

Ini tidak cukup lewat mimbar atau pidato-pidato, dan di latihan kader dakwah semestinya harus mulai dirubah, dengan menambahkan kemampuan mempergunakan teknologi, kemampuan memvisualisasikan tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga kita menerima secara rasional. Mungkin dengan berbagai dzikir, yang juga harus disesuaikan dengan kondisi. Dzikir di kampung dan di hotel kan juga berbeda. Saya kira lembaga dakwah, harus bertindak.

Tentang persoalan Islam transnasional bagaimana menghadapinya?

Ideologi transnasional yang berfaham keras atau yang bertumpu pada akal, itu saya kira masyarakat kita yang menjadi sasaran, tetapi ada juga faham yang masuk ke sini karena memiliki tujuan politis, misalnya ingin merubah negara. Ini juga tidak bisa dihadapi oleh NU. Organisasi keagamaan ini juga harus dihadapi bersama-sama dengan kekuatan nasional dan kekuatan politik yang lain karena itu menyangkut perubahan yang sifatnya nasional dan berdimensi politik. Kalau partai politik seperti itu semakin besar, kan menjadi masalah.

Dari segi ajaran juga begitu, faham internasional yang masuk ke sini, itu yang lama kelamaan akan menggerus tradisi keagamaan dan konsep berfikir NU. Ini berarti kalangan intelektual dan pemikir NU harus mengkonsolidasikan NU. Seluruh warga NU bertanggung jawab bagaimana mengokohkannya.

NU sebagai institusi tentu punya kewajiban untuk memfungsikan institusi dan sarana yang ada untuk memberikan respon yang tepat dan saya kira ini akan menjadi konsen muktamar.

Yang agak sulit, yang masuk ke NU karena sebagian dibawa oleh putra-putri NU sendiri dengan berbagai macam label, cover atau mungkin melalui LSM dan diskusi-diskusi. Ini harus menjadi kewaspadaan. Kita harus berhati-hati dan bersiap-siap untuk menguatkan ideologi. Bahkan kita harus menguatkan institusi NU supaya tidak terkena serangan seperti itu. Sebab kalau institusi NU kuat atau stabil, akan menjadi benteng untuk menyelamatkan ajaran NU.

Terkait dengan liberalisasi, banyak anak NU yang terlibat, mereka juga didanai asing?

Kalau dalam tanda petik ada keinginan untuk melakukan perubahan, fikiran an sich, semata-mata sebagai fikiran anak muda kita, mungkin bisa kita fahami dan mengerti karena dari dulu sikap anak muda selalu kritis, tetapi yang menjadi persoalan ini bukan murni fikiran mereka, tetapi mereka mengageni, membawa satu misi tertentu yang mereka sendiri tidak sadar sehingga NU menjadi obyek untuk kepentingan mereka sendiri dan menjadi kepentingan orang asing.

Kalau dia sekedar berbeda cara pandang dari generasi tua, dari dulu kiai muda yang menjadi tokoh NU juga berbeda tetapi perbedaan itu justru menguatkan karena kita bisa memperoleh kedalaman, tetapi perbedaan yang dibawa oleh kekuatan asing itu perbedaan yang menghancurkan karena memang tujuannya itu.

Bagaimana mengatasi pengambilalihan masjid yang sebelumnya menjalankan tradisi NU yang sampai sekarang terus berlangsung?

Betul, bahwa tentu mereka mengambil sasaran karena tahu, basis kita di masjid, majelis taklim disitu. Nah, selama ini kan kita yang mengurusnya, atau melakukan kegiatan tradisi keagamaan secara alamiah, jadi mungkin NU-nya juga NU biologis karena orang tuanya, keturunannya. Mestinya meningkat menjadi NU yang sifatnya ideologis, punya kesadaran dan keyakinan memang seperti itu.

Ini ke depan saya kira perlu kita benahi struktur kita, NU harus sampai ke bawah, kemudian kita kembali mengambil basis di situ, di desa, ada pengurus anak rantingnya, kemudian harus mengurus masjid di situ. Ini yang selama ini kurang diperhatikan. Jadi kepentingan kita membangun struktur NU sampai ke bawah, di samping menguatkan ajaran sampai ke bawah, tetapi juga kepentingan organisasi agar kebijakan dari tingkat pusat sampai ke bawah bisa sampai. Jadi kita bisa tahu perkembangan kehidupan keagamaan di tingkat yang paling bawah.

Masyarakat sekarang juga mempertanyakan ajaran NU seperti tahlil, mauludan dan lainnya?

Yang bingung itu karena menjalankannya hanya sebagai tradisi, bukan dipahami sebagai bagian dari ideologi ke-NU-an. Jadi disitulah perlunya dimensi pengorganisasian dari ideologi dan keyakinan agar ini menjadi kekuatan masyarakat, menjadi nilai dan faham dan masyarakat meyakininya. Inilah perlunya mentransformasikan keyakinan, mensosialisasikannya, menginteraksikannya dengan yang lain.

Kalau dengan organisasi kan lebih efektif dan teratur. NU kelemahannya belum menjangkau sampai ke sana. Dulu mengandalkan para kekuatan pesantren di desa-desa. Sekarang ini pertumbuhan masyarakat dan jangkauan pesantrennya tidak seimbang. Banyak masyarakat tumbuh dan berkembang, disitu tidak ada pesantren dan pendidikan agama. Itu di Jawa saja sudah begitu, apalagi di luar Jawa. Jadi ini sebuah problem besar. Jadi kalau NU mencita-citakan bisa melakukan konsolidasi sampai ke bawah, kita sebut NU menyongsong 100 tahun, NU harus kuat, itu tujuannya untuk menguatkan masyarakat.

Mungkin dari sudut pandang negara kesatuan republik Indonesia, ini untuk mengukuhkan kesatuan dan persatuan. Dari segi politik bisa meningkatkan demokratisasi, masyarakat bisa tercerahkan, bisa terberdayakan, kemudian tumbuh sebuah kekuatan masyarakat yang mandiri. Ini sumbangannya pada demokratisasi akan sangat baik. Jadi orang memilih tidak karena uang, tetapi secara rasional karena bisa menentukan si A dan si B karena pertimbangan untuk masyarakatnya. Saya kira ke depan masyarakat yang harus kita bangun harus seperti itu. Institusi nasional yang kuat, punya pijakan yang baik, punya nilai kemandirian. Ini masyarakat yang lebih punya moralitas, dan pegangan nilainya yang kuat. Ini akan memberikan warna pada Indonesia ke depan.

Mengenai masalah khitah, saat ini perlu dirubah karena situasi yang berubah atau sudah pas seperti ini?

Khittah itu kalau menurut saya tidak perlu ada pembaharuan. Kelemahannya pada sosialisasi. Kita kurang maksimal dalam mensosialisasikan apa yang dimaksud dengan khittah secara lengkap sehingga sering ditafsirkan khittah itu dengan partai politik atau rangkap jabatan, selalu dikaitkan itu, padahal ketika seseorang berperilaku, atau memegang kepengurusan kemudian tidak menjalankan fungsinya, dia melanggar khittah, karena khittah juga mengatur perilaku, pedoman untuk berperilaku, untuk bermasyarakat. Itu yang kurang dimaknai.

Ke depan saya kira khttah tetap menjadi pegangan kita, tapi harus diberikan pengertian yang lebih jelas, sosialisasi yang lebih efektif pada seluruh jajaran NU agar tidak dimaknai secara kurang pas, bukan sisi politiknya saja. Ketika seseorang melakukan atau memilih menjadi bupati, ukurannya khittah, padahal ini juga bisa digunakan seseorang dalam NU sebagai apa. Kalau seseorang selalu mencaci maki orang NU lainnya, kemudian bersikap negatif pada yang lainnya, sikapnya merugikan NU, ini juga khittah karena moral dan perilaku menjadi bagian dari khittah, apalagi kalau dilihat dari ajaran dan rujukan ahlusunnah wal jamaah, sampai kita pilihan tasawufnya pakai ini, mazhabnya pakai ini. Khittah ini menyangkut dimensi yang sangat luas, ini juga ukuran juga bagi pengurus NU.

Ada usulan AD/ARAT baru, untuk menjauhkan dari politik, mereka yang nyalon cukup mundur atau non aktif?


Kalau memang non aktif ya non aktif, ya jangan berbeda, kalau berhasil bisa terus, kalau tak berhasil harus mundur. Kalau kita sepakat orang yang dicalonkan di jabatan politik, harus mundur. Kalau aturan kita yang lama ya mundur, kalau lagi kampanye saja ya non aktif, kalau jadi, sebulan kemudian dipilih, harus mundur. Kalau pilih jabatan politiknya harus mundur.

Perdebatan kemarin kan kalau gagal harus mundur, kalau jadi boleh terus menjabat karena dianggap aset, tapi seingat saya aturan yang jadinya sama-sama, tetap mundur. Kalau gagal, kembali lagi ya boleh karena gagal.

Usulan sejak pencalonan harus mundur untuk menjauhkan NU semakin menjauhi politik?

Ya kalau saya cukuplah bahwa orang yang ketika masih kampanye non aktif saja, kemudian nanti kalau di jadi harus mundur.

NU diharapkan semakin menjauhi politik praktis, mengurusi kejamiyyahan, pesantren dan lainnya. Bapak pernah terlibat sebagai politik praktis, apa nanti tidak ada ketakutan terhadap politisasi PBNU?


Itulah yang tadi saya sebut rancu, harus ada ketegasan, apakah seseorang pengurus, misalnya dia secara pribadi memberikan dukungan untuk NU yang lainnya, itu harus tegas, kalau memang tidak boleh, katakan tidak boleh. Ini yang sekarang tidak tegas, sebab ada yang berfikiran, masak sebagai orang NU tidak boleh membantu warga NU lainnya, ini dianggap melanggar khittah. Tetapi kalau orang lain, mendukung yang lain lagi, ini dianggap tidak melanggar khittah, ini yang bikin rancu.

Misalnya dulu, taruhlah Pak Hasyim ikut Pilpres, ini dituduh melanggar khittah, menyeret NU ke politik. Mungkin betul kalau dilihat dari aturan main bahwa NU tidak boleh terlibat dalam politik praktis, tapi itu tidak jelas, ada juga fihak lain yang menyalahkan Pak Hasyim, padahal dia juga main yang sama, cuma beda yang didukung saja.

Ini menurut saya, kelak, diantara sesama orang NU harus ada kesepahaman tentang tindakan atau perilaku seperti itu jika itu menyangkut pengurus. Kalau dikatakan tafsirnya tidak boleh, maka semuanya sepakat tidak boleh. Maka kita harus efektif dan maksimal mamberikan penjelasan sosialisasi supaya diperoleh kesepahaman akan makna dari kalimat khittah itu. Selama ini tidak ada, orang menafsirkannya sendiri-sendiri. Kalau dipakai sendiri tak apa-apa, tapi ini dipakai untuk menyalahkan yang lain.

Jadi yang diperlukan sekarang bukan khittah itu perlu atau tidak perlu, dirubah atau tidak, khittah ke depan perlu disosialisasikan lebih luas ke seluruh lapisan warga NU bahwa khtitah begini….begini…sehingga nanti punya kesepahaman, oh begini tafsirnya sehingga akan mengurangi tafsir yang menyebabkan konflik ini.

Bagaimanapun NU tidak bisa tidak memikirkan peluang-peluang untuk para kadernya berkiprah di berbagai pilihan yang ada, termasuk menjadi pejabat. Yang tidak boleh kan terlibat sebagai institusi, tidak boleh menggunakan atribut atau sarana organisasi. Tapi kalau NU mengambil langkah-langkah untuk membangun sebuah iklim yang kondusif untuk kadernya berperan, saya kira harus.

Seandaninya Pak Bagdja terpilih dan diminta menjadi capres dan cawapres bagaimana?


Saya kira, buat saya, kepentingan NU lebih penting. Jadi itu nanti sangat tergantung kepada NU sebagai institusi, seperti sekarang, saya ikut nyalon menjadi ketua umum NU itu bukan mimpi saja, tetapi karena banyak teman, di wilayah dan cabang mendukung, kalau NU-nya berubah begini, kalau ke depan syuriyahnya diperkuat dan tanfidziyahnya sebagai pelaksana, saya siap. Tapi kalau orang berfikir NU ke depan ya seperti sekarang ini, model seperti saya tidak cocok. Saya tak ada persoalan, saya ngak ambisi apa-apa, yang saya inginkan selama 25 tahun mengabdi di NU itu, NU harus lebih kuat, saya ingin NU lebih baik. Cuma saya tidak tahu, saya tidak berfikiran nanti ada peluang jadi wapres atau presiden, tak terfikirkan begitu.

Semuanya saya terserah NU, sekarang orang NU mau milih saya atau tidak, terserah, tetapi kalau dipilih dan jadi, saya akan bekerja maksimal. Tiap periode, sejak zaman Gus Dur, saya katakan, saya tidak bisa ngurus sesuatu jika memang tidak mampu, meskipun disuruh siapapun. Makanya disini, di NU, mulai zaman Gus Dur, saya tidak pernah minta, tolonglah saya masukkan jadi pengurus, saya tidak pernah minta jabatan, saya kerjakan saja. Kalau saya mungkin pada suatu saat tidak bisa datang, mungkin sedang mengerjakan yang lain, sesuai dengan kemampuan saya. Ini supaya saya ber-NU dengan senang, tidak ada beban. Jadi yang saya lakukan yang saya senang dan bisa, kalau tidak bisa ya diserahkan ke orang lain yang bisa, meskipun secara pribadi bisa mendatangkan keuntungan material, saya tidak berfikir begitu kalau bisa membebani saya.

Mungkin kelihatannya datar saja, tapi ngak apa-apa, ada orang yang menggebu-gebu. Saya ngak popular, ngak papa. Ada orang tanya, “Kok bukannya pak Bagdja yang tampil di TV, kok malah yang lainnya.” Ngak papa, saya ngak suka diseret-seret tampil di TV, saya ngak mau juga, biarin saja,

Saya ingin melakukan sesuatu di NU yang saya bisa supaya senang, supaya saya merasa tidak dipaksa oleh siapapun, baik oleh ketua umum sekalipun. Dari zaman Gus Dur sampai Hasyim Muzadi, saya kerjakan apa yang bisa saya kerjakan. Dan kalau saya tidak bisa karena waktu atau tidak memiliki ketrampilan di situ, saya katakan tidak bisa, ini bisa menjadi beban. Saya ingin falsafah hidup saya, mengerjakan sesuatu tidak membebani hidup saya sebab sayalah yang paling tahu dengan diri saya dan sayalah yang akan bertanggung jawab terhadap diri saya. Jadi saya ber-NU, kalau membebani, itu buat apa. Saya pilih saja yang lain. Kemudian kalau saya fikir, saya bukan orang pinter, bukan orang berilmu, tidak memiliki kekayaan yang bisa dishodakohkan, punya ilmu yang bisa diajarkan, terus saya bisa melakukan sesuatu kemudian ada manfaatnya, itu akan membuat saya senang.

Saya menikmati jadi apa saja, begitu saja. Ditanya kenapa ngak muter-muter kampanye, cerita segala macam. Saya bilang saya melakukan sesuatu yang bisa saya lakukan, saya tidak akan mengikuti orang. Kalau saya bisa pergi ke tempat lain untuk bercerita tentang NU, saya pergi, kalau saya tidak bisa pergi, ya tidak bisa, buat apa lagi, “Kalau begitu nanti tidak jadi,”, “Ya nga pa-pa. ngak ada beban buat saya” saya ngak pernah ada stress. Saya tidak pernah ingin dirugikan tindakan saya sendiri, apalagi tindakan orang lain. Jadi tidak ada orang lain yang punya hak, atau saya selalu memilih membentengi diri jika berinteraksi dengan orang lain menjadi beban. Jadi kalau seseorang menceritakan begini, karena bukan untuk saya, dan bukannya dia tahu apa yang dia lakukan untuk dia. Begitu saja karena Allah mengajarkan begitu, buat apa ribut-ribut dengan kata orang, apalagi menghantam dengan membalas, lihat saja tidak pernah. Mungkin kalau kelakar disini, ngobrol, mengomentari, sahut-sahutan, tetapi kan tidak dalam rangka saling menyalahkan.

Kembali lagi ke yang tapi (soal pencapresan), sepenuhnya sangat tergantung pada NU, yang karena nanti yang akan memimpin, yang menjadi sumber kebijakan adalah para ulama di syuriyah, kita akan tunduk pada keputusan syuriyah, seperti apa ia akan menafsirkan kondisi dan situasi 2014 sebab saya berani mencalonkan diri sebagai ketua umum kalau kondisi dan situasinya, imamnya adalah syuriyah. Kalau itu, saya mau, tetapi kalau seperti yang lama, seperti pak Hasyim atau Gus Dur, itu bukan wilayah saya.

Konflik PKB kan selalu merepotkan NU, jadi selama ini, PKB dilahirkan NU, dan banyak orang yang meminta NU terlibat?

Ini tergantung keputusan muktamarnya, ada tidak yag bisa kita pegang yang ada hubungannya dengan partai politik. Kalau di draft yang sekarang tidak ada, tetapi bisa saja dimunculkan di muktamar. Sebagai pimpinan organisasi, kita akan tunduk, tapi sebagai pribadi, saya melihat PKB itu, sudah jauh, sudah tidak lagi berpijak pada semangat atau nilai ketika PKB didirikan.

PKB didirikan untuk kepentingan perjuangan NU, untuk memperjuangkan aspirasi nahdliyyin. Karena apa, karena perjuangan jalur politik itu tidak bisa dilakukan NU langsung, tidak bisa dilakukan NU sebagai jamiyyah, jadi dibutuhkan institusi politik berupa partai untuk menyalurkan kepentingan NU di bidang itu. Tetapi kenyataannya sekarang, PKB itu tidak lagi memikirkan NU, tidak lagi melandaskan dirinya pada aspirasi itu, bahkan NU dipakai saja, kalau ada ribut minta tolong, tapi kalau sudah lancar sama sekali tidak nyentuh NU. Apalagi sekarang, mereka berpendapat orang luar tidak perlu ikut-ikut. Dia merasa bahwa yang sekarang mereka capai, yang suaranya melorot itu sebagai hasil kerjanya. Jadi sama sekali tidak menghitung ini merupakan pilihan warga NU, atau kerja caleg NU yang berusaha menghimpun suara, bukan hanya dari pengurus yang menikmati sekarang itu. Ini kan hasil akumulasi para caleg yang ada disitu, tentu tokoh NU yang di bawah masih memiliki perhatian.

Kalau kondisinya seperti ini, sangat mungkin muktamar tidak akan memberikan tempat untuk memberikan peluang kepada PKB yang merupakan bagian dari sayap perjuangan NU, kecuali PKB sendiri merubah kesadarannya. Mereka kembali kepada fitrahnya untuk memperjuangkan kepentingan ummat.

Saya tahu persis karena saya mengikuti perkembangan berdirinya partai itu, tidak hanya mengikuti, tetapi saya juga memprakarsai pertemuan-pertemuan, konsepnya, fikiran yang berkembang di seputar itu. Kemudian kita mencoba merumuskannya yang sekarang menjadi pegangan PKB, jadi saya tahu kalau sekarang sudah melenceng terlalu jauh. Jadi buat apa kita fikirkan kalau mereka yang ada di sana sendiri menganggap tidak perlu untuk kembali lagi pada asal kejadiannya.

NU memiliki umat yang sangat banyak dan banyak aspirasi yang harus diperjuangkan, lalu bagaimana, bikin partai baru, atau ada alternatif terbaik?

Ini saya kira belum ada jalan keluar yang bagus, sebab adalah juga kenyataan, warga NU yang besar dan banyak juga menjadi rebutan kekuatan politik yang lain untuk menjadi pendukung, bahkan disisi lain jangan-jangan NU dikehendaki tidak solid sehingga warganya tidak bisa dipakai politik lima tahunan. Sangat rasional pendapat seperti itu, karena politik bisa saja berlaku seperti itu. Ini kan menggalang dukungan murah karena orang NU ada di mana-mana, dan pakai orang NU lagi yang dibayar atau diberi fasilitas. Itu kalau kita tidak berhasil membangun institusi politik yang punya kapasitas untuk mengakomodasikan kepentingan NU.

Pertanyaan berikutnya, apakah ada peluang PKB untuk bisa kembali menjadi alat politik dan penyalur aspirasi warga NU ataukah membiarkan saja kalau PKB tidak bisa diurus, ya biarkan saja warga NU menjadi dalam tanda petik, sasaran kekuatan politik lain sehingga kita menjadi obyek, bukan subyek untuk melakukan perubahan.

Mendirikan partai lain, fikiran seperti itu juga banyak, tapi kalau kita juga tidak punya kemampuan membesarkannya karena juga tidak gampang dan butuh persiapan yang matang dan tentu ada modalnya, jangan-jangan bisa menimbulkan konflik baru, partai lama tidak mati, tetap hidup, partai baru muncul, kita tahu ada PKNU, secara konstitusional hidup, tapi tidak berperan seperti yang dikehendaki, sedangkan PKB juga hidup, untuk memenuhi fungsi formal partai, tak bisa dilakukan sebagai alat perjuangan, kalau kita dirikan yang baru, bisa saja, tapi mungkin juga menjadi masalah juga, jadi makin banyak. Ini dilematis. Sampai hari belum terumuskan bagaimana akan dilakukannya,

Di beberapa tempat ada beberapa kelompok potensi warga NU yang belum dapat ditemukan cara menyapanya agar potensi ini bisa efektif untuk perjuangan, pertama adalah potensi politik, kedua potensi para pengusaha sebagai bagian dalam membangun masyarakat yang sejahtera, ini membutuhkan berbagai pendekatan. Kita kan harus memikirkan warga NU yang memiliki jariangan internasional, potensi dalam berbagai bidang, ekonomi, ekspor-impor, perdagangan, keuangan, perbankan. Kalau kita jeli menyelusuri, saya kira banyak dan bisa menjadi modal dasar titik tolak kita mengakses ke sumber ekonomi yang selama ini sangat gelap.

Ketiga, orang NU yang tersebar di birokrasi, LSM, aktifis di berbagai lembaga, ini menyentuhnya bagaimana, menyapanya bagaimana, membikin jaringannya kayak apa, sebab mereka juga tidak mau disebut bukan NU, sebab kemana-mana sering merasa tidak diajak. “Kok kita dilupakan, dan seterusnya” tetapi bagaimana mengajaknya karena mereka tidak mau terlibat langsung karena mereka profesional, sudah sangat mapan ditempatnya, tapi ingin berbakti pada NU. Ini yang sering saya tawarkan, tolong dibicarakan model pendekatan jaringan untuk menghimpun kekuatan NU yang besar sehingga ke depan, kekuatannya bisa maksimal.

Kita tidak akan mampu mengakomodasi kekuatan NU yang besar ini dengan membentuk lembaga-lembaga baru di NU, malah akan semakin tidak efektif jika pendekatannya struktural, jadi pendekatannya potensi. Jadi potensinya apa saja, kita bikin model pendekatannya seperti apa, jaringan, komunikasi yang efektif, penyapaan melalui program tersendiri. Ini yang belum kita ketahui, termasuk didalamnya para politisi.

Hubungan NU dengan pemerintah bagaimana?

Hubungan NU dengan pemerintah tentu kita pakai pedoman amar makruf nahi munkar, kita mengkritisi, memberi koreksi, siapapun, kalau menyimpang kita tegur, kita berikan koreksi, kalau lurus kita dukung. Tentu caranya sebagaimana cara kita, ada yang melalui saluran institusi yang ada, dengan pernyataan sikap, bertemu langsung, atau penyaluran aspirasi dari berbagai komponen warga NU. Itu semua kan alat untuk mengungkapkan pandangan kita atau respon kita terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Khusus tentang negara kesatuan, tidak ada komprominya, inilah negara yang kita yakini. Para kiai telah menetapkan bentuk negera ini final, tapi untuk pemerintahan, baik itu eksekutif, legislatif atau yudikatif, jika mengukuti aturan yang ada, kita akan memberi respon, kalau ada penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan atau melanggar hukum tentu kita memberikan koreksi. Kita menyampaikan secara lisan sampai memberikan fatwa, tergantung masalahnya.

Ada potensi NU menjadi oposan seperti zaman Gus Dur.?

Saya kira bukan oposan, yang memposisikan NU sedemikian rupa kan rezim juga, dan kita kan cuma bertahan dari tekanan rezim yang represif itu. Sebab apa kita bertahan, karena kita kekuatan masyarakat, kekuatan faham, kekuatan nilai yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia, Jadi ketika ada kekuatan menekannya, apa itu pemerintah atau bukan, tentu kita akan bertahan. Jadi posisinya disitu tidak pernah ada istilah jadi oposan. Kita adalah potensi masyarakat yang ingin tumbuh dan berkembang, memberikan kontribusi sebaik mungkin, baik itu ekonomi, politik, sosial, budaya dan terbukti sejak negara kita didirikan konsistensi kita terhadap negara kesatuan dapat diuji. Dan ketika dapat tekanan, dialienasi, dipinggirkan, disudutkan ya kita bangkit. Gus Dur sebagai pelopornya bangkit dengan mengusung demokrasi, kesetaraan, dengan kekuatan pemikiran anak muda dan seterusnya. Saya kira ini sebuah reaksi. Bahwa dia berbeda dengan pemerintah, otomatis karena yang menekan adalah pemerintah. Jadi tidak ada kamus oposan atau bukan oposan, kita menjalani perinsip amar makruf nahi munkar, ketika eksistensi kita terganggu, kita aktif mempertahankannya.

Fokus garapan NU ke depan sesuai dengan kebutuhan yang akan datang?

Itu tetap saja tiga bidang, ada pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Di bidang pendidikan ada beberapa tahap, yang pertama, kita ingin ada proses labelisasi, jadi supaya ada syiar, kemudian legalisasi aset NU diurus kepemilikannya sedemikian rupa, ketiga, akan menambah lagi, kalau di tingkat PBNU ada perguruan tinggi yang layak dan pantas.

Kalau kesehatan, mungkin, yang kongkritnya saya belum tahu, juga akan menjadi perhatian. Beberapa daerah yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, responnya bagus. Mereka memiliki rumah sakit atau klinik. Muslimat punya pelayanan kesehatan yang juga bagus, dari mulai pelayanan balita sampai dengan rumah sakit bersalin. Jadi ke depan kita akan mendata secara lengkap potensi kita apa saja, jadi gampang, kalau sudah ada tipe sekian, rujukannya tipe yang lain. Nanti daerah lain rujukannya ke situ.

Mungkin daerah lain model asuransi, tentu dicari yang dibenarkan syariah sehingga warga NU bisa dicover. Kalau dibiayai sendiri kita kan susah, kita akan menggali dari bawah kemungkinan atau potensi untuk itu. Dugaannya tak terlalu sulit, karena masyarakat kalau iuran lima ribu, pedagang rokok atau rakyat kecil lain akan mampu asal dia benar-benar diberikan layanan kesehatan. Kalau jumlah tertentu, ahli asuransi akan hitung, sekian juga misalnya dan berapa tahun bisa tercapai. Asal diselenggarakan secara professional. Lembaga kesehatan mungkin hanya melakukan koordinasi pengaturan administrasi dimana proyek itu bisa jalan.

Kalau ditingkat pengurus besar, akan melanjutkan penggarapan tanah wakaf yang sudah ada karena kita sudah memiliki beberapa ribu hektar. Mungkin akan diperluas lagi di daerah lain. Kita carikan biayanya untuk hak pakai karena ada biaya pengembalian ke negara. Nanti daerah yang menggarap,

Di berbagai daerah, mereka menawarkan tanah yang begitu luas, misalnya di Gorontalo dengan jagung. Sayang kita tidak bisa memberi respon secara cepat padahal bibitnya sudah diberi secara gratis, karena untuk mengurus pakai uang, sementara kita juga terbatas. Kita juga cari investor, tetapi mereka kan juga pilih-pilih, tetapi kita tetap berusaha mencari dengan menghimpun pengusaha kita.

Ketika NU dibuka akses ke dunia usaha, saya kira akan lebih punya arti, kita akan terus mendorong upaya ini. Jadi nanti ke depan, kalau kita koordinasi dan rapat dengan wilayah, tidak lagi membicarakan isu, nanti akan cerita laporan tentang program, mungkin masih ada isu, tetapi kecil saja, kita cerita sekolahnya NU atau rumah sakitnya NU sehingga diharapkan lebih efektif. Tapi ini juga tergantung PBNU yang akan datang, ketua tanfidziyahnya datang untuk bekerja.

Terkait dengan pesantren, kan banyak tantangan baru, termasuk turunnya
peminat di pesantren, padahal inti NU kan pesantren?


Menurut saya ternyata di tempat lain pesantren, pelan tapi berkembang, keinginan mendirikan pesantren tinggi, cuma mereka tak akan sehebat di Jawa karena penduduknya banyak, tetapi tetap bersemangat semangat mendirikan pesanten. Jadi kita mendorong mengkonsolidasikan NU di luar Jawa dengan mendirikan pesantren.

Boleh jadi di satu tempat minatnya turun karena ingin menempuh pendidikan yang lebih umum atau bahkan sekolah ke luar negeri, pulang ke sini sudah merasa lain sudah merasa pinter, kiainya sendiri disalahkan.

Yang perlu diperhatikan, disamping tetap mempertahakan model pengajaran yang ada karena sangat baik dalam membangun hubungan guru dan murid sebagai komunitas. Ini yang menjadikan NU kuat, bahkan hubungan kekerabatan murid yang menjadi menantu kan mengikat, bahkan mengikat Indonesia. Ini sesungguhnya tidak boleh dirubah, tetapi tetap diperbaharui dengan metode baru.

Bahwa cara lama banyak diambil alih oleh orang non NU, seperti kitab kuning yang diterjemahkan, sehingga bisa dibaca. Saya kira itu tidak menjadi saingan buat pesantren. Saudara kita di kampung, anak kecil tetap dikirimkan ke pesantren. Tetapi jika dibandingkan dengan penduduk kita yang semakin banyak, yang masuk ke pesantren semakin kecil karena penduduk kita semakin banyak. Sekolah dimana-mana ada, sekarang di satu desa SD ada dua, dulu SD adanya di kecamatan. Belum swastanya, sehingga masuk ke pesantren kelihatannya kurang. Sebetulnya bukan kurang, karena banyak variasi pilihan.

Kiai-kiai yang asalnya dididik di sini (Jawa), kalau kita ketemu dalam konferensi wilayah di luar Jawa sudah pada punya pesantren. Tidak ada pengurus wilayah, terutama syuriyahnya yang tidak punya lembaga pendidikan, meskipun yang disebut lembaga pendidikan oleh mereka sebuah gubuk pakai atap, ya disitu, dan yang ngajari orang disekitar itu, 40-50 orang, tetapi fungsinya sama karena memang rakyatnya kecil. Dan mereka juga dihormati sebagai kiai karena ilmunya. Mungkin akan ada perubahan, tetapi kita tak perlu khawatir.

Kemarin kita ke Aceh. Selama ini yang memimpin NU di sana lebih dikonotasikan sebagai para birokrat, jadi pesantren, dayah, para abu tidak tersentuh. Kemarin itu berubah. Sejak tsunami, pendekatan kita dalam memberikan bantuan pada korban tsunami kan melalui jalur pesantren. Kita datang ke pesantren, bantu anak asuh pesantren, bahkan kita bangun pesantren sehingga bangkit. Kemarin dalam konferensi wilayah, pertarungan antara pesantren dan non pesantren 9-9, bayangin. Kemudian diulang, yang menang kelompok pesantren, mereka sampai menyebut Pak Bagdja telah menyelamatkan NU Aceh dua kali, pertama sehabis Abu Hasan, saya datang ke situ sehingga pendukungnya tersingkir dan sekarang NU dikembalikan lagi pada para kiai.

Tapi teman-teman yang diluar pesantren, karena juga alumni PMII, baik pejabat birokrasi, Kanwil Depag, pejabat dinas, partai, atau mantan anggota DPRD, mereka tetap komitmen membangun NU. Jadi disini kelihatan potensi pesantren yang ada ketika NU-nya ngurusi. NU-nya bangkit kembali, kekuatan pesantren bangkit lagi sehingga bisa seimbang lagi antara kepentingan dunia pesantren dan lain.

Di Manado, ada sebuah pesantren Pondok Karya namanya. Tahun 1978 saya ke situ, tahun 1985, setelah muktamar Situbondo, saya juga ke situ. Kenapa dipakai nama Pondok Karya, supaya tidak diambil alih oleh Golkar, baru sekarang saya bisa melihat kecerdikan ini, mereka juga tumbuh.

Untuk kondisi Manado dimana masyarakat masih seperti itu, pesantren meskipun kecil dibanggakan. Di tengah komunitas non muslim ada lembaga pendidikan Islam. Memang disana ada komunitas kampung Bugis atau kampung Banjar, yang merupakan komunitas muslim. Saya pernah datang ke kampung Banjar, tapi mereka kan tidak punya lembaga pendidikan, tetap saja perlu. Mereka mau bertahan dan bergerak di tengah tekanan segala macam.

Mungkin ke depan karena di luar Jawa itu tanah relatif lebih murah, mereka akan kita ajari bagaimana mengembangkan potensi yang ada. Mereka tidak bergerak karena tidak tahu caranya harus mendekati siapa, misalnya ada teman-teman DPR NU, atau orang lain yang simpatik. Contohnya NU Riau yang telah mendapat beberapa, milyar dari pemerintah daerah, kantornya bagus, sekolahnya juga bagus. Ini soal pendekatan.

Masalah hubungan NU dengan badan otonom yang tidak selalu harmonis?

Kita akan atur, pertama kita tetapkan definisinya, aturan mainnya harus terkait. Di pasal anggaran selalu ada pasal yang mengikat, antara lain aspirasi kongres mereka, terutama kepengurusan harus mendapatkan persetujuan dari NU di tingkatannya. Keputusan dan kebijakan NU juga harus dijalankan. Juga ada poin rais syuriyah punya wewenang untuk menganulir.

Cukup mengatur kembali?

Tinggal sekarang bagaimana badan otonom itu mengatur atau menerima dengan sikap terbuka aturan ini, karena tetap saja, badan otonom bisa arogan, kok ngatur-atur saya. Badan otonom di NU itu beda dengan badan otonom dari organisasi di luar NU, mereka ada karena ada NU-nya.

Pengkaderan NU ke depan?

Ini jadi prioritas kita, tentu kita siapkan pedomannya. Yang jadi soal kita kader model apa yang menjadi dambaan. Pertama, kader yang memang dibutuhkan untuk mengelola organisasi, kalau itu kan sifatnya ketrampilan memimpin, menyusun program, mencapai target, mempengaruhi orang. Tetapi juga ada kepentingan untuk menguatkan ajaran kita. Ini saya kita sebuah pendidikan kader yang ditujukan untuk menguatkan ideologi. Jadi ada yang dimensi ideologinya supaya NU-nya kuat. Jadi yang dilahirkan dari situ, dia punya ketrampilan mengurus NU, tetapi semangat NU-nya tak luntur.

Sekarang ini kan, misalnya anak saya, ber-NU-nya tidak sekuat saya. Anak Pak Hasyim juga begitu, kenapa kita kuat, karena ikut proses training, jadi NU-nya betul-betul. Jadi NU biologis menjadi NU ideologis, bahkan sekarang menjad NU gila, karena kata Gus Dur kalau sampai malam-malam belum pulang itu NU gila.
Jadi pengkaderan saya kira begitu, akan menjadi prioritas. Selama ini pengkaderan dilakukan badan otonom, khususnya Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU dan PMII. Penglihatan sementara, fungsi ini tidak efektif, Muslimat tidak efektif mengkader Fatayat, Ansor apalagi sudah lupa, kalau ada latihan kader itu sifatnya sudah sangat politis. Kemudian IPNU, masih ada tapi mungkin kurang memberikan bobot kepada ideologi ke-NU-an. Sekarang kajian pengkaderan kan yang dikaji ideologi dunia, pengaruhnya globalisasi, liberalisasi, demokratisasi, HAM, kan gitu sehingga NU-nya hilang, yang muncul diucapkan kader kan kata-kata seperti itu. Karena ketika kader, dia disuapinnya itu, ideologi besar dunia dan melupakan aswaja karena sudah dianggap dipunyai.

Ada orang yang tiba-tiba jadi pengurus tanpa pernah mengalami pengkaderan?

Ini sekarang lebih rinci, syarat menjadi pengurusnya lebih rinci, jadi berjenjang, ini akan menjadi syarat, jadi orang yang duduk di cabang, harus mengikuti proses itu, jadi ketahuan, pernah mengurus apa, akan jadi syarat. Sekarang kalau mensyaratkan itu, proses pelatihannya tidak ada. Makanya sangat mungkin orang masuk pengurus NU orang yang tidak jelas, saya pernah menghadiri rapat di salah satu cabang Sumatra Utara, kemudian ada orang yang berbicara, yang tak ada kaitannya dengan NU, tak ngerti istilah syuriyah dan tanfidziyah, terus saya bertanya, ternyata wakil ketua cabang yang dulunya ketua KNPI, jadi ngak tahu NU, ya mungkin mereka diangkat karena saudaranya.

Dikotomi NU kultural dan struktural bagaimana?

Menurut saya tidak ada. NU itu dia bergerak di masyarakat, tumbuh dari faham keagamaan dalam interaksi dengan orang NU, dan NU yang organisasi datangnya dari situ. Sesungguhnya pengorgansiasian ini untuk menguatkan, melanggengkan nilai-nilai ajaran. Jadi yang kultural itu bergerak lebih leluasa karena sifatnya yang bebas karena disitu kan lebih merasa ber-NU ketika melaksanakan tradisi keagamaan. Orang NU karena tahlil, manakiban, bahkan orang menyebut NU kultural lebih tak terhitung daripada NU struktural. Ini kekayaan kita.

Yang menjadi persoalan, dibentuknya struktur, tidak boleh mengurangi fungsi dari kekuatan kultur. Sebaliknya kultur kita, sekaya apapun, sebervariasi apapun, tetap tidak boleh tidak, adanya pengaturan-pengaturan, hubungan -hubungan yang diatur berdasarkan struktur. Misalnya di daerah ada majelis taklim, tradisi keagamaan ini akan lebih kuat kecenderungannya kalau disitu ada organisasinya. Mendirikan masjid, musholla pesantren akan lebih baik kalau ada organisasinya. Jadi kultur sendiri kekuatan, tapi untuk lebih kuat lagi, apalagi kalau mau ditransformasikan nilai-nilai itu melalui struktur.

Jadi keliru kalau mempertentangkan NU kultural sama NU struktural. Dan ketika NU struktural sebagai pengurus, dan ada yang diluar pengurus dan disebut NU kultural, bedanya bukan substansi antara kultur sama itu, sebab yang orang struktur juga melaksanakan kultur seperti itu dan orang yang dikultur juga taat pada kultur, pada hal-hal seperti itu.

Ada keluhan kultur aspirasinya kurang diakomodasi.

Itu bisa terjadi, tetapi bukan berarti pertentangan. Oleh karena itu yang kita ingin bangun ke depan adalah jamiyyah kita yang kuat, yang solid, yang fokus pada bidang-bidang yang digarap supaya bisa menyerap aspirasi masyarakat lebih luas. Sebab kalau tidak di benahi, kita tidak bisa sampai ke ranting. Siapa yang akan memperjuangkan orang di desa, atau memberikan pelayanan di sana. Ada yang mengajarkan ngaji, mungkin orang per orang, tetapi kalau distrukturnya jalan, kan lebih kuat. Kita juga bisa mempergunakan fasilitas pemerintah. Kalau kultural saja susah memperjuangkan bagaimana membangun mushola atau masjid ke depag atau ke bupati. Ini saya kira perlunya struktur dikuatkan sampai ke bawah terus efektif.

Ide penguatan syuriyah ini bagaimana?

Bukan penguatan dalam arti syuriyah belum kuat, bunyi aturannya begitu, AD/ART NU mengatakan yang memimpin NU syuriyah, yang mengendalikan syuriyah, yang menentukan arah kebijakan NU syuriyah, yang terdiri dari ulama terpilih. Jadi kalau isu kita sekarang, maka ulama, syuriyah, harus kembali memegang kendali, bukan dalam pengertian teks, tapi dalam pengertian praktek yang selama ini kurang berjalan. Pertanyaannya gimana supaya rais atau kiai itu betul-betul memimpin.

Nanti di tingkat syuriyahnya sendiri terjadi pembagian kewenangan dan tugas yang jelas, misalnya syuriyah A ngurus fikih, sehingga di tahu, kalau ditanya nikah siri bagaimana hukumnya, kemudian, ada pula yang khusus pada urusan pemerintahan, kebangsaan, mereka yang akan berbicara tentang kasus Bank Century. Mereka adalah ahli tata negera sehingga bisa ngomong dengan tuntas. Kemudian tentang PKB, ada ahli ahli politik yang mengatakannya, menurut saya begitu.

Syuriyah itu, karena syuro, karena majelis maka sifatnya kolektif, tinggal diberikan instruksi yang jelas, tertulis dan praktis. Ada mekanisme di rais yang memberikan iklim praktek pemimpinnya jalan. Sekarang tidak ada lagi rais aam tunggal karena tidak menemukan kiai tunggal seperti KH Ahmad Siddiq atau KH Hasyim Asy’ari. Tak perlu nunggu dawuh rais aam. Sekarang supaya efektif, ngak usah begitu, kolektif saja, rais aam tetap ada, tetapi fungsinya lain, menjadi pendinamisir saja, membagikan tugas dan wewenang, “Sudah sampean atur, semua ada di situ,” tentu administrasinya katib aam yang mengatur segala sesuatu. Konsekuensi logisnya, tanfidznya harus berubah, betul-betul pelaksana, eksekutif, manajerial, mengurusi manajerial.

Ini terkait dengan ide tanfidz manajer?

Artinya pelaksana, melaksanakan program yang tadi saya gambarkan, apa namanya, itu mengurus rapat-rapat koordinasi dengan badan otonom, lajnah, membenahi strukrur sampai ke bawah, menentukan program prioritas yang terukur dan bisa dievaluasi dan tidak lagi mengomentasi isu yang berkembang.

Yang saya sering katakana kepada teman-teman NU di bawah, kontribusi tanfidz kepada NU yang akan datang, atau pengorbanan, dengan memberikan peluang dan iklim yang sehat untuk berfungsinya rais. Sebagaimana lazimnya kiai, mereka alim, tidak mungkin menonjol, ngak mungkin berebut, ngak mungkin mau tampil. Tugas tanfidz hendaklah mendorong dan menciptakan iklim agar kiai bisa bertindak dan melakukan fungsinya. Kalau fungsinya diambil orang yang tidak tahan dengan popularitas karena ingin tampil di TV dan koran, rais tidak akan jalan lagi. Saya anjurkan begitu, anda kalau mau, untuk satu periode, kiai yang memimpin, ini yang akan menyatukan kita dan ini yang paling murah.

Tanfidz itu seperti raja-raja kecil, apalagi di luar Jawa, rais cuma dimintai tanda tangan, diajak rapat juga tidak. Kalau anda mencintai NU kita harus merubah, tetap saja, ada manfaatnya, anda akan tetap memiliki fungsi luar biasa, seperti mendirikan dan membangun sekretariat untuk kantor, ini yang harus fokus anda kerjakan. Di daerah lain bisa mendirikan kantor, mengapa anda tidak.

Ketua tanfidz harus siap untuk tidak populer?

Menurut saya, tetapi saya tidak tahu mereka siap atau tidak, kalau mereka sepaham, itu mengatakan saya cocok sebagai ketua umum. Kalau mereka sepaham, saya akan terpilih, kalau tidak berarti mereka belum sepaham.

Jadi perubahan dilakukan di PBNU dulu sebagai role model?


Ya, kita kan masih melihatnya ke atas dan mensosialisasikannya gampang. Jadi para rais itu ke bawah akan mensosialisasikan kebijakan NU. Sekarang yang efektif melakukan kan tanfidz, rais yang datang jarang sekali, mereka harus memimpin ummat.

Hubungan antar agama kan sudah cukup bagus, NU dianggap payung kelompok minoritas, apa ini sudah cukup tepat?


Ke depan kita akan memelihara hubungan yang baik, mungkin pada beberapa kasus tertentu perlu lebih solid lagi. Kita di tingkat internasional kan baru memiliki jalur. Ini tidak cuma butuh pengorbanan besar, tetapi perlu biaya besar dan kita tidak ingin di kendalikan. Kalau biayanya mau, cukup banyak yang mau membiayai, tapi dikendalikan. ICIS bisa dikooptasi asing, bisa dipakai menekan Iran, atau syiah. Sekarang kita bebas karena independen. Kalau sudah antar agama, kalau sudah ke Vatikan kan gampang. Tetapi NU-nya harus kuat dulu, sebab ini bisa ditafsirkan dengan tafsir yang merugikan. Kalau tidak tahu arahnya kan bisa berkomentar negatif, misalnya kita mengundang syiah, bisa saja mereka berkomentar, apa ini syiah, karena tidak tahu duduk soalnya. Ya kan, ini yang nanti perlu NU-nya yang solid sehingga komunikasi yang jalan sehingga mereka yang bicara ke bawah antar kiai. (mkf)

Daftar Riwayat Hidup

Nama: Ahmad Bagdja
Tempat tanggal lahir: Kuningan, 13 Maret 1943

Keluarga
Isteri: E. Kustiri (nikah 1970)
Anak:
1. Yanuar Prihatin
2. Ashari Aditya Candra
3. Teddy Hikmat Takdiransyah
4. Endah Futihatul Fajriyah

Pendidikan


1. SD Tahun 1958 (Kuningan)
2. SLTP Tahun 1961 (Cirebon)
3. SLTA Tahun 1964 (Bandung)
4. IAIN Tahun 1969 (Jakarta)
5. IKIP Tahun 1971 (Jakarta)

Pekerjaan

1. Guru : 1965-1970
2. PNS (Depag) : 1970-1980
3. Komisaris PT. Trijasa Dharma 1980-1984
4. Wakil Direktur PT. Duta Dunia Perintis (Owner BPR Nusuma) : 1989-1992
5. Dirut Utama PT. Duta Dunia Perintis : 1995-1999
6. Anggota Lembaga sensor film: 1996-1999, 1990-2002, dan 2006- 2009
7. Penasehat induk koperasi “Syirkah Mu’awanah” : 1999- 2003
8. Wakil ketua dewan pertimbangan agung RI / ketua komisi kesejahteraan rakyat DPA-RI : 1999-2003

Organisasi

1. Pengurus G.P Ansor Wilayah DKI Jakarta: 1965-1967
2. Ketua PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) DKI Jakarta: 1968-1970
3. Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta: 1970-1972
4. Sekjen Badan Kerjasama Mahasiswa IKIP Seluruh Indonesia: 1972-1975
5. Sekjen PB PMII: 1973-1977
6. Ketua umum PB PMII: 1977-1980
7. Ketua alumni PMII 1988-1999, 1999-2007
8. Wakil sekjen PBNU: 1984 -1994
9. Sekjen PBNU: 1994-1999
10. Ketua PBNU: 1999 – sekarang

Lain-lain

1. Anggota tim penyusun khittah NU (Abdurrahman Wahid, Mahbub Junaidi, Fahmi Saefuddin, Zamroni, Said Budaery, Ahmad Badgja dan Danial Tanjung)
2. Pendiri Bank Syariah Mandiri
3. Ketua tim penyusunan pertimbangan DPA kepada presiden tentang Penanggulangan Pengangguran akibat PHK, Perlunya Kebijakan Nasional tentang Ketenaga kerjaan Indonesia.
4. Ketua tim penyusunan pertimbangan DPA kepada presiden tentang Perbaikan Pelayanan Jamaah Haji Indonesia. Perlunya UU Haji.
5. Ketua tim penyusunan pertimbangan DPA kepada presiden tentang Penanggulangan Anak Terlantar. Perlunya Komnas Anak.
6. Ketua tim penyusunan pertimbangan DPA kepada presiden tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Guru. Perlunya UU Guru.
7. Ketua tim penyusunan pertimbangan DPA kepada presiden tentang Jaminan Sosial Nasional.
8. Ketua tim penyusunan pertimbangan DPA kepada presiden tentang Upaya Menggalakkan Pariwisata Indonesia dalam Mengatasi Pengangguran Akibat Krisis Ekonomi.